Bertemu lagi

Sepulang sekolah Ara dan temannya, Dinda, bergegas menuju ke Central Park Mall. Jarak antara sekolah dan pusat perbelanjaan itu tidak terlalu jauh. Menggunakan transportasi umum, mereka tiba di sana lima belas menit kemudian. Keduanya berjalan beriringan saat memasuki Mall tersebut.

"Mau makan dulu atau langsung belanja, Din?"

"Makan dulu kali, ya, Ra, udah laper nih." Dinda mengusap perutnya yang keroncongan.

Ara tersenyum. "Oke."

Setelah memesan beberapa menu, Ara menghampiri Dinda yang sudah duduk di dekat jendela.

"Ini nggak salah, Ra?" Dinda terbelalak melihat begitu banyaknya makanan yang memenuhi meja mereka.

"Mungkinkah waiters itu salah kirim?" imbuhnya sambil mengalihkan pandangan dan menatap Ara.

Ara tersenyum dan menggelengkan kepala. Gerakan itu menunjukan bahwa semua makanan memang milik mereka, bukan salah kirim.

"Aku ingat kamu menyukai makanan ini, jadi aku membelikannya untukmu."

Dinda seorang pelahap dan tidak pilih-pilih soal makanan. Kecuali salad, Dia menyukai semuanya. Liurnya hampir menetes saat kembali menatap steak, spaghetti, rice bowl, serta beberapa makanan penutup lain seperti es krim, puding karamel dan waffle. Jus jeruk dan es teh lemon tampak segar dan menggoda. Dia tidak sabar ingin segera menyantapnya.

"Tunggu apa lagi, cepat makan sebelum makanannya menjadi dingin," kata Ara sambil meraih piring berisi salad.

"Baiklah."

Keduanya makan dengan lahap. Setengah jam kemudian, piring-piring di hadapan mereka hampir kosong. Dinda menyandarkan punggungnya ke belakang dan memandang Ara dengan mata menyipit.

"Memesan begitu banyak makanan, kamu pasti sangat ingin melihatku berubah menjadi sapi kan, Ra?"

Ara tersenyum mendengar pertanyaan konyolnya. Kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri saat es krim vanila yang lembut dan dingin meleleh di mulutnya.

"Pernahkah kamu melihat sapi makan daging?"

Ara mengambil sesuap lagi sebelum berkata, "Mereka hanya makan rumput."

Dinda menepuk jidat. "Ah, seharusnya aku menyebut babi tadi."

Ara tak menanggapi ucapannya. Dia menghabiskan es krimnya dengan tidak tergesa-gesa.

Sepuluh menit kemudian dia menyingkirkan wadah es krim yang sudah kosong dan kembali menatap Dinda. "Aku sudah selesai, apakah kamu masih mau makan lagi?"

Masih ada sedikit spaghetti dan juga waffle coklat yang sama sekali belum tersentuh. Dia bisa menunggu jika Dinda masih ingin menghabiskannya.

"Aku ingin, tapi perutku sudah tidak mampu menampungnya." Dinda menepuk-nepuk perutnya yang membuncit.

Ara memperhatikan Dinda yang mengelus dan menepuk-nepuk perut buncitnya. Dia tersenyum dan berkata, "Kamu terlihat seperti ibu hamil.

"Ngomong-ngomong, apakah kamu masih bisa berjalan?"

"Jangankan berjalan, aku bahkan bisa berlari mengelilingi lapangan sepuluh kali." Dia hanya kekenyangan, bukan ibu hamil apalagi jompo.

Melihat tatapan meragukan Ara, Dinda segera berdiri dan hendak membuktikannya. Namun, hal tak terduga terjadi. Perutnya yang buncit entah bagaimana membentur meja dan membuatnya kembali terduduk.

Itu tidak terlalu menyakitkan, tapi sangat memalukan. Terlebih semua orang kini menatapnya. Dinda sangat ingin menggali lubang dan mengubur dirinya sendiri ke dalam tanah.

Ara terbahak-bahak hingga bahunya berguncang. Sementara Dinda menatapnya dengan tajam.

"Kau begitu senang melihat temanmu menderita?"

"Maaf, maaf," kata Ara setelah menenangkan diri. Menyadari beberapa orang masih menatapnya, dia segera berdiri dan mengulurkan tangan ke Dinda. "Pergi sekarang?"

"Tentu." Dinda meraih tangannya dan keduanya berjalan keluar restoran.

Dalam kondisi perut kenyang, keduanya begitu energik saat beralih dari satu toko ke toko lain.

Selain toko baju, mereka juga mengunjungi toko aksesoris dan kosmetik. Ara membeli banyak barang dari setiap toko yang mereka kunjungi. Terakhir mereka mampir ke toko buku dan menghabiskan banyak waktu di sana.

Membawa dua novel di tangannya, Dinda menghampiri Ara yang masih melihat-lihat meskipun keranjangnya sudah penuh.

"Masih ada yang belum ketemu, Ra?" Dinda berniat membantu mencarinya jika diperlukan.

Alih-alih menjawab, Ara justru bertanya balik. "Kamu sudah selesai?"

Dinda menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Ara menegakkan tubuh. "Aku juga sudah selesai."

Sambil berjalan menuju kasir, Ara melirik Dinda yang hanya menenteng dua buku. Dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Kamu yakin cuma beli itu, Din? Nggak mau nambah yang lain?"

Dinda menggelengkan kepala dan menggoyangkan buku ditangannya. "Ini aja sudah cukup."

Dinda sangat senang akhirnya bisa mendapatkan novel yang sudah lama dia idamkan. Ketika gilirannya tiba, Dia segera menyerahkan belanjaannya ke staf kasir.

"Totalnya seratus delapan puluh delapan ribu," kata staf itu dengan ramah.

Dinda baru saja membuka tasnya ketika Ara menyodorkan credit card miliknya ke petugas itu. "Pakai ini, Mbak."

"Jangan!" seru Dinda menghentikan petugas yang hendak menggesek kartu.

"Pakai uangku saja," imbuhnya sambil membuka dompet. Namun, entah mengapa ritsleting nya macet.

Ara menatap staf itu dan memintanya agar menggunakan kartunya. Namun, Dinda lagi-lagi menghentikannya.

"Tidak, jangan dengarkan dia, Mbak." Dinda masih bergelut dengan dompetnya yang sulit dibuka. Dia menahan diri untuk tidak membantingnya ke lantai dan hanya bisa mengumpat dalam hati. Dompet sialan! Tunggu saja, aku akan membakarmu begitu sampai rumah.

"Pakai itu saja, Mbak, tidak apa-apa." Ara kembali mendesaknya sekaligus mengingatkan staf itu tentang antrian yang semakin panjang.

Dengan itu, staf tersebut segera menggesek kartunya tanpa ragu dan beralih ke customer berikutnya, yaitu Ara.

Dinda masih belum bisa membuka dompetnya bahkan setelah Ara selesai membayar barang belanjaannya. Pada akhirnya dia menyerah.

"Maaf, Ra. Sepertinya aku baru bisa mengganti uangmu besok."

"Tidak apa-apa, tidak perlu diganti."

Dinda menggelengkan kepala. "Tidak. Kamu sudah mentraktirku makan dan juga membelikan aku baju, bagaimana mungkin aku membiarkanmu membayar bukuku juga."

"Mengapa tidak? aku sangat senang karena kamu bersedia menemaniku berbelanja. Jadi, anggap saja itu sebagai bentuk terimakasihku padamu."

"Tapi ini terlalu banyak, Ara. Kakak mu pasti marah jika dia tahu kamu menghabiskan begitu banyak uang untuk orang lain."

Dinda tulus dan tidak serakah. Dia selalu tahu batasan dan tidak pernah memanfaatkannya. Dinda juga sangat pintar.

Tiga hal itulah yang membuat Ara lebih menyukainya dibandingkan dengan temannya yang lain.

Ara menggelengkan kepala. "Tidak akan, Dinda. Terima saja, oke."

Seperti biasa, Ara tidak memberi kesempatan orang lain menolak pemberiannya. Oleh karena itu Dinda tidak punya pilihan lain selain menerimanya. "Baiklah."

Keduanya berjalan menuju lift dan berhenti di depannya. Setelah menunggu selama dua menit, lift pun tiba. Keduanya buru-buru masuk sebelum pintu kembali menutup.

Di lantai berikutnya, beberapa orang masuk lagi. Ara mundur ke belakang untuk memberikan ruang pada orang-orang itu. Namun, karena kurang berhati-hati dia menginjak kaki seseorang. Ara segera berbalik dan sedikit membungkuk pada pria yang berdiri di belakangnya. "Maaf, aku tidak sengaja."

Farhan awalnya tidak memperdulikannya. Sepatunya cukup tebal dan dia tidak merasakan sakit sedikitpun saat kakinya terinjak. "Tidak apa-apa."

Ara merasa familiar dengan suaranya. Dia mendongak untuk melihat wajahnya yang satu kepala lebih tinggi darinya. Bulu matanya yang panjang dan lentik berkibar seperti sayap kupu-kupu saat gadis itu berkedip.

Farhan tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Dia memandangnya dengan mata berbinar. "Hai, kita bertemu lagi, Ara."

"Oh, hai," balas Ara dengan senyum di wajahnya.

Farhan melirik paper bag dikedua tangannya yang halus. "Habis belanja?"

Ara mengangguk. "Hm, habis beli buku sam--ah...."

Seseorang tiba-tiba bergerak dan membuatnya terhuyung ke depan. Di jatuh ke pelukan Farhan yang secara refleks menangkapnya.

Gadis dalam pelukannya hangat dan lembut. Wangi tubuhnya yang menguar ke udara cukup untuk membuatnya mabuk tanpa minum minuman beralkohol.

Farhan merasakan darah berdenyut di dalam dirinya, panas merembes melalui pembuluh darahnya, langsung menuju ke antara pahanya yang menempel dengan perut bawahnya. Telinganya memerah dan celananya menjadi semakin ketat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!