Jalanan kota Z selalu ramai saat pagi hari.
Farhan berhenti sejenak ketika lampu merah. Seperti biasa, matanya mengembara ke segala arah. Kanan, kiri, depan dan belakang. Semuanya tak luput dari sapuan matanya.
Sesosok gadis di seberang jalan mengusik perhatiannya. Farhan menyipitkan mata agar bisa melihatnya lebih jelas.
Itu benar-benar dia, gadis cantik yang Farhan temui beberapa hari yang lalu, yang matanya seperti mata rusa betina, besar dan berair.
Gadis itu duduk sendirian di halte. Dia melihat jam di tangannya sebentar, lalu beralih ke jalanan. Ekspresinya menunjukan kalau dia sedang gelisah.
Satu menit telah berlalu dan Farhan masih menatapnya. Beberapa orang membunyikan klakson, menyadarkan Farhan kalau lampu lalulintas sudah berubah hijau.
Farhan buru-buru menarik gas dan kembali melajukan kendaraannya. Farhan seharusnya tetap lurus, tapi dia memutar setir ke kanan, putar balik. Tak berselang lama, dia menghentikan kendaraannya lagi, tepat di depan gadis itu.
"Hai, Ara."
Ara mengangkat wajahnya, menatap pria asing di hadapannya. Ketika berkedip, bulu matanya yang panjang dan lentik berkibar seperti sayap kupu-kupu, indah sekali. Kerutan halus muncul di keningnya yang semulus porselen.
Bagaimana dia bisa tahu namanya? Dia tidak memakai nametag.
Farhan tersenyum melihat kebingungannya. "Kamu temannya Ami, kan? Aku tetangganya."
Ara terkejut sekali lagi. Kepalanya mengangguk secara robotik.
"Apa kau sedang menunggu angkutan umum?"
Ara membuka mulut kecilnya dan hanya mengatakan satu kata. "Ya."
"Kamu mungkin harus menunggu lebih lama lagi, ada kecelakaan di jalan lingkar ketiga." Sebelumnya Farhan melihat sebuah truk terguling dan menghalangi sebagian jalan. Itu menyebabkan kemacetan parah karena mobil lain tidak bisa melintas.
Ara akhirnya mengerti mengapa bus yang ia tunggu tak kunjung datang. "Terimakasih informasinya."
Ara berdiri dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
Awalnya Farhan tidak begitu memperhatikan seragamnya. Salah satu alisnya terangkat saat melihat logo di dadanya. SMA Panas Dingin, wow.
Sekolah itu tidak biasa. Selain harus memiliki otak encer, seseorang perlu merogoh kocek cukup dalam agar bisa masuk ke sekolah elit itu.
Hanya ada dua tipe siswa di sana. Jika siswa itu tidak kaya, maka sudah pasti sangat-sangat pintar atau mendekati jenius.
Farhan menduga Ara termasuk tipe siswa yang kedua. Orang kaya cenderung menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum.
Yang tidak Farhan ketahui adalah sepatu yang dipakai Ara setara dengan harga sepeda motornya. Belum lagi tas yang menggantung di punggung kecilnya, yang sama dengan gajinya selama satu tahun.
"Bagaimana kamu akan pergi ke sekolah?" Tidak ada angkutan umum. Dia tidak mungkin pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.
"Aku akan memesan ojek online."
"Apakah masih sempat?" Memesan ojek online memerlukan waktu, sedangkan saat itu sudah hampir jam tujuh.
"Mengapa kamu tidak ikut denganku saja? Kebetulan kita searah, aku bisa mengantarmu, gratis." Farhan berbohong tanpa berkedip. Faktanya tujuan mereka berlawanan arah.
Seseorang dari industri hiburan seharusnya merekrut dan menjadikannya sebagai aktor. Dia sangat berbakat dibidang itu. Visualnya juga sangat mendukung.
Farhan berkulit putih dengan rambut hitam yang halus terurai di dahinya. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis membuatnya tampak agak angkuh, sangat kontras dengan mata almond nya yang memancarkan kelembutan. Senyumnya dapat membuat seseorang diabetes, manis sekali.
Ara mengernyitkan dahi. Apa dia kelihatan miskin? Sehingga seseorang ingin memberinya tumpangan gratis?
"Sudah hampir jam tujuh. Kamu akan terlambat jika tidak pergi sekarang." Farhan mengingatkan.
Ara melihat jam tangannya. Mata besarnya melebar karena terkejut. Dia hanya punya waktu sepuluh menit sebelum gerbang sekolah ditutup.
"Apa aku tidak merepotkan?"
"Sama sekali tidak. Ayo naik."
Jok belakangnya agak tinggi, Ara naik ke atasnya dengan bantuan Farhan, yang mengulurkan tangan agar dia bisa berpegangan.
Tangannya hangat dan selembut beludru. Farhan tidak ingin melepasnya. Dia ingin membelai dan mengusapkan ke sisi wajahnya. Namun, dia sadar hal itu tidak pantas dilakukan. Jadi dengan enggan dia melepasnya.
Ara memegangi jaket Farhan dengan ujung jarinya. Posisi duduknya juga terlalu ke belakang. Jika itu dibiarkan, dia akan terpental begitu Farhan menarik gas.
"Kamu akan jatuh jika berpegangan seperti itu. Pegang lebih erat." Farhan menarik kedua tangan Ara dan meletakkan di perutnya, melingkari pinggangnya.
"Seperti ini."
Selain kedua kakaknya, dia belum pernah memeluk pria lain. Ara merasa wajahnya seperti terbakar. Dia sangat malu.
Farhan tersenyum melihat rona merah di kedua pipinya. "Kita berangkat sekarang?"
Ara hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Sepanjang jalan Farhan tersenyum lebar. Pasalnya setiap kali dia menambah kecepatan atau saat menyalip kendaraan lain, Ara akan memeluknya semakin erat.
"Terima kasih atas tumpangannya," kata Ara begitu turun dari motor.
"Sama-sama." Farhan mengulurkan tangan, hendak merapikan rambut Ara yang sedikit berantakan diterpa angin. Namun, gadis itu menghindari sentuhannya.
"Rambutmu berantakan," kata Farhan seraya menarik tangannya yang tergantung di udara.
"Oh." Ara menyentuh kepalanya sendiri. Kedua pipinya kembali merona karena malu. Dia menyisir rambutnya dengan jari-jarinya yang halus dan ramping.
"Terima kasih sudah diingatkan," katanya kemudian.
Farhan membalasnya dengan anggukan kepala.
Ara merasa canggung karena Farhan terus menatapnya dan tak kunjung pergi. Untungnya bel sekolah berbunyi, sehingga dia punya alasan untuk pergi lebih dulu.
"Sebentar lagi gerbangnya ditutup, aku harus masuk sekarang."
Farhan mengangguk. "Ya, masuklah."
"Sekali lagi, terimakasih." Usai mengatakan itu, Ara berbalik dan melangkah masuk ke dalam sekolah.
Farhan menatap punggungnya yang bergerak semakin menjauh. Dia baru pergi setelah gadis itu menghilang dari jangkauan matanya.
Saat itu Farhan baru sadar kalau dirinya sudah terlambat dan harus segera pergi ke tempat kerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments