"Saya terima nikah dan kawinnya Sahla Khaulah binti Edi Mubarok dengan maskawin 10 gram emas dibayar tunai." Suara Bima mengucapkan ijab qobul begitu lancar dan lantang.
"Sah!" Serentak para saksi yang telah ditunjuk mensahkan ijab qobul tersebut. Kini Bima dan Sahla telah resmi menjadi sepasang suami isteri.
Bu Ratih yang menyaksikan anaknya menikah tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi terus mendesak ingin keluar. Begitu pun dengan Ibunya Sahla, keadaannya tak berbeda jauh dengan sahabatnya. Kedua wanita yang kini telah resmi menjadi satu keluarga, saling berpelukkan dengan berurai air mata.
"Akhirnya kita benar-benar menjadi keluarga," ucap Bu Marni
"Benar Mar. Apa yang dulu pernah kita ikrarkan, akhirnya terwujud juga."
"Neng, sekarang jangan panggil Bibi lagi ya. Panggil Ibu." Ucap Bu Ratih kepada Sahla.
"Iya Bu."
"Ibu sangat bahagia karena kamu yang menjadi menantu Ibu. Terima kasih ya Nak, karena mau menerima Bima menjadi suamimu." Bu Ratih memeluk Sahla lalu mengecup keningnya.
Sebelum adzan dhuhur berkumandang, acara pernikahan Bima dan Sahla telah selesai. Para tetangga yang hadir, sudah kembali ke rumah masing-masing. Dan sekarang di rumah Sahla hanya tinggal 2 keluarga yang kini telah menyatu menjadi satu keluarga.
"Bima, hari ini tinggalah disini bersama isterimu. Bantu Ibu dan Bapak mertuamu beresin rumah. Nanti besok ajak isterimu ke rumah kita. Sekarang Ibu mau pulang, kasihan Dila di rumah sendirian."
"Mar, titip Bima ya. Aku pulang dulu."
"Iya. Salam buat Dila."
Setelah kepergian Bu Ratih, mereka segera membereskan rumah yang cukup berantakan. Meskipun hanya acara sederhana, namun ternyata cukup menguras tenaga untuk membereskannya kembali seperti semula.
Hampir magrib mereka baru selesai membersihkan rumah. Terlihat sekali mereka menahan letih dan kantuk. Dan selepas Isya Bu Marni dan Pak Edi, tak keluar lagi dari kamar tidurnya. Mungkin mereka langsung tertidur, karena memang seharian ini sangat melelahkan.
Begitu pun dengan Sahla dan Bima. Meski masih canggung, namun rasa lelah dan kantuk membuat mereka tak memikirkannya. Hanya tidur yang ada dipikiran mereka saat ini.
"Nak Bima, betah tidur di sini?" Tanya Bu Marni ketika mereka sedang menikmati sarapan pagi.
"Betah Bu."
"Kalian sudah merencanakan kedepannya mau tinggal di mana ?"
Bima dan Sahla saling pandang. Mereka tak tahu harus menjawab apa. Karena mereka sama sekali belum merencanakan apa pun.
"Bu, mereka baru nikah kemarin. Biarkan mereka beradaptasi dulu satu sama lainnya," ucap Pak Edi bijak.
"Bukan begitu Pak. Ibu cuma ingin tahu mereka mau tinggal di mana ? Di sini atau di rumah Ratih ?"
"Tinggal di mana pun sama saja Bu. Rumahnya deket ini kok Bu. Kalau kangen ya tinggal maen."
"Bapak ini."
Bima dan Sahla hanya tersenyum saja.
"Pak, Bu, kami pamit ke rumah Kak Bima dulu ya." Ucap Sahla setelah selesai mencuci piring bekas sarapan tadi.
"Iya."
Terlihat sekali Bima dan Sahla sangat canggung. Selama di perjalanan ke rumah Bima, tak pernah sekalipun Sahla dan Bima jalan beriringan. Bima berjalan di depan dan Sahla mengekor di belakangnya. Sontak mengundang candaan dari para tetangga yang mereka temui.
"Bima! Tangan Neng Sahla jangan dianggurin, dipegang dong. Nanti hilang loh." Salah satu tetangga mencoba menggoda mereka. Bima dan Sahla hanya memberikan senyuman sebagai balasannya.
"Assalamu'alaikum." Bima mengucapkan salam setibanya di rumah. Tak menunggu pintu dibuka, Bima sudah langsung membuka pintu dan mengajak masuk Sahla.
Meski sudah beberapa kali ke rumah Bu Ratih, kali ini perasaan Sahla sedikit berbeda. Ia merasa bahwa rumah ini dengan segala isinya sedang menyambut kedatangannya sebagai penghuni baru.
"Wa'alaikum salam. Eh anak-anak Ibu sudah pada datang." Bu Ratih muncul dari arah belakang rumah. Bima dan Sahla menyalaminya. Bima langsung menghampiri adiknya di kamar.
"Ibu lagi apa ?" Tanya Sahla.
"Lagi masak. Udah pada makan belum?"
"Udah Bu, tadi sebelum kesini kita sarapan dulu."
"Oh, ya sudah buat nanti makan siang saja."
"Iya Bu, Sahla bantu ya Bu."
"Pasti Marni sangat senang memiliki anak sebaik kamu Neng, suka bantu-bantu."
"Ibu bisa aja."
Sahla dan Bu Ratih pergi ke dapur melanjutkan memasak yang sempat tertunda.
"Neng, mau minum apa ?" Tanya Bu Ratih setelah selesai memasak.
"Nanti Sahla bikin sendiri aja Bu, ini tanggung sebentar lagi selesai cuci piringnya."
"Sekalian bikin kopi buat suamimu ya ?"
"Iya Bu. Kalau Ibu mau minum apa ? Biar sekalian Sahla bikinin."
"Ga usah Neng. Ibu tadi pagi udah minum teh manis."
Setelah selesai mencuci piring, Sahla langsung membuat kopi hitam buat Bima dan kopi susu buat dirinya sendiri. Lalu ia bawa ke ruang tamu. Di sana Ibu dan Bima sedang mengobrol.
"Ayo Neng duduk sebelah suamimu. Ada yang mau Ibu omongin," ucap Bu Ratih setelah melihat Sahla masuk dari arah dapur.
Sahla menghampiri mereka dengan membawa minuman yang tadi ia buat, lalu ia duduk di samping suaminya sesuai perintah Bu Ratih barusan.
"Tunggu sebentar ya. Ibu mau ambil sesuatu." Bu Ratih beranjak dari duduknya, pergi ke kamarnya. Dan tak lama keluar dengan membawa sesuatu yang terbungkus map.
"Bima, Sahla. Sekarang kalian sudah memasuki babak baru dari perjalanan hidup kalian. Akan ada halangan dan rintangan yang akan kalian hadapi. Ibu berharap kalian bisa menghadapinya bersama-sama."
"Ini, Ibu cuma punya ini. Jualah sebagai modal kalian berwirausaha. Tidak mungkinkan Neng Sahla terus bekerja di luar kota ?"
"Apa ini Bu?" Tanya Bima sambil membuka map tersebut.
"Sertifikat kebun di seberang jalan sebelah timur. Ini warisan dari ayahmu."
"Bima tidak bisa terima ini Bu. Masalah usaha, Bima masih punya tabungan."
"Tidak, Nak. Ini memang sudah menjadi hakmu. Dan hari ini adalah waktu yang tepat untuk Ibu berikan kepada kalian."
"Neng Sahla, Ibu tidak melarangmu untuk bekerja. Tetapi alangkah baiknya seorang wanita yang sudah menjadi istri diam di rumah. Biarkan suamimu menjalankan tugasnya dengan baik. Jika Bima tak menjalankan tugasnya dengan baik, lapor pada Ibu. Biar Ibu yang memberinya pelajaran.
"Bima, anakku. Jangan permalukan Ibumu di depan istrimu. Jadilah suami yang baik baginya. Kamu sudah menjadi anak yang baik bagi Ibu, kamu juga sudah menjadi Kakak yang baik bagi adikmu. Kini saatnya kamu harus menjadi suami yang baik bagi istrimu."
"Satu lagi yang Ibu minta dari kalian. Ibu mohon, jangan tinggalkan rumah ini. Jagalah adik kalian, Dila. Jangan lupakan dia."
"Bu. Jangan bicara seperti itu. Mana mungkin aku melupakan Dila. Ibu tahu sendiri, sesayang apa aku kepada Dila. Dan beruntung aku menemukan perempuan yang sayang juga kepada Dila." Ucap Bima.
"Benar Bu, aku sudah menganggap Dila seperti adikku sendiri," ucap Sahla.
Bu Ratih tersenyum. "Terima kasih Nak. Ibu lega mendengarnya."
Sahla menghampiri Bu Ratih dan memeluknya. "Jangan bicara seperti itu lagi ya Bu."
"Terima kasih ya Neng, sudah mau menjadi bagian dari keluarga ini."
"Iya Bu, Sahla senang jadi bagian keluarga ini. Jadi bisa lebih sering nemenin Dila." Bu Ratih dan Sahla pun tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments