Bertahun-tahun menikah, bapak dan ibu tak kunjung di karuniai momongan. Di tahun kelima pernikahan, ibu merasakan sakit luar biasa di dalam perutnya. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter mengatakan terdapat kanker rahim di sana dan harus melakukan operasi pengangkatan rahim untuk menghilangkannya. Pupus sudah harapan untuk menjadi seorang ibu. Sampai 5 tahun berikutnya lahirlah Biru di tengah keluarga Darmawan.
Karena Krisna dan Ajeng menolak adanya pernikahan, akhirnya ibu memberanikan diri untuk meminta bayi mereka agar di rawatnya jauh dari kediaman Darmawan. Krisna sangat setuju namun berbeda dengan pak Hendra. Beliau mengijinkan ibu membawa Biru namun hanya sampai ia menyelesaikan S1-nya atau saat usianya sudah 23 tahun. Dan jika mereka melanggar perjanjian itu, mereka akan denda sebesar 230 milyar rupiah. Sesuai umur Biru.
Mendengar cerita kedua orangtua angkatnya, Biru merasa sesak yang teramat sangat di dadanya. Hampir seumur hidupnya ia merasa hina karena tidak di inginkan oleh orangtua kandungnya. Kini bapak dan ibu yang selama ini sudah ia anggap sebagai pahlawan dan ia sayangi dengan sepenuh hati ternyata menyembunyikan kebenaran besar tentang dirinya. Biru kecewa.
“Biru mau ke galeri dulu.”, ucapnya lemah.
Bapak dan ibu hanya tertunduk, merasa malu pada Biru. Arif yang juga berada di sana tidak dapat berkata apapun. Ia memutuskan untuk mengikuti Biru.
“Arif ikutin Biru ya pak, bu.”
“Hati-hati di jalan nak.”, sahut bapak.
Setelah kedua putranya pergi, ibu menangis sejadi-jadinya. Ia marah pada dirinya sendiri karena sudah membuat Biru kecewa.
***
Di rumah Biantara, sepulang wisuda Avisa yang sangat kesal atas kelakuan ayahnya langsung menuju kamar dan membanting pintu dengan keras. Charlotte dan kedua anaknya di persilahkan menuju kamar utama sedangkan Alexa di minta untuk tetap berada di kamar Jingga.
Di ruang tamu, Jingga mulai menanyakan sesuatu yang sejak tadi membuatnya penasaran.
"Karena pak Hendra itu kan papa sama sekali nggak ngusik hubungan Avisa dan Biru?”
“Of course. Memang ada alasan lain?”
“Jadi janji papa sama aku itu bohong?”
“Memangnya kamu bisa memberikan apa? Kalian itu milikku, aset terebaik untuk memperbesar bisnisku. Jadi jangan coba-coba berjalan di jalur lain, kalian harus tetap berada di jalur yang sudah papa buat.”
“Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Alexa.”, ancam Jingga.
“Silahkan. Kamu tahu betul George itu siapa. Dia akan menghancurkan orang-orang yang kamu cintai bahkan lebih buruk dari yang papa bisa.”
“Pa!”, teriak Jingga.
Jingga sangat marah karena merasa di jebak oleh ayahnya hingga harus berada di posisi ini. Ia berjalan pergi menuju kamar Avisa tanpa berkata apapun lagi.
“Kenapa? Udah tahu brengseknya Biantara?”, tanya Avisa tanpa menoleh.
“Kayaknya ini karma buat gue karena udah nyakitin dan ninggalin Mega.”
“Nyesel lu?”
Jingga terdiam, merasa bodoh karena termakan perkataan ayahnya.
“Gue mau ke ruang baca. Ikut nggak?”, ajak Avisa.
“Alexa gimana?”
“Peduli amat lu.”
Meskipun Avisa belum bisa sepenuhnya menerima Alexa tapi akhirnya mereka tetap pergi ke ruang baca bertiga. Dengan Jingga dan Alexa di bangku depan dan Avisa yang cemberut di bangku belakang. Tak lama panggilan telepon dari Biru masuk ke hp Avisa.
“Halo.”, ucap Avisa.
“Dimana?”
“Di jalan mau ke ruang baca.”
“Ok.”
Biru langsung menutup sambungan teleponnya. Avisa menghela nafas panjang.
“Biru ya?”, tanya Jingga.
“Hm.”
Jingga mempercepat laju mobilnya hingga hanya butuh beberapa menit saja untuk sampai di ruang baca.
“Koh, biasanya.”
“Biru sama Arif udah di dalam.”
Avisa memang pernah berpesan pada kokoh penjaga jika Biru kesini, kokoh boleh langsung memberikan kunci tanpa ijin dulu padanya. Namun baru kali ini Biru benar-benar datang kesana tanpa Avisa. Ia heran. Tanpa basa-basi lagi ia langsung bergegas ke ruang baca.
“Jadi ini tempat yang lu bilang buat sembunyi dari papa tapi malah di beli sama dia?”
“Hm.”, jawab Avisa singkat karena masih kesal dengan adanya Alexa.
Avisa membuka pintu. Biru sedang duduk di sofa sementara Arif merebahkan dirinya di ranjang. Ia spontan bangun karena melihat Alexa.
“Dari tadi?”, tanya Avisa.
“Luamayan.”, jawab Arif.
Arif lalu melambaikan tangan, memberikan isyarat agar Avisa mendekat padanya. Avisa mendekatinya.
“Siapa?”, bisik Arif.
“Tunangannya Jingga.”, jawab Avisa keras-keras membuat Arif salah tingkah.
(di sini mereka berbicara pada Alexa menggunakan bahasa Inggris yang sudah author terjemahkan)
“Halo. Aku Alexa.”
“Hai. Aku Arif dan ini Biru. Silahkan duduk.”
“Terimakasih.”
Jingga mengajak Alexa duduk di sofa, di samping Biru. Biru langsung beranjak pindah ke samping Arif di ranjang. Jingga tersenyum. Mungkin Biru masih merasa tak enak hati padanya.
“Ruangan ini milik kamu?”, tanya Alexa pada Avisa.
“Ya.”
“Toko ini juga milik kamu?”
“Bukan. Toko ini milik calon ayah mertuamu.”
Alexa tersenyum. Sungguh perempuan yang baik. Tak pernah sedikitpun ia merasa sakit hati dengan perlakuan Avisa padanya. Ia mengerti bahwa Avisa hanya belum bisa menerimanya saat itu.
“Lu mau ngobrol sama mereka dulu?”, tanya Avisa pada Jingga.
“Kalau mereka mau.”
Avisa menoleh pada Biru. Ia mengangguk pelan.
“Alexa, mari kita jalan-jalan keliling kota. Aku akan menunjukkan tempat yang bagus kepadamu.”, ajak Avisa
“Oh benarkah? Baik mari kita pergi.”
Avisa berjalan terlebih dahulu.
“Aku jalan-jalan dulu ya?”, pamitnya pada tiga lelaki di ruangan ini.
“Selamat bersenang-senang.”, jawab Jingga.
Arif mengangguk dan tersenyum sementara Biru sama sekali tak meresponnya. Ia hanya menatap tajam pada Jingga.
“Sorry bro.”, kata Jingga.
“Buat?”
“Buat apa yang gue lakuin ke Mega, buat yang gue lakuin ke elu, buat yang papa gue lakuin ke elu.”
“Kenapa harus lu yang minta maaf buat dia?”
“Kalau dari awal gue nggak pacaran sama Mega, papa nggak akan tau elu juga.”
Biru sedikit lebih tenang. Ia sadar semua yang terjadi bukan hanya salah Jingga karena Jinggapun tidak mungkin mengira hal seperti ini akan terjadi.
“Di Inggris gue sempet ketemu Mega sama suaminya.”
Biru terkejut.
“Sekarang gue tahu, dia emang lebih bahagia kalau nggak sama gue. Gue bersyukur dia punya seseorang yang lebih baik dari gue.”
“Tenang bro, ada gue. Jangan galau. Lu terlihat menyedihkan tahu nggak.”, ucap Arif.
Air mata di ujung mata yang Jingga tahan sejak tadi keluar bersama dengan tawa kerasnya karena perkataan Arif. Biru hanya menatapnya, iba.
Karena beberapa kalimat ajaib dari Arif akhirnya mereka berbincang-bincang dengan nyaman kembali. Saling bertanya kabar dan melempar candaan-candaan kecil.
“Jadi gimana keputusan lu?”, tanya Jingga pada Biru.
“Untuk saat ini gue bakal kembali ke rumah itu sesuai perjanjian yang bapak dan ibu buat. Tapi gue bakal cari cara biar bapak, ibu dan Arif juga tetep berada di dekat gue.”
Kini akhirnya Biru mengerti apa yang dulu Arif rasakan saat harus kembali ke keluarga kandungnya.
“I love you, bro. Saranghaeyo.”, kata Arif sambil memberi tanda hati dari kedua jarinya.
Biru langsung melempar bantal pada Arif. Mereka tertawa bersama. Kini ruangan itu di penuhi tawa tiga lelaki yang sudah lama tidak berjumpa ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments