Bab 2

SMA Panas Dingin melarang siswanya memakai riasan selama di sekolah. Oleh karena itu, setelah mandi Ara hanya perlu menata rambut dan mengaplikasikan tabir surya guna melindungi kulitnya dari sinar UV.

Ara memiliki alis tipis yang secara alami tertata rapi. Seolah itu sengaja dilukis dengan hati-hati oleh sang pencipta. Bulu matanya panjang dan lentik, membingkai mata hazel nya yang seperti rusa betina—besar dan berair, indah sekali. Kulitnya yang seputih salju membuatnya tampak seperti vampir cantik yang sangat memikat.

Kemeja putih serta rok lipat sebatas lutut membalut tubuh mungilnya dengan sempurna. Rambutnya yang bergelombang, yang diikat tinggi-tinggi, bergoyang ke kanan dan ke kiri ketika gadis itu menuruni anak tangga.

"Selamat pagi, Bibi," Sapanya pada asisten rumah tangga yang sedang menyusun piring di meja makan.

"Selamat pagi, Nona Ara."

Ara menghampiri meja panjang yang di kelilingi enam kursi itu. Peralatan makannya didominasi warna putih dan emas. Semuanya berkualitas tinggi dengan kesan mewah. Harganya tentu saja mahal.

Semangkuk besar nasi goreng seafood, telur rebus, sereal dan sandwich dengan isian daging dan keju tersaji di atasnya. Air mineral dan sekeranjang buah segar selalu tersedia di meja itu.

Ara meletakkan ranselnya di kursi dan duduk di kursi lainnya. Dia baru saja meletakkan sepotong sandwich di piringnya ketika terdengar langkah kaki dari atas. Dia mendongak untuk melihatnya.

Kakak sulungnya terlihat tampan dengan setelan armani abu-abu. Dengan kaki panjangnya, setiap langkah Samsul melewati dua anak tangga sekaligus.

"Selamat pagi, Kakak."

"Pagi, Sayang." Samsul menghampirinya dan membungkukkan badan untuk mengecup pipi Ara yang kemerahan. Setelah itu menarik kursi dan duduk di sampingnya.

Samsul menatap wajah adiknya yang berseri-seri.

"Kau tidur nyenyak, semalam?"

Mulutnya dipenuhi makanan. Ara hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Samsul tak bisa menahan senyum melihat kedua pipinya yang menggembung.

“Dia seperti tupai saat sedang makan, sungguh menggemaskan.”

Samsul mengupas telur dan meletakkannya di piring Ara. Kemudian menuangkan sereal dan susu ke dalam mangkuk kecil dan kembali menyodorkannya ke gadis itu. "Makanlah lebih banyak, kamu terlalu kurus."

Ara memandang makanan yang disodorkan kepadanya, lalu melirik sang kakak. Tatapannya seolah mengatakan 'apa menurut kakak aku ini babi?'

Meskipun enggan Ara menghabiskan telur yang dikupas Samsul khusus untuknya.

"Aku sudah kenyang," katanya sambil menyingkirkan sereal di hadapannya.

"Apa menurutmu kakakmu ini bodoh?" Samsul tidak percaya seseorang merasa kenyang hanya dengan sepotong sandwich dan sebutir telur rebus.

Samsul mendorong sereal itu ke hadapannya lagi. "Habiskan."

Dengan wajah cemberut Ara mengambil sendok dan mulai memakan sereal itu.

Sementara Samsul tampak mengunyah roti yang diolesi butter sembari menunggu steak daging sapi tanpa lemak yang sedang dibuat.

Beralih dari rumah besar itu, yang jaraknya tidak terlalu jauh, berdiri sebuah rumah yang jauh lebih sederhana. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar tidur, satu ruang keluarga dan ruang tamu, serta dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi.

Perabotannya tampak biasa saja. Tidak ada rak kaca berukuran raksasa, hiasan keramik, apalagi lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Setiap meja dan lemari terbuat dari kayu jati.

Tidak seperti dikediaman keluarga Ara, yang memiliki beberapa menu berbeda, meja makan Farhan hanya tersaji dua porsi nasi uduk yang di bungkus dengan daun pisang dan dilapisi koran bekas.

Tidak ada buah, roti maupun sereal. Apalagi steak daging sapi yang harganya cukup mahal. Menu tersebut tidak pernah tersaji di meja kecil itu.

Meskipun kondisi kedua keluarga itu sangat jauh berbeda, tapi suasananya tampak sama. Farhan dan adiknya duduk berdampingan, menikmati sarapannya masing-masing.

"Kak Farhan hari ini masuk siang?" Salsa bertanya di sela-sela makannya.

"Hari ini libur." Menoleh ke arahnya, Farhan bertanya balik. "Kenapa?"

"Tidak apa-apa, cuma bertanya."

Salsa kembali menjejalkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Dia mengunyahnya secara perlahan dan mengulangnya hingga nasi uduk miliknya habis tak bersisa.

Gadis itu masuk ke kamarnya sebentar sebelum kembali menghampiri Farhan dengan ransel di pundaknya.

Farhan mengerutkan kening, menatap tangan kecil yang diarahkan padanya. "Apa ini?"

"Minta uang," Jawab Salsa.

"Bukankah ibu sudah memberimu uang?"

"Bukan untuk jajan, ada buku yang harus di beli."

"Berapa harganya?" tanya Farhan sambil menghabiskan sarapannya dalam satu suapan besar.

"Seratus lima puluh ribu."

"Tunggu sebentar."

Setelah meneguk segelas air, Farhan bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamarnya. Ketika kembali dia membawa dua lembar uang kertas pecahan seratus ribu dan menyerahkannya pada Salsa.

"Ambil saja kembaliannya."

Salsa menerimanya dengan senyum lebar.

"Terima kasih, Kakak."

***

"Sandi ke mana, Bim?" tanya Farhan sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa lusuh yang memiliki lubang dibeberapa tempat.

"Lagi beli sparepart." Bimo menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari sepeda motor yang sedang ia perbaiki.

Farhan mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana. Mengambil sebatang, dia menyelipkannya diantara bibirnya yang pucat. Kedua tangannya memegang korek dan melindungi apinya dari angin. Detik berikutnya asap tipis menyelimuti sisi wajahnya yang tampan.

Hendra datang dan menyapanya tak lama kemudian. "Hai, Bro. Kau di sini juga?"

"Kau tidak bekerja?" tanya Bimo sambil melirik Hendra.

"Sudah pulang."

Dahinya mengernyit saat Bimo bertanya, "Pulang? Jam segini?"

Saat itu masih tengah hari. Pekerjaan macam apa yang membiarkan karyawannya pulang secepat itu.

Tidak seperti Bimo yang tampak kebingungan, Farhan mengerti mengapa temanya itu pulang kerja lebih awal.

Gumpalan abu berjatuhan saat Farhan menjentikkan rokoknya ke asbak. Dia bertanya pada Hendra tanpa memandangnya, "Kali ini apa yang telah kau lakukan sehingga membuatmu di pecat?"

"Siapa bilang aku dipecat? Aku tidak dipecat." kata Hendra dengan percaya diri. Pria itu mengambil sebatang rokok milik Farhan. "Bos hanya menyuruhku pulang dan tidak perlu bekerja lagi."

Bimo memutar matanya sebelum berbalik dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Hendra melempar korek ke meja sambil berkata, "Apa kau tahu, hari ini aku bertemu seseorang yang sangat menyebalkan."

"Orang menyebalkan itu yang membuatmu kehilangan pekerjaan kan?" tebak Farhan.

"Bagaimana kamu bisa tahu, apa kau dukun?" ucap Hendra dengan nada bercanda

"Apa yang dia lakukan?" tanya Farhan.

"Tua Bangka itu terlalu menjijikkan. Bisa-bisanya dia meraba waiters disiang bolong dan ditengah kerumunan. Dia pikir restoran kami warung remang-remang? Masih untung aku hanya mengguyurnya dengan air putih dan bukan air keras.

"Kau seharusnya mematahkan tangannya," kata Farhan.

"Aku ingin melakukannya, tapi manager sialan itu menghalangiku. Bosku juga aneh. Alih-alih menghukum pelaku kriminal, dia justru memecatku. Kurasa mereka sama-sama sinting. Aku tidak bersalah, tapi dua orang tolol itu memperlakukanku dengan tidak adil."

Bimo menjatuhkan tang di tangannya ke tanah dan menggantinya dengan kunci inggris.

"Berhenti mengeluh. Kau bukan satu-satunya orang yang menderita di sini."

Hendra mengernyitkan dahi. "Siapa?"

Bimo menunjuk Farhan dengan kepalanya.

"Farhan? Memangnya dia kenapa?"

"Pacarnya akan menikah dengan orang lain. Dia pasti sangat sedih sekarang."

Hendra menoleh ke arah Farhan. "Emang iya, Han?"

"Jangan dengarkan omong kosongnya. Kami sudah putus."

"Hah, kapan? mengapa kalian putus?" Hendra ingat, dua minggu lalu Farhan masih jalan dengan Mega. Saat itu mereka tampak baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda sedang bertengkar apalagi akan berpisah.

Hendra terdiam, menunggu jawaban. Namun, tiga menit telah berlalu dan Farhan masih tidak mengatakan apa-apa. Pria itu terus merokok dengan santai.

"Hei, aku bertanya padamu, mengapa kau diam saja?" seru Hendra tidak sabar.

Farhan menyandarkan punggungnya ke belakang dan berkata dengan malas. "Berhenti bertanya hal-hal yang tidak penting. Kapan dan mengapa aku putus dengannya tidak ada hubungannya denganmu. Aku juga tidak punya kewajiban menjelaskan apapun pada siapapun."

Bimo mengamati ekspresi Farhan yang sangat tenang. Dia menjadi bingung. "Kau benar-benar tidak merasa sedih, Han?"

Farhan menggelengkan kepala. "Tidak."

"Sama sekali?" tanya Hendra.

"Sama sekali." Farhan berkata dengan tegas.

Semua temannya tahu bahwa Farhan tipe orang yang suka berterus terang. Jika dia berkata tidak maka selamanya akan tetap tidak. Itu berarti benar bahwa dia tidak merasa sedih sedikit pun.

"Kau dan Mega menjalin hubungan cukup lama, sudah lebih dari dua tahun kalau tidak salah. Namun, sekalipun aku tidak pernah mendengarmu memanggilnya dengan panggilan khusus. Kau selalu menyebut namanya. Kau juga sering mengabaikannya dan terkesan acuh tak acuh padanya. Aku agak penasaran...."

Bimo berhenti mengutak-atik motornya dan menoleh ke arah Farhan, "Selama ini, apa kau hanya ingin bermain-main dengannya? Tidak pernah menganggapnya serius?"

"Seperti yang kau bilang, sudah dua tahun. Jika tidak serius, untuk apa aku menjalin hubungan dengannya selama itu?" Dia bukan lagi remaja yang ingin mencoba-coba atau sekedar mencari kesenangan.

Diusianya yang sekarang Farhan tentu sudah memikirkan masa depan. Dia ingin membina rumah tangga dan meneruskan keturunannya.

"Lalu, mengapa kau tak kunjung menikahinya?" tanya Bimo. Jika Farhan bergerak cepat, pacarnya tidak akan diambil orang.

"Kau pikir menikah itu mudah?" Farhan menunduk, menatap jari-jarinya yang menjentikkan abu ke asbak. Dia kembali menghisap rokoknya sebelum melanjutkan, "Bukan hanya satu atau dua juta, tapi butuh puluhan hingga ratusan juta untuk menikahi seorang wanita. Dimana aku mendapatkan uang sebanyak itu? Tidak mungkin aku menjual salah satu ginjalku demi bisa menikahinya. Kau tahu sendiri, aku punya keluarga yang harus kuberi makan setiap hari. Kedua adikku masih perlu banyak biaya untuk menyelesaikan pendidikannya."

"Setidaknya kau bisa melamarnya dulu, Han. Jadi orang lain tidak bisa merebutnya darimu," ujar Hendra.

Farhan tersenyum. "Apa kau percaya takdir?"

Farhan menatap Hendra saat menambahkan, "Percayalah, apa yang ditakdirkan untukmu, maka akan tetap menjadi milikmu. Begitu juga sebaliknya. Tidak peduli seberapa keras kamu menjaga ataupun mengejarnya, jika orang itu tidak ditakdirkan untukmu, maka dia tidak akan menjadi milikmu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!