“Abang ...!”
“Abang … huaaa …!”
Brak!
“Apasih, Dek? Teriak-teriak memangnya hutan?” ujar Dava sewot.
Dia baru saja selesai mandi saat tiba-tiba Safa berteriak memanggil namanya. Bahkan kaosnya saja belum terpasang sempurna. Untung sudah pakai celana.
Safa tak peduli. Dia menunjuk laptopnya yang terbuka di atas ranjang sambil menangis. “Hiks, Abang …iIni laptop Safa kenapa … Kok, layarnya jadi item gini? Terus ada tulisan-tulisan kecilnya ….”
“Abang …” rengek Safa.
Dava berjalan mendekat, memeriksa apa yang terjadi dengan laptop Safa hingga adiknya itu histeris.
Ternyata bukan hanya Dava. Teriakan Safa juga berhasil menarik perhatian Tuan dan Nyonya Halim. Mereka memasuki kamar dengan raut terheran-heran. Nyonya Halim baru saja menyambut kepulangan sang suami dari kantor saat mendengar teriakan putrinya yang menggelegar.
“Ada apa sih? Ini anak gak bisa sehari aja gak teriak?”
Berbeda dengan Nyonya Halim yang berkacak kesal, Tuan Halim justru terlihat khawatir melihat putrinya berderai air mata.
“Safa kenapa, Nak?” tanyanya lembut sambil mendekat.
“Ayah … Pacar Safa mati …. Hiks.”
Tuan Halim terperanjat. Kok, dia gak tahu anaknya punya pacar? Kemana saja dia?
“Pacar? Siapa pacar kamu?”
Safa menunjuk laptopnya yang tengah diotak-atik Dava.
“Laptop Safa mati … Semua pacar Safa ada di sana, Ayah ….”
Seketika, Safa mendapat tatapan malas dari bunda dan kakaknya. Mereka sudah bosan menghadapi drama Safa soal pacar-pacar haluannya itu. Terutama Dava.
Dia melirik Nyonya Halim di ujung ranjang. Kalau Bundanya tergila-gila dengan film India, maka Safa sangat mencintai Korea. Dan dia serta ayahnya hanya bisa menghela nafas menghadapi keduanya.
Seperti sekarang. Tuan Halim mengelus dada berusaha sabar. Memiliki anak dan istri yang kelakuannya kadang ajaib membutuhkan energi yang cukup besar.
Namun begitu ia tetap mencintai keduanya melebihi apapun. Bahkan dirinya sendiri.
“Laptop kamu kena virus, Dek. Harus diservis,” ucap Dava.
“Hwaa ….!”
Tangisan Safa bertambah kencang. Padahal tadi tinggal sesenggukan doang. Hal itu membuat Tuan dan Nyonya Halim memelototinya.
Dava hanya bisa menggaruk tengkuk. Kenapa dia yang disalahkan? Kan Dava hanya berucap kenyataan.
“Safa … udah nangisnya. Nanti Ayah belikan lagi yang lebih bagus. Yang lebih mahal dari ini.”
Nyonya Halim menatap suaminya galak. Apa-apaan dia itu? Selalu saja memanjakan putrinya. Akibatnya Safa tak pernah berpikir dewasa sampai usianya 22 tahun saat ini.
“Ayah apaan, sih! Lebay banget harus ganti baru segala. Dava bilang masih bisa diservis, kok.”
Tuan Halim meringis sambil menggaruk hidung. Istrinya memang selalu perhitungan soal uang. Padahal dia masih mampu membelikan 100 laptop sekalipun.
“Ayah janji?”
Sekonyong-konyong, pertanyaan bernada polos itu membuat semua orang menoleh. Dan Tuan Halim sungguh tak sanggup melihat ekspresi putrinya yang memelas seperti kucing. Sungguh menggemaskan.
Tapi melihat wajah istrinya yang semakin menyeramkan, Tuan Halim dilanda kebingungan. Di lain sisi ia tak bisa menolak putrinya. Namun di sisi lain ia takut dikunci di luar kamar.
Semenggemaskan apapun Safa-nya, istrinya jauh lebih menggoda. Dengan wajah sedih, Tuan Halim menatap Safa yang masih memelas. Sungguh dia tak tega.
“Diservis aja, ya, Sayang?”
***
Safa masih merajuk hingga makan malam tiba. Dan itu membuat Nyonya Halim menghela nafas.
Bukannya ia tega, hanya saja ia ingin Safa lebih dewasa. Dan hal itu tidak akan terjadi kalau mereka terus saja menuruti keinginannya.
Lebih bagus kalau Safa mau menabung buat beli laptopnya sendiri. Mereka tak pernah absen memberi uang jajan.
“Manyun terus kamu, Dek. Bebek aja jadi keliatan jauh lebih cantik.”
Safa tak menanggapi sindiran Dava. Dia hanya diam mengaduk piringnya yang berisi sayuran.
Tuan Halim yang melihat pun berkata “Safa. Dimakan, Nak. Bunda sama Bibi udah capek masak, lho.”
“Tapi Safa gak suka sayur!”
“Sayur itu baik untuk kesehatan. Idola kamu di Korea juga makannya sayur. Ini salah satu rahasia kecantikan mereka.”
“Ya udah, suruh aja Bunda yang makan semua. Biar awet muda dan gak keriput. Bunda ‘kan suka marah-marah.”
Nyonya Halim melotot. Anak ini kenapa bebal sekali?
“Safa ...” tegur Tuan Halim lembut.
Dava berusaha menahan tawa. Ia tak mau nasi dalam mulutnya menyembur begitu saja. Bisa-bisa dia yang malah diteriaki Nyonya Halim.
“Gak usah rewel kamu. Malu. Udah besar juga,” tukas sang nyonya merasa kesal.
Safa mendelik “Suka-suka Safa,” ketusnya.
Nyonya Halim melotot tak percaya. Anak siapa, sih, ini sebenarnya? Ingin sekali ia jadikan buntelan lalu dilempar ke sungai.
“Sudah, sudah … Kalian ini kenapa gak pernah akur?” ujar Tuan Halim menggeleng.
“Makanya, kamu jangan manjain dia terus, dong. Ngelunjak ‘kan jadinya.”
“Dan kamu Safa, jangan teriak-teriak terus. Malu ada tetangga baru, tau!”
Dava mengernyit “Tetangga baru?”
Tuan Halim juga menatap istrinya penasaran.
“Iya, tetangga baru sebelah rumah. Baru pindahan tadi siang. Dan dia lebih ganteng dari pacar-pacar kamu yang gak ada wujudnya.”
Safa mendengus. Bodo amat. Mau ganteng, kek. Genteng, kek. Safa gak peduli. Lagian siapa yang teriak-teriak? Bukannya sejak tadi Nyonya Halim yang terus nyerocos?
***
Keesokan harinya.
“Safa ...!”
“Apasih, Bunda. Katanya jangan teriak-teriak.”
Safa menuruni tangga dengan wajah merengut. Nyonya Halim menarik tangannya ke arah dapur.
“Sini. Bantuin Bunda masukin ini ke rantang.”
Safa mengernyit “Bekal Ayah ketinggalan?”
“Enggak. Ini buat tetangga baru kita.” Nyonya Halim terlihat fokus menata makanan.
Sedangkan Safa menatap Bundanya curiga. “Jangan bilang Bunda mau selingkuhin Ayah?”
Plak!
Safa meringis mengelus bahunya. Bibirnya mencebik mendapati pelototan terseram di muka bumi. Siapa lagi kalau bukan Nyonya Halim yang terhormat.
“Sembarangan kamu. Ini buat menjalin tali silaturahmi,” sergah Nyonya Halim.
“Udah. Pokoknya kamu bantuin terus anterin ini ke rumah sebelah,” titahnya tak terelakkan.
“Kok Safa sih yang nganterin?” tuntut Safa tak terima.
Nyonya Halim menatap putrinya datar. Kapan, sih, anaknya gak bikin emosi?
“Kamu gak liat Bunda belum mandi? Lagian kamu di rumah juga gak ada kerjaan. Apa salahnya, sih, bantu orang tua sebentar aja. Jadi anak gak ada manis-manisnya sama sekali.”
“Emangnya Le Minerale ada manis-manisnya ...” sungut Safa pelan.
“Ini anak ngebantah terus, ya. Anak siapa, sih, kamu?”
“Safa ... anak Ayah Bunda ....” cibir Safa sambil lalu, Safa mengambil gelas di rak yang berada di samping galon.
Nyonya Halim mengikuti dengan tatapan prihatin. Bocah buntelan ini benar-benar minta dihanyutkan. Kelakuannya selalu bikin elus dada.
“Ahh ... segarnya. Lebih segar lagi kalo ada Oppa Hyun Bin yang nemenin ...” ujarnya ngawur.
Mas, ini benih kamu kenapa begini wujudnya, sih?
Nyonya Halim rasanya ingin menangis. Ia takut putrinya lama-lama akan berhalusinasi.
“Safa, udah minumnya, ‘kan? Cepet ini masukin semua!”
Nyonya Halim memasukkan berbagai lauk buatannya. Safa mencebik. Dia saja belum makan, tapi Bundanya sudah mau ngasih orang. Harusnya Nyonya Halim mendahulukan putrinya. Ini malah tetangga baru yang wujudnya saja belum Safa tahu.
“Perlu Bunda ingetin, kamu jangan nyanyi-nyanyi. Suara kamu cempreng. Gak kayak Dinda Haw.”
“Kok, Dinda Haw, sih? Bukannya yang penyanyi itu Lesti?”
“Kan yang barusan kamu pelesetin itu yang viral dari Dinda sama Rey. Gimana sih kamu?”
Eh, buset. Se-update apa sih emak-emak satu ini?
“Heh! Malah diem. Bantuin!”
Safa kembali mencebik. Mau tak mau tangannya terulur membantu sang bunda memasukkan makanan.
Biarlah cacing-cacing dalam perutnya menunggu beberapa saat. Nyonya Halim gak tahu saja, suara yang dia bilang cempreng pernah masuk paduan suara saat upacara di sekolah dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments
my name
emak sama anak kayak tom jerry aja 🤣🤣🤣
2023-08-18
0
Bzaa
asli ngakak....🤣.
cerita mu keren otor, jdi semangat 💪😘
2023-07-16
0
Wirda Wati
🤣🤣🤣🤣🤣
2023-06-26
0