Lamaran

"Neng, udah siap belum ?" 

Bu Marni masuk ke kamar Sahla memastikan persiapan anaknya.

"Kok ga dipake baju yang Ibu pilihin ?"

"Terlalu bagus Bu. Emang mau ada acara apa ?"

"Kamu ini, tadikan udah Ibu bilangin. Nak Bima sama Ibunya mau kesini."

"Terus kenapa Sahla harus pake baju yang bagus ?"

Bu Marni geleng-geleng kepala. "Emangnya kamu ga ngerti apa maksud kedatangan mereka ?"

"Ngga Bu. Emangnya mereka mau apa ? Bukannya Bi Ratih udah biasa main kesini ?"

"Aduh, anak ini polos sekali." 

"Kenapa sih Bu ?"

"Mereka mau melamarmu, Sahla anakku."

"Jangan bercanda Bu."

"Kedatangan mereka kesini bukti bahwa mereka tidak sedang bercanda, begitu pun dengan Ibu."

"Tapi, Bu…" Sahla menghentikan ucapannya karena mendapat tatapan tajam dari Ibunya.

"Sahla. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau tak keberatan dengan Bima ?"

Sahla hanya terdiam. 

"Jangan bikin malu Ibu dan Bapakmu, Neng. Ibu udah bilang sama Bi Ratih kalau kamu mau sama Bima."

"Bu, Sahla memang tak keberatan dengan Bima. Tapi, bukan sekarang Bu. Apa ini tak terlalu buru-buru ?"

"Sesuatu yang baik itu harus disegerakan, Neng." Dengan lembut Bu Marni menasihati Sahla.

Sementara Sahla hanya diam saja, tak berani membantah.

"Kamu dan Bima sudah sama-sama saling menerima. Usia kalian juga sudah sangat pantas untuk berumah tangga. Mau nunggu apa lagi ?" Lanjut Bu Marni.

"Sahla belum siap Bu ?"

"Terus kamu mau nikah harus nunggu siap dulu ? Kapan kamu siapnya ? Besok ? Bulan depan ? Tahun depan ? Atau nunggu Ibu mati dulu, baru kamu siap ?" Dengan kesal Bu Marni mengeluarkan isi hatinya. Sudah lama Bu Marni meneror Sahla dengan pernikahan. Tapi Sahla selalu beralasan belum siap saja.

"Bu! Jangan berkata seperti itu!" Sahla langsung menghambur ke tubuh Ibunya dan memeluknya. Sahla dan Ibunya kini saling berpelukan dengan berurai air mata.

"Ibu hanya ingin melihatmu menikah, Neng. Ibu tidak akan tenang jika kamu belum menikah. Apalagi sekarang kamu jauh dari Ibu. Ibu makin tidak tenang. Setidaknya jika kamu sudah menikah, ada yang jagain kamu. Dan yang terpenting tugas terbesar Ibu sudah tertunaikan." 

Sahla hanya diam saja. Mencerna setiap perkataan Ibunya.

"Neng. Setiap wanita pasti menginginkan suami yang ia cintai, kamu juga pasti begitu. Jika sekarang belum ada cinta diantara kalian, itu bukan menjadi alasan untuk kalian tidak bersatu. Banyak yang saling cinta tapi tak berjodoh, dan banyak juga yang tidak saling cinta tapi ternyata berjodoh. Yang terpenting sekarang hati kalian sudah saling menerima ikhlas karena Allah. Insya Allah cinta akan hadir seiringnya waktu kalian bersama. Bukankah cinta yang hadir setelah pernikahan itu lebih indah dan nyata ?" Panjang lebar Bu Marni memberi wejangan untuk meyakinkan anaknya.

Bu Marni menatap wajah Sahla dan menghapus air matanya. "Sudah adzan Isya, sekarang sholat dulu. Terus siap-siap menyambut Bi Ratih dan Bima." Bu Marni pun beranjak dari duduknya dan keluar kamar Sahla.

Sahla menuruti perkataan Ibunya. Ia bangkit lalu wudhu dan menunaikan shalat Isya di kamarnya. Tak lupa selesai sholat ia berdoa untuk dilapangkan hatinya. Lalu ia pun lekas memakai baju pilihan Ibunya, dan memakai kerudung yang senada dengan warna bajunya, yaitu biru tua. Wajahnya sedikit ia poles dengan bedak dan lipbalm, agar tak terlalu pucat saja. 

Sementara di rumah Bu Ratih, Bima tengah siap-siap di kamarnya. Hanya memakai kemeja polos berwarna biru muda dan celana kulot hitam. Meski sederhana tapi tetap memancarkan aura ketampanannya.

"Bima!" Suara panggilan dari Ibunya menandakan bahwa sudah waktunya untuk berangkat. Bima segera keluar setelah benar-benar yakin akan tampilannya.

Ibunya telah siap dengan beberapa makanan sebagai buah tangan. Bima menghampiri ibunya. "Bu. Apa kita tak terlalu buru-buru ?" Untuk yang kesekian kalinya Bima bertanya seperti itu.

"Astaghfirullah Bima. Kita sudah mau berangkat, kamu masih saja bertanya seperti itu." Bu Ratih terlihat kesal.

Bima terdiam. 

Bu Ratih menaruh bingkisan yang ada di tangannya, lalu menghampiri Bima.

"Kenapa ? Kamu tidak mau menikah sama Neng Sahla ?" Tanya Bu Ratih pelan.

"Bukan begitu Bu."

"Lalu ?"

"Bima hanya takut kalau nanti Sahla bakal menyesal  menikah dengan Bima."

"Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, Nak. Tidak ada yang tahu tentang masa depan. Bahkan satu menit yang akan datang itu masih menjadi misteri."

Bima masih terdiam. "Niatkan menikah karena Allah." Lanjut Bu Ratih.

"Sudah siap ?" Tanya Bu Ratih.

"Dila tidak apa-apa ditinggal ?" Bima malah balik bertanya.

"Insya Allah tidak apa-apa. Ayo! Nanti disangka mereka kita gak jadi kesana."

"Bu. Tapi beneran Sahla mau menerima ?" Sekali lagi Bima bertanya, tetapi malah mendapat pukulan dari ibunya. Tentunya pukulan yang tak berasa apa-apa bagi Bima.

"Jika kamu tidak percaya kepada Ibu. Lebih baik kamu cepetan kesana dan tanyakan langsung kepada anaknya."

Melihat Bu Ratih yang kesal karena pertanyaannya, Bima malah tersenyum. "Ya sudah, kita jalan sekarang, Bu. Nanti keburu malam." 

"Dari tadi juga Ibu sudah ngajak kamu jalan. Kamunya sendiri yang bikin lama."

Bu Ratih akhirnya bisa bernapas dengan lega. Dia agak khawatir kalau Bima berubah pikiran.

"Assalamu'alaikum." Bu Ratih mengucapkan salam setibanya mereka di rumah Bu Marni.

Wa'alaikum salam." Jawab seseorang dari dalam rumah dan langsung membukakan pintu untuk Bima dan Ibunya.

"Aduh yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga." Ucap Bu Marni sembari menyalami Bu Ratih dan Bima. "Ayo masuk." 

"Ini hanya sekedarnya saja." Bu Ratih menyerahkan bingkisan yang dibawanya kepada Bu Marni.

"Aduh Ratih, kamu kok repot-repot bawa beginian segala."

"Nggak apa-apa Mar, nggak merepotkan sama sekali."

"Ayo silahkan duduk. Tunggu sebentar ya, Bibi panggil Bapak sama Sahla."

Tak berapa lama Bu Marni kembali beserta suaminya, lalu disusul Sahla dengan nampan berisi gelas minuman dan meletakkannya di atas meja. Sahla hanya menunduk, tak ada senyuman sama sekali dari bibirnya. Bima sekilas melihat Sahla, ada risau yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya dan menjadikannya begitu gugup. Tangannya mulai dingin dan berkeringat.

"Maaf sebelumnya Bu Marni dan Pak Edi, dan juga Neng Sahla. Kalau kedatangan Ibu dan anak Ibu sangat tiba-tiba. Apalagi kami tak membawa apa-apa sebagai buah tangan, hanya membawa diri kami sendiri." Bu Ratih mengawali pembicaraan antar 2 keluarga ini. Sengaja tak melibatkan banyak orang, baik Bu Ratih dan Bu Marni. Karena mereka menginginkan acara yang sederhana saja. Dan juga karena mereka masih mengkhawatirkan anak-anaknya yang bisa kapan saja berubah pikiran.

Bima berdehem, memastikan suaranya tidak hilang. Dan tentunya untuk meredakan sedikit kegugupannya.

"Pak Edi, Bu Marni. Maafkan atas kelancangan saya dan Ibu saya datang dengan tiba-tiba. Tentunya kedatangan kami bukan tanpa maksud. Kami, khususnya saya datang kesini bermaksud ingin mempersunting putri Bapak dan Ibu, yaitu Sahla." Bima menjeda ucapannya, menghela napas sejenak. 

"Meskipun saya dan Sahla belum mengenal satu sama lain. Tetapi Allah telah menggerakkan hati saya untuk segera mempersunting Sahla. Dan saya juga yakin, bahwa Sahla adalah jawaban dari setiap doa-doa saya, terutama Ibu saya. Dan tentunya kita sudah tahu, doa seorang Ibu itu tak terhalang."

"Dengan segala kerendahan hati, saya memohon kepada Bapak dan Ibu, dan juga Sahla. Sekiranya berkenan menerima lamaran saya."

Bu Ratih tersenyum bangga dengan anaknya, yang kini telah menjelma menjadi seorang lelaki yang telah siap menerima tanggung jawab yang sangat besar. Ia juga tak menyangka, anaknya bisa selancar itu berbicara.

Sama halnya dengan Bu Ratih, Bu Marni sangat terkesima dengan Bima. Ia semakin yakin dengan pilihannya.

"Bu Ratih, Nak Bima. Kami sekeluarga sangat berterima kasih karena telah sudi datang ke kediaman kami. Dan kami khususnya Bapak dan Ibu sangat tersentuh dengan ucapan Nak Bima barusan. Bapak dan Ibu sangat menyambut baik maksud dan tujuan dari Nak Bima datang kesini. Tetapi segala keputusan sepenuhnya Bapak serahkan kepada putri Bapak sendiri yaitu Sahla." Ucap Pak Edi.

Sahla yang sedari tadi terdiam langsung tersentak.

"Gimana Neng?" Tanya Bu Marni pelan.

Sahla menelan ludahnya. Ia tidak tahu apa yang mesti dikatakan. Cukup lama Sahla terdiam.

"Neng, gimana ?" Bu Marni sekali lagi bertanya. Terlihat di wajahnya ada sedikit kekhawatiran. Begitu pun dengan Bu Ratih dan Bima. Mereka harap-harap cemas menunggu jawaban dari Sahla. Bu Ratih menggenggam tangan anaknya, menguatkan hati anaknya dan dirinya sendiri. Hanya Pak Edi yang terlihat lebih tenang.

"Sahla harus ngomong apa Bu ?" Bisiknya.

"Kamu mau nerima lamaran Bima atau tidak?" Bu Marni pun ikut berbisik.

"Gimana ngomongnya Bu ?"

"Tinggal ngomong aja. Ayo cepetan." Bu Marni terlihat kesal. 

Sahla melihat ke arah ayahnya, ayahnya yang sedari tadi memperhatikannya tersenyum dan mengangguk.

"Hmmm… Sahla… Kalau sekiranya Bapak dan Ibu merestui, Insya Allah Sahla menerima lamaran Kak Bima."

"Alhamdulillah." Sontak mereka mengucapkan hamdalah bersamaan. Bu Ratih dan Bu Marni saling berpelukan. Mungkin diantara semuanya, hanya mereka berdua yang terlihat sangat bahagia. Karena keinginan mereka sejak masih sekolah, yaitu untuk menjadi satu keluarga akan tercapai. Bu Ratih dan Bu Marni adalah sahabat sedari kecil. Mereka pernah berikrar, suatu saat ketika mereka memiliki anak, anak mereka akan dipersatukan dalam pernikahan. Dan ternyata keinginan mereka akan terwujud.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!