"Sekian untuk hari ini, terimakasih atas kerja keras semua orang." Samsul berdiri dan meninggalkan ruang rapat. Ia segera menghubungi Ara yang telah meneleponnya berulang kali saat sedang rapat.
"Halo, Kakak di mana? mengapa belum pulang?" Ara langsung menginterogasinya. Dia sangat kesal karena Samsul tak kujung menjawab panggilannya dan membuatnya menunggu selama lebih dari satu jam.
Samsul merasa Ara lebih seperti istrinya. Istri yang sangat cerewet, tapi juga penuh perhatian. Samsul sangat menyayanginya. Sangat-sangat menyayanginya hingga dia tidak sanggup melepasnya. Samsul tidak rela memberikannya kepada siapapun dan pria manapun. Jika bisa, dia berharap gadis kecilnya yang cantik dan berharga, terus berada disampingnya dan menjadi miliknya selamanya. Itu terlihat tidak benar, tapi Samsul benar-benar memiliki pemikiran seperti itu. Dia menjadi maniak adik tanpa ia sadari.
Samsul membuka pintu dan masuk ke ruang kerjanya dengan wajah tersenyum. "Kakak masih di kantor, ada apa?"
"Masih di kantor?" Ara melompat dari tempat tidur begitu mendengar ketukan di pintu. Salah satu asisten rumah tangga memberitahu bahwa makan malamnya sudah siap. Dia keluar kamar dan menuju ruang makan di lantai satu.
"Bagaimana bisa? Apa Kakak tidak melihat jam berapa sekarang?"
Samsul melirik jam di tangannya. "Jam tujuh lewat empat puluh tiga menit."
Ara menganggukkan kepala dan menggertakkan gigi. "Benar. Itu hampir jam delapan."
Samsul mengernyitkan dahi. "Ada apa denganmu? Mengapa kamu terdengar sangat tidak senang?"
"Bagaimana menurut Kakak?"
Ara menarik kursi dan duduk di atasnya. Dia menyalakan speaker dan meletakkan ponselnya ke meja.
Sup ayam kampung dengan jamur dan brokoli di hadapannya sangat menggugah selera. Sebelum liurnya benar-benar menetes, dia sudah mengambil sendok dan menyuapkan sup itu ke mulutnya.
Ayamnya empuk, kuahnya gurih dan segar. Jamur dan brokolinya juga tidak terlalu lembek. Semuanya sempurna, sangat enak. Juru masak di rumahnya benar-benar luar biasa. Ara menoleh dan mengacungkan jempol ke arah Bibi yang berdiri tak jauh darinya. Kekesalannya berkurang secara ajaib.
Samsul melepas jas dan melemparnya ke sofa. Setelah itu berjalan menghampiri meja kerjanya. "Menurutku, kamu sedang kesal."
"Benar sekali." Ara kembali menjejalkan sup ke dalam mulutnya dan mengunyahnya perlahan.
"Apa yang membuatmu kesal? Apakah seseorang mengganggumu?" Satu tangannya menarik dasi, melonggarkannya saat Samsul menjatuhkan tubuhnya di kursi kerja. Punggungnya bersandar ke belakang. "Katakan pada Kakak, siapa orang itu? Kakak akan menghajarnya. Beraninya dia mengganggu gadisku."
Sudut mulutnya berkedut. Demi sup yang berharga, Ara menahan diri untuk tidak terbahak-bahak. Dia menelan makanan di mulutnya dan minum seteguk air. "Kalau begitu, bisakah Kakak menghajar diri sendiri? Kakak yang membuatku kesal."
Samsul tersedak oleh kata-katanya. Air yang baru saja diminum menyembur keluar dan dia terbatuk beberapa kali. Dia mengusap mulut dan wajahnya dengan tisu sebelum berkata,
"Apa yang telah kulakukan, mengapa aku membuatmu kesal?"
"Kakak tidak menepati janji."
"Janji?" Samsul mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat-ingat sebentar, sebelum akhirnya menyerah. Dia benar-benar tidak mengingat apa yang telah ia janjikan padanya. "Janji apa?"
"Kakak berjanji akan menemaniku berbelanja hari ini, sepulang kerja. Aku sudah bersiap sejak sore dan berdandan dengan cantik, tapi Kakak tak kunjung datang sampai detik ini. Apa Kakak tahu? menunggu itu sangat menyebalkan."
Samsul mengusap wajahnya. "Maaf, Kakak lupa."
"Akta kelahiran Kakak pasti palsu," Ara mencibir. "Kakak seharusnya berusia enam puluh tahun dan sudah menjadi kakek-kakek karena begitu pelupa."
Samsul terkekeh mendengar cemoohannya. Samsul bisa membayangkan seperti apa ekspresinya saat gadis itu mengungkapkan ketidaksenangannya. Bibir kecilnya yang montok pasti mengerucut.
"Jangan tertawa," kata Ara, kesal.
Samsul menutup mulut dan berhenti tertawa. Dia memasukan laptop ke dalam tas kerjanya dan bangkit dari kursi. Dia menyambar jasnya sebelum keluar.
"Apa kau masih ingin berbelanja?"
"Lupakan saja. Sudah larut, Mallnya juga sebentar lagi tutup."
"Apa ada sesuatu yang kamu inginkan untuk makan malam? Kakak akan membelikannya untukmu."
"Bibi sudah menyiapkan banyak makanan untuk makan malam. Aku juga tidak menginginkan apapun, jadi jangan membeli apapun dari luar.
"Ada yang ingin kutanyakan, jadi cepatlah pulang, aku akan menunggu."
"Baiklah. Tunggu sebentar, Kakak akan sampai dalam lima belas menit." Samsul sudah berada di dalam mobilnya dan memerintahkan supirnya agar segera pergi.
Ara menggelengkan kepala. "Tidak. Santai saja, tidak perlu terburu-buru." Tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan kakaknya.
"Oke. Ada yang menelepon, Kakak akan menutup telepon sekarang." Samsul memberitahunya. Dia segera menerima panggilan itu. Nomor anonim itu telah menghubunginya beberapa kali saat ia masih mengobrol dengan Ara.
Nada bicara dan ekspresi Samsul berubah seratus delapan puluh derajat. Segala kelembutan dan kasih sayang yang ia perlihatkan sebelumnya menguap begitu saja, seolah tidak pernah ada. Dia kembali menjadi seperti biasanya, tegas dan dingin.
Perlu diketahui, selain kedua adiknya, Samsul tidak pernah memperlakukan orang lain dengan hangat.
Begitu panggilannya berakhir, Ara segera menghabiskan supnya. Dia juga makan semangkuk kecil nasi putih dan setengah ikan bakar madu berukuran besar.
Begitu Samsul tiba, dia sudah menghabiskan makan malamnya dan sedang menonton tv di ruang keluarga. Dia segera berlari ke arahnya dan membawakan tas kerjanya.
"Apa Kakak haus?"
Samsul mengangguk. Dia melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal berbulu yang sama dengan milik Ara. Hanya warnanya yang berbeda. Miliknya berwarna biru, sementara Ara berwarna merah muda. Keduanya memiliki telinga kelinci.
"Tunggu sebentar." Ara meletakkan tas kerjanya ke meja dan berlari ke dapur. Saat kembali, dia membawa secangkir air putih dan menyerahkannya pada Samsul yang sudah duduk di sofa, di ruang tamu.
"Terimakasih." Samsul menghabiskannya dalam dua kali teguk dan meletakkan cangkir itu ke meja. "Apa yang ingin kau tanyakan?"
Ara memeluk lengan Samsul dan menyandarkan kepalanya di bahunya. Dia mulai memberitahunya, "Sabtu besok temanku berulang tahun. Dia akan mengadakan pesta di hotel Hilton dan aku diundang."
Samsul menatapnya. "Teman yang mana?"
"Namanya Gio, dia satu kelas denganku dan juga ketua OSIS."
"Laki-laki?"
Ara mengangguk. Dia berkata dalam hati. Tentu saja dia laki-laki. Mana ada perempuan dengan nama seperti itu.
Ara menatap Samsul yang diam saja. "Bagaimana? Apa aku boleh pergi?"
"Coba tanyakan padanya dulu, apakah kamu diijinkan membawa pendamping?"
Ara menjauhkan diri. Matanya yang seperti mata rusa betina terbelalak. "Apa? Kakak mau ikut?"
"Apa yang membuatmu begitu terkejut?" Samsul menepuk kepalanya dengan lembut. "Kamu tahu, Kakak tidak akan membiarkanmu pergi ke pesta manapun sendirian." Samsul tidak bisa membiarkannya pergi ke acara dan tempat seperti itu tanpa pengawasan.
"Semua tamu yang diundang masih anak-anak, tidak akan ada orang dewasa di sana." Ara jelas keberatan jika Samsul ikut. Oang-orang yang tidak menyukainya pasti akan mengolok-oloknya. Rumor bahwa dia adalah anak emas yang tak bisa disentuh sudah sangat menjengkelkan. Dia tidak ingin menambah rumor lain.
"Lagipula aku tidak sendirian. Aku berencana pergi bersama Dinda."
"Siapa lagi itu? Apa dia juga laki-laki?"
Ara menatapnya dengan curiga. Apakah Kakaknya benar-benar memiliki IQ 140? Dia bahkan tidak bisa membedakan nama-nama perempuan dan laki-laki. Dia sangat bodoh.
"Dia perempuan. Kakak pernah melihatnya. Dinda pernah main ke sini, sekali," jelasnya.
"Iyakah? Kapan itu? Kakak tidak ingat."
"Sudah lama sekali. Wajar jika Kakak tidak ingat." Ara menggeser tubuhnya dan berbaring telentang di sofa. Kepalanya berada dipangkuan Samsul.
Samsul mengulurkan tangan, mencubit hidungnya yang kecil dan membelai rambutnya. "Acaranya dari jam berapa sampai jam berapa?"
"Pestanya dimulai pukul tujuh malam. Aku tidak tahu jam berapa acaranya berakhir."
"Kalau begitu, beritahu Kakak jika sudah selesai, Kakak akan menjemputmu."
Ara menggelengkan kepala. "Tidak, aku bisa pulang sendiri, naik taksi atau ojeg online." Dia bukan anak TK lagi, dia sudah besar, tidak perlu dijemput.
Samsul menatapnya dengan tajam. Tanpa disadari tangannya mencengkram erat rambutnya. "Kau lupa pesan kakak? Jangan naik ojeg maupun taksi, apalagi naik kendaraan orang tak dikenal."
Cengkeraman tangannya mulai mengendur dan tatapannya kembali melembut. Wajahnya diliputi kekhawatiran saat memperingatkan nya. "Jangan pernah lakukan itu, oke?"
Ara teringat kejadian di pagi hari dan menelan ludah. Apakah Kakaknya akan menyiksanya jika dia tahu bahwa dia telah melanggar perintahnya?
Ara segera mengangguk. "Oke"
Samsul membungkuk untuk mengecup keningnya. Tangannya kembali membelai kepalanya dengan lembut. Memainkan rambutnya dengan jari-jarinya yang panjang dan ramping. Keduanya tidak berbicara dan hanya menatap layar televisi.
***
Sementara itu di tempat yang berbeda, Farhan baru saja pulang kerja. Setelah mandi dan makan malam, dia duduk di ruang tamu dan menonton tv.
Ibunya ada di sampingnya, sedang mengupas mangga dan mengirisnya menjadi potongan-potongan kecil. "Si Galih baru saja bertunangan, apa kau tahu?"
"Hm," Farhan mengangguk. Dia mengambil sepotong mangga dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Sinta meletakkan pisau dan menatap putranya. "Bagaimana denganmu? Kapan kau akan membawakan menantu untukku?"
Farhan menghela nafas panjang. "Salsa masih harus kuliah, dia memerlukan banyak biaya."
Sinta menatapnya dengan iba sekaligus merasa bersalah. Andai saja suaminya masih ada, putranya tidak perlu berkorban sebanyak ini.
"Jangan khawatirkan soal itu. Sebentar lagi adikmu wisuda, dia bisa membantu biaya kuliah adiknya."
Wajah Kania melintas dibenak Farhan. Adiknya yang lain, yang kini berada di luar kota juga seorang perempuan. Farhan tidak mungkin mengandalkannya. Selain itu Kania sudah punya pacar. Bukan tidak mungkin kalau dia tiba-tiba menikah begitu lulus kuliah.
Farhan tidak mengutarakan apa yang ada dipikirannya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri.
"Ngomong-ngomong, apakah kamu punya pacar?"
"Tidak." Farhan menggelengkan kepala dan kembali menjejalkan mangga ke dalam mulutnya.
Sinta memandangnya dengan sedikit curiga. Putranya sudah sangat tua, tapi sekalipun dia tidak pernah melihatnya bersama seorang gadis. Sebaliknya, dia selalu bergaul dengan ke empat teman laki-lakinya, yang juga masih lajang. Mungkinkah kecurigaan orang-orang benar, bahwa putranya mungkin tidak menyukai wanita?
"Apakah kamu menyukai laki-laki?"
Pertanyaannya mengejutkan Farhan hingga membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Farhan segera menyambar segelas air putih di meja dan menenggaknya hingga tandas.
Jantung Sinta berdebar kencang. "Kamu begitu terkejut, apakah itu berarti benar?"
Omong kosong apa yang ibunya katakan!
Jika orang lain yang mengatakannya, dia pasti sudah melemparnya ke laut atau menguburnya hidup-hidup. Namun, ini ibunya, orang yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah. Sekesal atau semarah apapun, Farhan tidak berani memperlakukannya dengan kasar. Selama ini dia bahkan tidak pernah meninggikan suaranya dihadapan ibunya. Farhan menatap ibunya lekat-lekat. "Bu, aku normal."
Sinta menghela nafas panjang. Dia meraih pisau dan piring kotor di meja dan membawanya ke dapur. Sebelum beranjak ke kamarnya, dia mengingatkan Farhan. "Sudah malam, tidurlah, jangan begadang."
Farhan menganggukkan kepala sebagai jawaban. Lima belas menit kemudian dia mematikan tv dan pergi ke kamarnya untuk tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments