Selepas membeli sayur, Safa kembali naik ke kamarnya, melanjutkan nonton yang kena tanggung teriakan Nyonya Halim. Ibaratnya Safa ini gagal kli*maks. Lagi asik-asiknya foreplay malah diteriakin. Kan kentang.
Safa sudah jatuh tengkurap di atas kasur, menyamankan posisinya untuk kembali nonton. Belum juga menekan tombol play, hapenya berdering meminta perhatian. Ya Salaamm …rasanya dia mau menelan orang sekarang juga.
“Kenapa, Bang!” Itu bukan pertanyaan. Serius. Karena Safa gak niat bertanya.
“Etdah, Dek. Kasar amat sama abang sendiri,” ujar Dava di seberang sana.
Ya. Si Sulung Dava yang menelponnya. Safa memutar bolamata. Ini orang pasti ada maunya. Gak mungkin Dava menelponnya kalau gak ada perlu. Mereka seringnya berhubungan saat butuh doang. Atau kalau di rumah jatuhnya malah sering adu mulut.
“Dek, kamu di rumah ‘kan?”
“Emang sejak kapan Safa gak di rumah?” jawab Safa ketus.
“Oh iya. Adek Abang kan pengangguran ya,” ledek Dava tertawa.
Safa hanya mencibir, nganggur-nganggur gini juga sering berguna buat Dava. Ngambil berkas tertinggal misalnya.
Tunggu.
Mata Safa memicing curiga. Pelan-pelan dia bertanya. “Bang, Abang nelpon Safa pasti ada udang dibalik bakwan ‘kan? Ngaku, Bang!” todong Safa.
“Wah … tumben pinter adeknya Abang.”
Nah, kan. Firasat Safa itu gak salah. Aura negatifnya sudah kerasa dari tadi. Please … deh. Jangan suruh Safa yang enggak-enggak. Safa tuh lagi malas keluar. Cuaca lagi panas-panasnya, bok …
Emang kapan Jakarta gak panas, sih, Saf? Batinnya.
Tapi seperti biasa, Dava tuh gak pernah peduli sama penderitaannya Safa. Pria itu sekonyong-konyong menyuruh Safa ke kamarnya dan ambil berkas di meja kerja. Kalau tidak, Safa terancam tidak akan mendapat uang jajan. Menyebalkan.
Sebenarnya itu bukan masalah. Toh, Safa masih bisa dapat dari ayahnya. Tapi tetap saja uang yang Dava kasih itu gak sedikit jumlahnya. Kan sayang, lumayan buat beli lipstik Chanel.
Ini bukan pertama kalinya Safa diminta bolak-balik nganterin berkas. Baik Dava maupun ayahnya seringkali menyuruhnya kalau mereka lupa. Kenapa, sih, dua orang itu senang banget nyuruh-nyuruh Safa. Gak ada bedanya sama Nyonya Halim.
Kan Safa juga sibuk. Sibuk rebahan maksudnya. Itu kan bentuk kesibukan Safa sebagai anak rumahan.
“Cepetan, Dek. Jangan pake lama!” Tut.
Ish, nyebelin. Dengan kaki menghentak, Safa membuka pintu kamar Dava yang bersebrangan dengan kamarnya. Lalu melangkah menuju meja yang dilengkapi kursi ergonomic di sudut ruang dekat jendela.
Beruntung Dava itu orangnya rapi. Jadi, tidak sulit bagi Safa menemukan map dengan ciri-ciri yang dimaksud.
Masalahnya dia naik apa ke sana? Pak Iwan, sopir pribadi keluarganya sedang absen pulang kampung. Ibunya sakit. Mana di luar panas banget. Safa gak sanggup memikirkan dia harus naik Gojek siang-siang gini. Ya ampun … Safa pusing.
Denting notifikasi pesan beruntun memasuki hapenya. Itu Dava yang terus menerornya agar cepat-cepat. Gimana mau cepat? Safa saja masih bingung harus naik taksi atau ojek. Akhirnya pilihannya jatuh pada ojek karena Dava terus nyepam sampai hapenya harus di silent.
***
“Kamu naik ojol?” tanya Dava saat Safa tiba di sana.
Dengan wajah merengut, Safa menjawab ketus “Iya! Nih.” Safa menyerahkan tas berisi berkas yang diminta Dava.
Tanpa disangka, Dava menariknya memasuki kafe tempat pria itu akan meeting. Wajahnya juga terlihat sedikit kalut.
Lelaki itu mendudukkannya di salah satu kursi kosong, lalu memberi beberapa lembar uang berwarna merah. “Pesan apapun yang kamu mau. Kalau kurang bilang aja, Abang di atas.” Katanya. Lalu pergi meninggalkan Safa yang masih sibuk menyusut keringat.
Safa mencibir. Tadi saja minta buru-buru. Giliran lihat adiknya naik ojol malah kayak gak senang gitu.
Safa mengamati penampilannya yang enggak banget. Dia benar-benar kegerahan. Beruntung blouse bunga-bunga menyamarkan keringat yang terserap.
Mana rambutnya lepek pula. Safa memutuskan ke toilet sebentar untuk memperbaiki penampilannya. Lupakan tacap-tacap (tuch up). Dia mana sempat membawa perintilan bedak dan semacamnya.
Safa hanya mencuci muka dan membasuh sedikit lehernya. Lalu mengelapnya dengan tisu. Percayalah, sunburn hanya bisa ditenangkan oleh cuci muka, bukan dempulan bedak yang malah menambah berat wajah dan pori.
Beruntung Safa selalu menyelipkan liptint dan sunscreen di setiap tasnya. Hal itu berguna dalam keadaan darurat seperti ini. Setidaknya wajah Safa tidak pucat dan kuyu. Safa keluar dari kamar mandi dalam keadaan lebih baik. Dia kembali ke tempat semula dan memesan makanan.
Sambil menunggu, Safa menyibukkan dirinya melihat-lihat aplikasi belanja online. Mumpung abangnya itu sedang baik, Safa tidak akan menyia-nyiakan begitu saja.
Kemarin dia sempat melihat dress cantik yang memikat hatinya. Oh, jangan lupakan satu set skincare Korea yang menjadi incarannya.
Jangan katakan Safa ini matre. Dia hanya mencoba realistis sebagai wanita. Menurut Safa kalau ada cowok yang bilang cewek itu matre, bukan ceweknya yang matre, tapi dianya yang kere.
Iya, ‘kan? Kalau kaya dia gak akan keberatan meski ceweknya minta ini itu. Lagipula Safa bukan pengoleksi tas bermiliar-miliar. Jadi masih aman.
Sejak trend belanja online mulai ramai, Safa jadi jarang pergi-pergi ke Mall. Menurutnya kalau barang itu masih bisa didapatkan secara online untuk apa capek-capek keluar. Tapi tak ayal Safa juga rindu suasana pusat perbelanjaan. Mungkin nanti dia akan mengajak bundanya jalan-jalan.
Safana Halim : Bang, transfer shopeepay, ya. Safa maksa.
Tak lama ponselnya berdenting. Safa mengernyit. Abangnya benaran lagi meeting? Kok, bisa cepat balas pesannya?
Davandra Halim : Seperti biasa, cukup?
Safana Halim : Hehe … tambahin dikit lah. Bayaran karena Safa panas-panasan tadi.
Safa membalas lengkap dengan emot melas.
***
“Kamu beli skincare lagi?” tanya Dava saat di luar kafe. Safa disuruh nunggu pria itu meeting, jadinya barengan.
Gadis imut itu cengengesan menampilkan cengiran manis yang bisa membuat siapapun menjadi gemas. Dava saja sempat terbius. “Hehe, iya …”
“Kamu udah punya lemari sendiri loh untuk menampung itu,” ujar Dava mengernyit.
“Ya terus kenapa? Namanya juga cewek,” jawab Safa ketus.
“Iya cewek, tapi kamu yang paling maruk.”
“Udahlah, Bang ... ini itu investasi buat wajah Safa. Biar nanti dapet calon suami yang tajir. Kalau muka burik, ladang duit mana mau melirik.”
Dava hanya bisa melengos setengah mencibir. Ia berpikir seberat apa penderitaan calon iparnya kelak mengahadapi Safa yang boros dan shopaholic.
“Udahlah. Capek ngomong sama Abang. Mobilnya mana sih, Bang? Panas, nih!”
Dengan setengah hati Dava menekan tombol remot kontrol mobilnya. Lalu terdengarlah suara di ujung pelataran parkir. Safa bergegas lari ke arah Pajero Sport milik kakaknya.
Dava hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya. Safa itu aktif dan cerewet seperti Bunda mereka, apalagi kalau sedang nonton drama. Mulut dan tubuhnya sama-sama gak bisa diam sampai kasur jadi berantakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments
Ayunda Rokhila
kak pindah sini saja....cerita kakak slalu gemesin...
2025-01-11
0
dije
lanjut ke sini setelah baca yg sebelah
2024-12-25
0
Zila Aziz
baru jumpa karya best juga ni
2023-08-02
0