"Gak usah manja, kamu harus terbiasa seperti ini. Sudahlah mama harus berangkat." Dina mengambil roti yang sudah dipanggang. Meraih tasnya dan meninggalkan Mira.
Mira menggelengkan kepala, tapi tidak boleh menyerah. Ini masih terlalu dini untuk perjuangan memperbaiki keluarga.
Ardan keluar kamar, dia menyempatkan menyapa Mira dan mencium pucuk kepala sang anak. "Kamu mendengar pertengkaran kami semalam?"
"Ya tentu saja. Pah apa kita bisa seperti dulu lagi?"
"Papa gak yakin. Lihat mamamu sendiri sudah tak menganggap keberadaan Papa. Oh ya, papa ada meeting harus berangkat sekarang."
"Gak nunggu sarapan dulu, Pa?"
"Nanti sarapan di kantor."
Bagaiamana Mira akan terbuka pada kedua orang tuanya. Bagaimana ia menemukan solusi untuk dirinya sendiri. Dia merutuki kebododannya. Dia menyesal telah percaya pada kalimat Dion yang manis.
Waktu libur semester sudah tiba, Mira menggunakan waktu itu untuk mencari keberadaan Dion. Lelaki itu tidak boleh lepas tangan. Setidaknya ia harus bertanggung jawab atas kelakuannya. Bukan karena anak, sebab Mira paham kalau anak yang lahir dari luar pernikahan itu adalah milik ibunya. Artinya nasab si janin jatuh pada Mira dan terputus hubungannya dengan ayah biologis pun dengan hak kewarisannya.
"Semoga kamu yang akan lahir bukan anak perempuan ya." Mira mengelus perutnya. Dia sangat khawatir akan nasib si anaknya kelak. Apalagi andai yang lahir adalah anak perempuan. Anak itu akan merasakan malu karena dosa ibunya. Mira mengusap sudut matanya.
Bukan hanya Mira yang harus mempertanggung jawabkan kelakuannya tapi juga Dion. Setidaknya lelaki itu harus menyediakan perlindungan untuk mereka itu anggapan Mira.
Menggunakan sepeda motor Mira mendatangi tampat-tempat yang pernah menjadi saksi bagaimana Dion memperlakukan dirinya seperti seorang ratu. Dia juga bertanya pada orang di sekitar itu dan menunjukan foto Dion.
"Udah lama gak pernah liat, Mbak. Terkahir kalau gak salah datang ke sini kan sama mbak ya?"
"Oh gitu, saya kira dia datang ke sini lagi meski tanpa saya, Pak."
"Enggak udah lama gak lihat."
Mira mengujungi tempat berikutnya dan melakukan hal yang sama pun dengan hasilnya. Sama. Dion menghilang bak ditelan bumi.
Entah sudah sejauh mana ia mengemudikan motornya. Bahkan sampai sore dia tak menemukan orang yang dia cari.
Memarkirkan sepeda motor di sebuah angkringan, Mira turun untuk mengisi perut yang tadi siang tidak sempat diisi. Dia menghela nafas berat. Menengadahkan wajah menatap langit dengan harapan akan menemukan Dion.
"Kerasa banget ruginya ya, Mir," gumam Mira masih pada posisi yang sama. Dia mengusap perutnya.
Kemarin dia diam-diam memeriksakan kandungannya, janinnya sehat dan berkembang dengan biak. Hanya saja Mira harus pandai menyembunyikan sikap saat rasa mual kembali menyerang. Dia sudah minum vitamin untuk mengurangi rasa mual, tapi tetap saja rasa mual itu kadang ada. Dia harus sembunyi-sembunyi dari orang-orang rumah kala menginginkan memakan makanan yang masam. Dan itu sungguh menyiksa.
Ponsel di saku jaketnya berdering. Mira merogoh benda tersebut dan berharap Dion yang menghubungi. Nyatanya yang menghubungi dia adalah adiknya-Ardit.
"Kak, kamu di mana. Kok gak ada di rumah?"
"Aku lagi di luar, Dit, kamu pulang?"
"Iya, kan mumpung libur semester, aku merindukanmu, Kak. Cepet pulang ya aku ingin mendengar cerita kamu."
Panggilan terputus. Mira segera membayar makanannya. Kembali mengemudikan motornya ke arah pulang. "Hari ini aku gak menemukanmu, tapi aku tidak akan menyerah Dion. Kita harus bertanggung jawab atas kelakuan kita."
Mira sampai di depan rumah dan melihat adiknya yang menunggu di ambang pintu. Ia berlari menyongsong sang adik dan memeluknya penuh rindu. Mereka sama-sama menangis untuk melepas rindu.
"Aku sangat merindukanmu, Kak." Ardit mengurai pelukan dan menghapus jejak air mata sang kakak. "Kamu baik-baik aja kan?" Ardit memastikan perasaan sang kakak karena dari tatapan matanya Mira menyimpan kesedihan.
Mira mengangguk dan membawa Ardit masuk. Satu jam mereka berbincang saling menceritakan keadaan saat berpisah. Ardit bahkan tak malu menangis di depan sang kakak saat mendengar cerita Mira.
"Ceritakan semuanya padaku, Kak. Jangan kamu pendam sendirian. Aku adikmu, aku akan selalu menyayangimu."
Mira memeluk bantal sofa dan kembali menangis. Haruskah dia ceritakan tentang kehamilan pada Ardit. Akan tetapi dia tidak siap membuka aibnya sekarang. Hanya saja bebannya terasa berat.
"Semua sudah aku ceritakan, Dit. Gak ada lagi yang aku tutupi."
***
Pencarian Mira terhadap Dion terganggu karena adanya Ardit. Dia ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan sang adik sebelum jarak kembali memisahkan mereka.
Mereka menikmati kebersamaan dengan pergi jalan berdua, menikmati kopi bersama dan desak-desakan nonton acara live musik. Hari ini Mira tertawa dan melupakan sedikit bebannya. Akan tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Saat kehamilan yang dia tutupi diketahui oleh Dina-mamanya.
Mereka masih tertawa saat memasuki pintu rumah. Apa lagi melihat mobil Dina sudah ada di tempat parkir. Mereka saling lirik dan merasa senang karena Dina pulang lebih awal. Biasanya kan Dina selaku pulang sekitar jam delapan malam atau lebih.
"Dari mana kalian?" tanya Dina yang tengah menikmati teh hangat di waktu sore.
"Jalan-jalan lah, Ma. Kan kita jarang banget ketemunya," jawab Ardit setelah mencium tangan Dina.
"Kita tidak menghaburkan uang kok, Ma. Hanya sekedar untuk membeli bensin dan makan siang aja," timpal Mira ikut mendaratkan tubuhnya di sofa kosong dekat Dina.
"Baguslah kalau kalian paham cara memanage uang. Mama kerja dari pagi sampai malam demi mencukupi kebutuhan kalian. Papa kalian apa kontribusinya?"
"Sudahlah, Ma. Gak perlu menyudutkan papa terus, mungkin dia sedang di uji dan kita perlu mendukungnya," ucap Ardit yang lebih tenang.
"Dahlah mama gak mau dengan ceramah kamu. Mama pulang tuh mau ngajak kalian makan malam bersama. Ganti baju sana!"
"Sama papa juga?" tanya Mira.
"Ya, sama papa kamu." Dina menjawab dengan malas.
Mira beranjak dari duduknya tapi ponsel di tasnya berdering. Cepat-cepat ia mengambil ponselnya dan tak sengaja menjatuhkan foto hasil USG.
Dina lebih dulu mendekat sebelum Mira mengambil kertas itu. Dina menatap foto hasil USG kemudian menatap Mira, "kamu Hamil?" pertanyaan Dina mengalihkan perhatian Ardit dari ponsel. Adiknya ikut menatap Mira. "jawab Mira!" bentak Dina.
"Kak?" Ardit menghampiri dan menatap Mira.
"Iya aku ... hamil." Mira menjawab dengan nada terbata. Tidak menyangka kalau akan terbongkar secepat ini.
Bersama dengan pengakuan Mira Ardan baru saja memasuki rumah. "Ada apa?" tanya pria itu.
Dina memperlihatkan hasil USG pada suaminya. "Anakmu hamil," kata Dina dengan air mata yang menggenang serta rasa marah yang terkumpul. Tiba-tiba rasa sesal menyelundup ke dalam hati. Andai dia tidak sibuk bekerja mungkin ia bisa mendampingi anak-anaknya agar tidak terjerambab pada pergaulan bebas.
"Benar Mira?" Ardan membalik tubuh Mira agar menghadap pada dirinya.
Mira mengangguk, dia tidak mungkin menyangkal. Sebuah tamparan dari papanya langsung mendarat di pipi kanan. "Anak gak tahu diri kamu, Mira. Aku dan ibumu banting tulang demi memenuhi kebutuhanmu, demi pendidikanmu dan sekarang apa yang kamu beri pada kami. Aib Mira Aib. Aib yang kamu berikan pada kami."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments