"Aku pikir kamu anak baik yang tidak pernah protes tapi ternyata kamu diam-diam membuat kami malu dengan kehamilanmu. Dasar anak gak tahu diuntung," hardik Ardan sekali lagi tamparan mendarat di pipi Mira dan membuatnya tersungkur.
Ardit yang hendak membantu membangunkan kakaknya langsung dicegah oleh Ardan. "Biarkan saja. Anak ini akan melunjak jika di baiki.
Mira bangkit dan mengsuap air matanya. "Oke aku ngaku aku salah," teriak Mira. "Tapi kalian jangan lupa ini terjadi karena andil kalian juga. Aku kesepian. Aku hidup seperti anak yatim piatu meski nyatanya aku punya orang tua. Di mana kalian sebagai orang tua saat anak-anakmu membutuhkan kalian. Kalian sibuk mengumpulkan uang, uang dan uang seolah takut akan hidup kelaparan. Kalian lupa bahwa kalian punya anak yang membutuhkam kasih sayang."
"Setiap malam aku harus mendengar teriakan dan kalimat cacian dari mulut kalian. Kalian tidak memperhitungkan bagimana mental aku." Mira meluapkan semua amarah yang selama ini tersimpan. "Aku memang membutuhkan uang, tapi apa gunanya itu semua jika tidak ada romantisai keluarga. Beruntung Ardit tidak tinggal di sini. Dia tidak akan merasakan beban sepertiku."
"Diam!!!"
"Aku tidak akan diam, Pa. Aku harus bicara agar kalian sadar bahwa aku juga membutuhkan kasih sayang dan pelukan hangat dari kalian. Aku butuh mama sama papa Aku butuh tempat untuk berkeluh kesah."
"Tapi tidak harus melakukan cara bodoh, Mira." Dina ikut bicara.
"Cukup-cukup. Katakan siapa lelaki itu? Dimana dia?" tanya Ardan.
Mira menggelengkan kepala, "aku gak tahu dia di mana, Pa. Aku sudah mencari dan menghubunginya tapi aku tidak menemukan dia."
Ardan mengusap wajahnya kasar, "bodoh." Dia kembali membentak Mira. "Kamu pikir mudah membesarkan anak seorang diri, Mira? Enggak, itu gak mudah bahkan kami saja gagal membesarkan kamu."
"Aku harus gimana, Pa." Mira menatap sang ayah, berharap pria itu akan memberi solusi yang baik untuk kondisinya.
"Gugurkan kandungan itu!"
"Tidak," Mira menatap wajah sang ayah lekat-lekat. Bagaimana lelaki itu begitu tega memintanya membunuh darah daging sendiri. Meskipun kehadiran janinnya tidak diinginkan tapi Mira tidak ingin melakukan kesalahan fatal untuk kedua kali. "Aku tidak akan melakukan hal itu, Pa. Izinkan aku merawat dan membesarkannya. Dia tidak harus menanggung rasa sakit karena kebodohanku," ucap Mira dengan air mata kembali berurai.
"Kamu mau keluarga ini dipandang rendah oleh saudara dan tetangga, hah? Jangan bodoh Mira dengan mempertahankan janin itu tanpa seorang suami sama saja kamu mempermalukan kami secara perlahan. Susah payah aku mencari uang untuk kembali dipandang oleh mereka. Tapi gara-gara kamu usahaku akan sia-sia, Miraaa!!!!"
"Papa!" Ardit tidak suka mendengar kalimat Ardan.
"Jadi itu yang papa pikirkan. Uang, uang dan uang. Aku gak butuh uang yang papa cari."
Emosi Ardan tidak menyurut sedikit pun. "Lihat Dina, kalau kamu mendengarkan aku, aib ini tidak akan terjadi. Lihat sekarang anak itu! Lihat!" Ardan berteriak penuh amarah pada sang istri.
"Kamu menyalahkan aku Ardan? Gak ngaca kamu, kalau kamu becus mengurus bisnis juga aku gak akan kerja." Dina tidak ingin disalahkan.
"Cukup! Aku gak butuh uang kalian," kata Mira.
Ardan menghampiri Miri dan mencekal rahang Mira. "Gak butuh? kamu gak butuh uang yang aku kumpulkan hah? Kamu gak butuh itu, iya? Pergi dari rumahku sekarang." Ardan menghempaskan Mira begitu kuat. "Pergi, jangan pernah kembali lagi. Mulai hari ini aku tidak memiliki anak perempuan bernama Mira."
"Pa, papa sadar gak dengan apa yang papa ucapkan. Mira butuh kita." Ardit yang bicara.
"Dia gak butuh kita, pergi kamu Mira. Terserah kamu mau hidup seperti apa, bahkan jadi wanita tuna susila pun aku gak peduli. Kamu akan tahu bagaimana susahnya mencari uang." Ardan memalingkan wajah tidak menatap Mira.
"Ok, aku akan pergi dan akan membesarkan anak ini. Aku gak butuh campur tangan kalian. Aku tidak takut hidup sebatang kara. Semoga Pak Ardan bahagia dengan uang-uang itu." Mira mengambil tasnya dan meninggalkan mereka.
"Kak, ini keputusan salah. Jangan ambil keputusan dalam keadaan marah." Ardit berusaha mencegah Mira. "Pa tarik kata-kata papa." Ardit memohon pada sang ayah.
"Biarkan dia pergi Ardit. Jangan ada yang menyusulnya."
Mira tidak mempedulikan perkataan adiknya, dia terus melangkah membawa rasa sakit akibat ulahnya sendiri. Mira mencegat taksi yang saat itu lewat. Dia tidak lagi melirik rumah yang selalu menjadi tempatnya bernaung.
Ardit menyusul Mira, tapi kakaknya sudah tidak ada di sekitar rumah mereka. "Aaaaaaaahhhhh," teriak Ardit meluapkan emosinya.
Dina hanya menangis tapi tidak mencegah putrinya pergi. Sedangkan Ardan meninju tembok sebagai bentuk luapan amarah.
***
"Mau kemana, Neng?" tanya supir taksi.
"Berhenti di sana aja pak."
Mobil taksi berhenti di depan sebuah bank. Setelah membayar Mira segera turun dan masuk ke loket ATM. Dia tidak boleh bodoh untuk kedua kalinya. Dia sudah diusir oleh ayahnya maka dia akan menarik uang dari kartu ATM yang diberikan ayahnya.
"Maaf aku butuh uang kalian untuk bisa bertahan sementara waktu." Mira menarik uang dalam hitungan 10juta tapi saat akan menarik lagi, kartu ATM-nya sudah tidak bisa digunakan.
Ardan langsung meminta pihak bank memblokir kartu ATM yang diberikan pada Mira.
"Tidak masalah, aku akan bertahan dengan uang segini." Mira memasukan uangnya ke dalam tas. Dia berjalan menyusuri trotoar naik angkutan satu kemudian turun dan ganti lagi. Entah kemana dia akan melangkah bahkan ketika hari mulai terlihat gelap dan suara adzan mulai terdengar berkumandang.
Lalu-lalang orang-orang menuju masjid menarik perhatian Mira. Dia pun melangkahkan kaki menuju bangunan megah nan mewah itu. Mira menundukan wajah, merasa malu karena pernah mengatakan membenci tuhan.
"Maaf mbak, maaf." Seorang perempuan menabrak Mira.
"Oh iya,"
"Mbak mau ke masjid juga?" tanya perempuan itu.
"Saya malu kalau harus menemui Tuhan kala hidup saya sedang kesusahan."
Perempuan yang menabrak Mira tersenyum. "Justru itu, Mbak. Mungkin Allah sedang merindukan hambanya, makanya ia timpakan ujian agar hambanya datang menemui."
"Tapi saya malu." Mira menundukan wajah.
"Allah tidak pernah mempermalukan hambanya, bahkan dengan begitu baiknya Allah menutupi Aib setiap hamba. Kecuali hamba itu yang membukanya. Mari, Mbak."
Pada Akhirnya meski ragu dia tetap memasuki masjid. Mengambil wudhu dan ikut berjama'ah. Di sujud rakaat terakhir Mira menumpahkan tangisnya, mengadukan segala lara pun memohon ampunan.
Mira merasa tenang setelah menumpahkan tangisnya di rumah Allah. Dia menghapus sisa air mata dan kembali membangun tekad bahwa ia mampu berdiri lagi. Tak peduli seberapa banyak dia akan terjatuh . Dia yakin Tuhan itu ada dan akan selalu ada untuk setiap makhluk yang membutuhkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments