Sudah beberapa hari berlalu sejak peristiwa yang menimpa Dila terjadi, tetapi Dila tak kunjung membaik. Setiap kali didekati seorang lelaki pasti akan berteriak histeris, tak terkecuali Bima. Sepertinya Dila mengalami kejadian yang sangat mengerikan, sehingga membuat trauma yang begitu dalam bagi dirinya. Hanya Bu Ratih yang tak
mendapatkan penolakan, mungkin karena Dila memang sangat dekat dengan ibunya. Walaupun usianya sudah 17 tahun, Dila masih suka bermanja kepada ibunya.
Dengan keadaan Dila yang seperti itu, Bima dan keluarganya sulit mendapatkan informasi tentang kejadian yang dialaminya. Bahkan Pak RT dan warga yang lain sudah berkeliling kampung, mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Namun hasilnya nihil, tak ada jejak apapun. Seperti tak terjadi apa-apa.
Dila sempat dirawat di rumah sakit, namun tetap saja tak ada perubahan yang signifikan, hanya tak terlalu sering mengamuk saja. Mungkin itu juga karena pengaruh obat penenang. Sudah berbagai cara keluarga Dila mengobatinya, baik medis maupun non medis. Tapi tetap tak membuat Dila kembali seperti semula. Bahkan harta benda yang dimiliki Bu Ratih ikut habis hanya untuk mengobati Dila. Hingga akhirnya Bima memutuskan pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Ia ingin mengambil alih beban yang selama ini dipikul ibunya sendiri. Sejak kepergian suaminya 10 tahun yang lalu, Bu Ratih tak pernah ingin menikah lagi. Ia ingin fokus membesarkan anak-anaknya dengan berjualan nasi uduk dan nasi kuning sebagai sarapan. Dan mungkin inilah saatnya Bima untuk mengambil alih tugas sang ayah, yaitu mencari nafkah. Agar ibunya bisa fokus merawat Dila dengan baik.
Dan kini, perempuan yang berada di hadapannya, tak ubahnya seperti mayat hidup. Tak ada gairah sama sekali. Tubuhnya hanya berisi tulang yang terbungkus kulit saja. Wajahnya pucat, dan mata yang dulu bersinar penuh semangat, kini meredup. Senyumnya pun sudah tak pernah nampak lagi.
"La, Kakak pulang," ucapnya dengan suara pelan. Dila masih tak bergeming. Bima mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepala adiknya.
"Bima!" Panggil Bu Ratih sambil berjalan menghampirinya.
"Iya, Bu!"
"Sudah mau magrib, mandi dulu!" Titah Bu Ratih. Lalu Bu Ratih menutup jendela kamar Dila. Bima pun menurut. Badannya memang sangat lengket karena perjalanan yang cukup panjang.
"Bu, Bima mau ke warung." Ucapnya sesaat setelah makan malam selesai.
"Ke rumahnya Mak Isah aja, sekarang buka warung sembako."
"Mak Isah depan gang ?"
"Iya. Sekarang ada anaknya yang pindah kesini."
"Siapa Bu ?"
"Bi Marni. Mak Isah sekarang udah ga bisa apa-apa lagi, ga ada yang ngurusin juga disini. Jadi Bi Marni sekeluarga pindah ke sini. Tapi anaknya ga ikut pindah, katanya sih kerja. Kalau ada libur panjang baru pulang kesini."
"Ibu suka sama anaknya Bi marni, selain cantik dia juga baik. Dia sesekali main kesini nemenin Dila. Rasanya Ibu pengen mantu kayak dia, Bim."
"Ibu kok ceritanya malah jadi ngawur."
Bu Ratih malah tertawa. "Ya sudah, sana ke warung, nanti keburu tutup,"
"Iya."
Hanya membutuhkan waktu 5 menit saja menuju warung Mak Isah.
"Ramai juga," batinnya. Ada beberapa orang laki-laki yang sedang mengobrol sambil minum kopi dan tak lupa sebatang rokok terselip di jari mereka.
"Pak! Rokok sebungkus." Ucap Bima kepada seorang bapak-bapak yang tengah memasak mi instan. Sepertinya untuk pelanggannya.
"Bentar ya A," ucapnya. "Neng Sahla! Tolong Bapak sebentar, layani si Aa ini, mau beli rokok. Bapak tanggung lagi bikin mi."
Tak lama, seorang perempuan muda memakai kerudung hitam sebatas dada datang dari dalam.
" Rokok apa A ?" Tanyanya sopan.
Bima menyebutkan salah satu merk rokok, dan Sahla langsung mengambil dan menyerahkannya. Bima pun menerimanya sambil memberikan selembar uang berwarna biru.
"Ini kembaliannya, terima kasih." Ucap Sahla. Lalu pergi begitu saja, masuk ke dalam rumahnya. Bima yang masih di tempat hanya bengong saja, memandangi Sahla yang kembali ke dalam rumahnya.
"Pak Edi, kopi item satu ya!" Teriak seorang laki-laki yang baru saja tiba. Suaranya mengembalikan kesadaran Bima. Bima pun langsung pergi meninggalkan warung tersebut menuju rumahnya.
Bima tak langsung masuk ke rumah, ia duduk di depan rumahnya sambil menghisap sebatang rokok.
Menyadari anaknya sedang duduk sendiri di depan rumah, Bu Ratih langsung menghampirinya.
"Mau dibikinin kopi, Bim ?"
"Boleh Bu."
Tak lama Bu Ratih kembali dengan secangkir kopi hitam dan duduk menemani putranya.
"Dila tidur Bu ?"
"Sudah, sehabis minum obat langsung tidur." Bu Ratih duduk di samping anaknya. Bima pun langsung mematikan rokoknya yang masih tersisa setengahnya.
"Ibu senang kamu pulang."
Bima mengambil cangkir kopi dan menyeruputnya pelan-pelan. "Bima juga senang bisa kumpul lagi bareng Ibu dan Dila." Bima menjeda ucapannya sambil meletakkan cangkir kopi ke atas meja. "Andai Dila sembuh dan kembali seperti dulu lagi. Mungkin sekarang kita sedang berkumpul bertiga," lanjutnya.
"Mungkin juga sekarang Ibu sudah punya cucu dari kalian berdua," ucapnya sambil tersenyum.
Bima langsung menoleh kepada Ibunya. Tak menyangka akan dijawab seperti itu oleh ibu.
"Mungkin sudah jalan hidupnya harus seperti itu," lanjut Bu Ratih, raut wajahnya berubah muram.
"Bima ingin Dila seperti dulu lagi."
"Kita semua menginginkannya."
Hening. Tak ada lagi perkataan yang keluar dari mereka berdua.
"Bima, jika kamu ingin menikah, menikahlah. Jangan pikirkan adik dan ibumu lagi." Tiba-tiba saja Bu ratih berkata seperti itu. Sontak saja Bima terkejut.
"Ibu ngomong apa sih ? Siapa juga yang mau menikah ?" Elak Bima.
"Usiamu sudah cukup matang untuk berumah tangga. Teman-temanmu banyak yang sudah menikah."
Bima terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia tak pernah memikirkan masalah pernikahan. Yang ada dipikirannya hanya kesembuhan Dila.
"Ibu tidak ingin Dila dan ibu menjadi penghalang kebahagiaanmu," lanjut Bu Ratih.
"Bu, Dila dan Ibu adalah kebahagian Bima."
Bu Ratih tersenyum. "Terima kasih, Nak! Sudah jadi anak yang baik bagi Ibu dan Kakak yang baik bagi Dila."
Bima tersenyum getir. "Aku tak sebaik yang Ibu kira," batinnya.
"Sudah Bu, nanti kalau sudah waktunya, Bima pasti akan menikah," ucapnya, hanya sekedar untuk menyenangkan hati Ibunya.
"Cari perempuan yang bisa nerima keadaan keluarga kita, terutama adikmu. Ibu tidak akan selamanya bisa menjaga Dila. Suatu saat nanti, Ibu pasti akan menyusul ayahmu." Bu Ratih berucap dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bu sudah, jangan bicara seperti itu. Ada Bima disini, Bima akan selalu menjaga Dila. Kalau tak ada perempuan yang mau nerima Dila, lebih baik Bima tak menikah sama sekali."
"Sudah malam, kita masuk ya." Bima mengajak ibunya masuk ke rumah dan mengantarkannya ke dalam kamar.
"Ibu istirahat ya, jangan berpikir yang macam-macam lagi. Ada Bima disini. Bima tidak akan ninggalin Ibu dan Dila lagi." Bu Ratih hanya mengangguk saja. Ia sangat terharu anak lelakinya begitu bertanggung jawab dan sayang kepadanya dan adiknya. Lalu Bima pun pamit pergi ke kamarnya.
Dan tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedang menumpahkan air matanya. Suasana malam yang sepi, membuat suara mereka leluasa masuk ke dalam telinga siapa saja, termasuk Dila. Namun entahlah, hanya dirinya sendiri yang tahu untuk apa air matanya keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments