Mega Di Antara Biru Dan Jingga: Birunya Avisa!
Di ruang baca Avisa, Arif dan Biru membaca buku sambil berbaring. Mereka lebih sering kesana semenjak kepergian Mega.
“Kalian kenapa jadi kesini terus?”, tanya Avisa jengkel.
“Enak di sini. Bisa nyuruh lu buatin minum, bisa baca buku gratis, bisa tiduran dengan nyaman juga.”, jawab Arif.
Avisa memberikan isyarat pukulan pada Arif.
“Lu fakultas kedokteran kenapa banyak banget senggangnya coba?”
“Mumpung ada waktu, Sa. Ntar kalau gue udah sibuk juga lu bakal kangen.”, sahut Arif cengengesan.
“Hih!”
“Lu jadi ambil S2 dimana?”, tanya Biru pada Arif.
“Mmm... Kayaknya sih UGM (Universitas Gadjah Mada). Lu jadi ke ITB (Institut Teknologi Bandung)?”
“Hm.”
“Lu, Sa?”
“Gue bakal balik ke Inggris, sesuai perintah Ted.”
Biru kehilangan fokus pada bukunya.
“Udah nggak bisa di nego lagi ya?”, tanya Arif.
“Kalau gue di sini, mama nggak akan pernah bisa bahagia.”
***
Beberapa hari yang lalu, Avisa pergi ke supermarket untuk membeli bahan masakan. Semenjak Arif dan Biru sering ke ruang baca, Avisa perlahan belajar memasak dan mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya. Ketika hendak mengambil sayur, Avisa bertemu dengan seseorang yang selama ini di carinya.
“Kalau mau yang segar, yang ini saja.”, kata seorang wanita paruh baya menunjuk pada sayur yang lain.
“Oh, terimakasih.”, sahut Avisa sontak menoleh.
Avisa mematung seketika.
“Apa kabar putri mama?”, tanya Dila tersenyum.
Untuk pertama kalinya Avisa menjatuhkan air mata yang sudah puluhan tahun di tahannya. Dila memeluk putrinya erat. Setelah itu mereka pergi ke kursi stand minuman di pojok supermarket untuk mengobrol.
Avisa akhirnya tahu bagaimana kabar mamanya tersebut. Bagaimana sakitnya hidup di pisahkan dari kedua anaknya. Bagaimana seorang pria datang di saat terpuruknya. Bagaimana tangisnya tak henti berjatuhan di setiap harinya karena merindukan kedua anaknya yang entah dimana.
“Mama baru saja menikah lagi beberapa hari yang lalu. Maafkan mama nak, mama tidak seharusnya bahagia sendiri.”
“Ma...”
Avisa memegang tangan mamanya dengan lembut.
“Mama berhak bahagia. Avi dan abang baik-baik saja. Mama jangan khawatir lagi, ya?”, lanjutnya.
“Sekarang kamu tinggal dimana? Tinggal sama mama ya nak?”
Avisa termenung. Ia ingin mengiyakan ajakan mamanya detik itu juga namun ia tidak ingin Ted menghancurkan kehidupan mamanya lagi.
“Nanti ya ma. Nanti, saat Avi dan abang sudah benar-benar bisa lepas dari papa.”, jawab Avisa tersenyum lembut.
“Maafkan mama nak.”
Dila menangis, kecewa dengan dirinya yang tidak memiliki keuasaan untuk merangkul kembali anak-anaknya.
Hari itu menjadi pertemuan pertama mereka setelah sekian lama namun juga menjadi hari terakhir Dila bisa melihat putrinya lagi secara langsung.
***
Beberapa bulan berlalu. Biru, Arif dan Avisa menyelesaikan skripsinya dengan lancar. Kini tibalah hari wisuda bagi mereka bertiga. Para orang tua datang mendampingi acara kelulusan anak-anak mereka, termasuk Bapak dan Ibu kades. Ted beserta keluarga kecilnyapun hadir tanpa di duga, begitu juga dengan Jingga dan Alexa.
Di luar ruangan selesai acara wisuda.
“Kenapa kalian kesini?”, tanya Avisa kesal.
“Putri papa wisuda, tentu saja papa ada di sini.”
Avisa sangat kesal dengan kehadiran mereka. Ted tiba-tiba melangkah pergi. Avisa melihatnya berjalan menghampiri Biru dan keluarganya, membuat Avisa berlari menyusulnya secepat kilat.
“Pa!”, teriak Avisa.
“Ya sayang?”
“Oh ternyata papanya Avisa. Kok teriak gitu sih ke papanya. Tidak baik nak.”, ucap ibu.
“Maaf bu.”
“Perkenalkan, saya Ted Biantara. Papanya Avisa.”
Ted menjulurkan tangan untuk berjabat yang kemudian di balas oleh bapak dan ibu kades.
“Sepertinya anak saya takut kalau saya ngapa-ngapain pacarnya pak, bu.”
Avisa dan Biru terbelalak.
“Loh, sudah pacaran? Kok bapak sama ibu tidak di beri tahu.”, protes bapak.
“Papa!”, bentak Avisa yang semakin kesal.
“Oh sepertinya belum pak.”, kata Ted.
Ketiga orang tua itupun tertawa. Arif ikut tertawa dengan canggung karena merasakan akan ada hal buruk yang datang setelah ini.
“Saya cuma mau memperkenalkan Biru pada salah satu orang yang saya hormati. Beliau berkata ingin sekali bertemu dengan Biru.”, ucap Ted.
“Oh ya? Bagus kalau begitu. Kamu bisa kenal orang-orang sukses nak.", kata bapak takjub.
Biru hanya diam. Ia tahu betul bagaimana Ted ini memisahkan Jingga dan Mega. Apakah saat ini gilirannya dan Avisa, pikirnya.
“Sebentar ya, saya hubungi orangnya dulu. Katanya tadi sudah sampai di depan.”, ucap Ted.
“Oh baik pak, silahkan.”, sahut bapak.
Ted berbalik badan dan menghubungi orang yang di maksud. Tak lama orang yang ia tunggu datang juga. Seorang pria yang kira-kira berumur 70an bersama pria hampir paruh baya yang terlihat gagah dan berwibawa. Bapak dan ibu terkejut di buatnya.
“Apa kabar pak kades, bu kades?”, tanya pria itu.
“Baik pak.”, jawab bapak dan ibu menundukkan kepala.
Biru, Avisa dan Arif merasa aneh dengan gelagat bapak dan ibu kades. Pria 80an itu tiba-tiba menjulurkan tangannya pada Biru tanpa berkata apapun. Biru membalasnya seraya memperkenalkan diri.
“Biru.”
“Nama lengkap?”
“Bukankah seharusnya yang meminta berjabat tanganlah yang harus memperkenalkan diri terlebih dahulu?”, tanya Biru.
Pria itu tertawa.
“Baiklah kalau begitu. Hendra Darmawan.”
“Krisna Mahardika Darmawan.”, ucap pria paruh baya di sebelah.
“Jadi? Siapa nama lengkapmu?”, tanya pak Hendra.
“Bobby.. Rudi...”
“Darmawan.”, sahut Ted.
Biru semakin bingung.
“Salam kenal, cucuku.”, ucap pak Hendra.
Biru, Avisa dan Arif syok mendengarnya. Sedangkan bapak dan ibu kades mulai cemas karena situasi ini. Di kejauhan Jingga hanya mengawasi saja.
(di sini mereka berbicara bahasa Inggris yang sudah author terjemahkan)
“Kamu baik-baik saja?”, tanya Alexa.
“Ya. Aku baik-baik saja.”
Pertemuan Biru dengan ayah dan kakek kandungnya berlangsung singkat karena ia tidak nyaman dengan kehadiran mereka. Ia segera memutuskan untuk mengajak bapak, ibu dan Arif pulang.
***
Di ruang tamu rumah pak kades, seluruh anggota keluarga berkumpul.
“Ada apa ini sebenarnya bu, pak?”, tanya Biru.
Dengan berat hati, mereka menceritakan yang sebenarnya. Bahwa Biru bukanlah anak yang di buang namun memang sengaja di minta oleh mereka dengan beberapa syarat.
Biru adalah anak di luar nikah dari Krisna dan Ajeng yang saat ini menjadi istrinya. Mereka memiliki Biru saat masih berstatus pacaran. Sebenarnya pak Hendra bersedia menutupi kelahiran Biru dan menikahkan mereka setelahnya namun karena Krisna dan Ajeng masih ingin melanjutkan pendidikan, mereka menolak pernikahan itu.
Sedangkan Bapak dan ibu dulunya adalah supir dan pengasuh di kediaman pak Hendra. Bapak sudah bekerja di sana sejak masih muda lalu mengajak ibu untuk bekerja di sana juga setelah mereka menikah. Ibu yang saat itu berusia 16 tahun di tugaskan untuk mengasuh Krisna yang baru berusia 10 tahun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments