Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di depan Mall. Safa dan bundanya turun, membiarkan Pak Iwan memarkir mobil di pelataran.
Mereka masuk beriringan. Nyonya Halim menarik lengan Safa saat dilihatnya anak itu akan melipir ke tempat lain. “Kita ke supermarket dulu!”
Safa cemberut. Padahal dia mau melihat-lihat aksesoris. Pernak-pernik tadi melambai-lambai seakan memanggilnya.
“Bunda ... Ke sana dulu, ayo ... Nanti anting-antingnya keburu diambil orang ...” rengeknya memelas.
“Bunda ...” Safa berkedip dengan tujuan merayu Nyonya Halim.
Nyonya Halim menghembuskan nafas kasar. “Ya udah, sana. Bunda tunggu di sini,” putusnya.
Safa bersorak. Dia segera berlari meninggalkan Nyonya Halim yang menggeleng. Putrinya benar-benar kekanakan. Dilihat dari manapun tidak ada dewasa-dewasanya.
Ia jadi membayangkan. Bagaimana jika Safa menikah nanti? Apa suaminya akan kuat menghadapi sifatnya yang seperti anak kecil?
Tak berapa lama Safa kembali. Dia membawa sekantung paper bag yang entah berisi apa saja.
“Sudah?”
Safa mengangguk, “Sudah, Bunda. Ayo,”
Safa dan Nyonya Halim mencari lift untuk mengantarnya naik ke atas. Karena letak supermarket berada satu lantai dari toko yang Safa kunjungi tadi.
“Bun, Ayah jadi ikut Bang Dava futsal?” tanya Safa saat mereka di pertengahan lift.
Nyonya Halim mendengus “Jadi lah. Dari kemaren aja udah ngotot.”
Bibir Safa mengerucut “Emangnya Ayah gak akan encok kalo disuruh lari-larian?”
“Ya mana Bunda tau. Kalaupun iya, Bunda gak akan mau mijitin.”
Bohong, Nyonya Halim gak akan tega melihat suaminya kesakitan.
Mereka sampai di lantai atas. Lalu mencari gerai yang dituju.
Nyonya Halim menyuruh Safa mendorong troli sementara dia berbelanja. Memilah-milah makanan dan produk lainnya yang sudah ditulis dalam bentuk list. Satu persatu barang tercontreng memasuki keranjang.
Tak lupa Safa memasukkan pembalut dan ciki-cikian untuk teman nonton dan rebahan. Nyonya Halim sampai menggeleng melihatnya. Wanita itu menepuk bokong Safa gemas, membuat sang empunya melotot.
“Micin terus yang dimakan. Pantesan gak pinter-pinter. Ini juga badan makin melar. Pasti makannya sambil tiduran,” ujarnya sambil mencubit pinggang Safa. Sudah dua kali pinggangnya kena cubit hari ini. Sabar, ya, pinggang.
“Olahraga sekali-kali. Jangan rebahan mulu, kamu.”
Safa merengut. Bundanya sudah kembali ke mode awal yang suka mengomel. “Ini namanya seksi, tau. A Gugun aja bilang Safa semok, kok.” Safa kembali memilih.
Gugun adalah tukang nasgor depan komplek langganannya. Masih ingat ‘kan?
Nyonya Halim mendecak “Si Gugun yang modelan kentung aja dia sebut Bidadari. Lah, kamu percaya aja sama mulut sales marketingnya.”
“Kamu liat dong anak Pak RT. Cantik, badannya ramping gitu. Banyak yang suka, tuh,” lanjut Nyonya Halim sembari memilih barang.
Safa mencibir “Apa bagusnya badan rata kayak triplek gitu? Gak enak tau, Bun. Gak ada yang bisa diremas ...” ucapnya ambigu.
Nyonya Halim melotot. Darimana anaknya mendapat kalimat tak bermutu seperti itu? Ini pasti efek samping dari film-film yang sering ditontonnya. Ingatkan Nyonya Halim untuk merampas semua gadget-nya nanti.
“Seenggaknya gadis itu pintar dan banyak prestasi. Gak kayak kamu. Jangankan prestasi, pas sekolah aja kamu belum pernah dapet nilai 90.”
Safa memanyunkan bibirnya. Dia kesal kalau Bundanya sudah membuat perbandingan dengan anak tetangga. Anak Bu ini, lah. Anak Bu itu, lah. Dikira omongannya gak nyelekit apa? Sakit tahu dibanding-bandingin.
“Ya udah, anggap aja dia yang anak Bunda. Safa cuma anak Ayah.”
Safa menghentak kesal sambil mendorong trolinya penuh emosi. Dia menyambar barang-barang apa saja sebagai pelampiasan. Alhasil trolinya penuh sampai isinya tumpah-tumpah.
Ciki-cikinya jatuh berserakan. Dengan kesal Safa melepas pegangannya dari troli, berniat memunguti jajanannya. Namun sepasang kaki membuatnya berhenti.
Safa mengamati tangan itu meraih satu persatu belanjaannya. Lalu dimasukkannya ke dalam troli yang penuh. Bahkan dengan baik hatinya orang itu menyusun dengan teratur letak belanjaannya agar lebih ringkas. Tidak berantakan seperti tadi.
Safa mendongak. Dan tahu apa yang terjadi? Dia tak bisa berkata-kata. Wajah yang tadi terlihat kesal kini melongo dengan mata berbinar. Apa Safa sedang bermimpi? Sejak kapan ada malaikat turun ke bumi?
Kamu lupa Safa? Di sebelahmu juga ada malaikat. Malaikat pencatat amal misalnya.
Tapi, di hadapannya ini berbeda. Dia membawa aura seksi yang begitu kentara. Lihatlah otot bisepnya! Safa jadi terbayang yang tidak-tidak. Lupakan Oppa-oppa Korea, ternyata kulit kecoklatan juga tak kalah menggoda.
Sial, Safa jadi ngiler.
Belum sempat dia berbicara, suara lain di belakangnya menyela, “Nak Edzar?”
Safa menoleh pada bundanya yang tiba-tiba muncul. Otaknya loading untuk sesaat. Kenapa nama yang keluar dari mulut Nyonya Halim begitu tak asing? Di mana Safa pernah dengar?
“Nak Edzar di sini juga?”
Sesaat lelaki itu terdiam. Mungkin dia sedang mengingat siapa gerangan yang berlaku sok kenal. Yang Safa heran, kenapa suara bundanya jadi berubah melembut? Berbeda dari beberapa saat lalu ketika mengomeli Safa.
“Bu Halim?” tanya lelaki itu seakan memastikan.
Nyonya Halim mengangguk antusias, “Iya, benar. Saya tetangga sebelah rumah kamu,” jelasnya dengan senyum lebar.
Pria bernama Edzar itu mengangguk “Ah, iya,” ujarnya singkat sambil menggaruk kepala. Mungkin dia lupa. Atau bingung?
Yang Safa tangkap pria ini tak pandai bicara dan cenderung diam. Atau tidak biasa berbasa-basi.
“Nak Edzar belanja juga? Sama siapa?”
Edzar kembali mengangguk “Iya, Bu. Saya sendiri saja.”
“Kenapa gak asisten rumah kamu yang belanja?” Nyonya Halim bertanya seperti itu karena yang dia tahu Edzar membawa asisten saat pindahan.
“Bibi sibuk beresin rumah. Kasihan kalau saya suruh belanja juga.”
Tanpa disangka, ucapannya barusan semakin membuat dua wanita di hadapannya terpesona. Apalagi Safa. Sejak tadi dia tak berhenti memperhatikan pria itu.
Sudah ganteng, perhatian pula. Betapa baiknya pria ini. Tinggal satu yang belum Safa tahu. Pekerjaannya!
Hey ... Itu penting, oke? Hidup gak makan tampang doang. Lupakan cuitan uang bukan segalanya, nyatanya kita gak bisa makan tanpa uang.
Tunggu dulu. Tadi Safa sempat mendengar soal tetangga. Tetangga sebelah rumah? Sebelah rumah yang mana, nih? Di kanan ada rumah Bu Tejo. Di kiri ...
Astaga. Jangan-jangan Edzar ini tetangga baru yang Nyonya Halim ceritakan? Yang kemarin sore sempat dia lihat punggungnya?
Omo ... Ternyata insting Safa memang gak pernah salah. Pria itu beneran ganteng. Seganteng-gantengnya.
Posturnya mengingatkan Safa sama Oppa Hyun Bin. Aduh ... Ini sih gak boleh lepas. Sikat, Saf ...!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments
Zila Aziz
ngakak ku sama si saf
2023-08-02
1
🍃⃝⃟𝟰🫦𓆩𝐃𝐄𝐒𝐒𓆪𝐀⃝🥀
HAHAHAH sikat 🤣 tetangga bisa menyeimbangkan toh sama oppa² mu
2023-07-25
0
Bzaa
jangan kasih kendor saf.... pepet terooosss
2023-07-16
0