Dion mengantarkan Mira pulang, pria itu tidak khawatir akan bertemu dengan orang tua kekasihnya. Toh rumah memang tampak sepi. Hanya ada dua pekerja di rumah ini, itu pun mereka sering pulang kala menjelang sore. Jadilah Mira selalu kesepian. Dia memiliki seorang adik, tapi adiknya tidak tinggal di sana.
"Aku pulang dulu ya," pamit Dion setelah memberi satu kecupan di kening Mira. Wajah Dion tampak berseri karena telah mendapatkan apa yang ia mau dari Mira.
Mira mencekal tangan Dion, "Mas tidak akan meninggalkan aku kan?" Jelas Mira merasa cemas apa lagi Dion sudah menebar benihnya. Mira takut benih itu akan tumbuh dan Dion menghilang.
"Seperti yang aku bilang tadi, jangan khawatir ya. Mandi sana. Jangan lupa dicuci," jawab Dion dengan senyum yang selalu membuat Mira meleleh. Lantas lelaki itu menaiki motor sportnya dan menghilang setelah pintu gerbang kembali tertutup.
Mira menghela nafas, entahlah dia merasa cemas Dion akan mengingkari janjinya. Dia pun menatap pantulan dirinya di cermin, jejak yang ditinggalkan Dion di sekitar dada masih terlihat jelas. Pun dengan langkah kaki yang terasa mengganggu.
Bi Minah dan Bi Susi mengetuk pintu kamar Mira dan mengatakan kalau mereka akan pulang. "Untuk makan malam sudah bibi siapkan di meja ya, Non."
"Ya sudah, makasih ya, Bi. Oh ya mama sama papa sudah pulang?" Mira selalu bertanya hal yang ia sendiri tahu jawabannya.
"Belum, Bapak dan Ibu juga tidak mengabari, Non."
"Oh," Mira mengangguk dan mempersilahkan pekerjanya pulang. Dia mengantarkan mereka sampai ke pintu gerbang karena tidak ada yang menutupnya dari dalam.
Dia menatap bangunan yang ia tempati sejak lahir, teringat jelas bayangan ia dan sang adik yang hidup dalam kehangatan keluarga. Seiring perjalanan waktu, semua berubah tanpa ia duga.
Berawal dari usaha papa-nya yang gulung tikar. Kemudian mama-nya berniat membantu perekonomian keluarga dengan bekerja. Dari situlah pertengkaran mulai sering terjadi. Ibunya sering mangatur sang suami mentang-menatang penghasilannya lebih besar. Suaminya pun jadi pemarah karena merasa tidak dihargai.
Pertengkaran itu membuat sang adik tidak nyaman berada di rumah. Sehingga adiknya memilih mondok di sebuah pondok yang ada di Jawa Timur. Ia bertahan di rumah karena masih berharap orang tuanya akan berubah. Kenyataannya tetap saja begitu.
Mira masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri. Jam dinding sudah menunjuk angka delapan tapi tanda-tanda orang tuanya sudah pulang belum terlihat. Ia juga cek ponselnya tapi tidak ada pesan dari sang kekasih. Padahal biasanya Dion akan menemani malamnya meski hanya sekedar lewat pesan atau bicara di telepon.
Dia mengusap perutnya dan bergumam, "semoga tidak sampai jadi ya."
"Aku gak selingkuh. Aku hanya bekerja." Terdengar teriakan dari ruang tengah. Mira bangun dan mengintip dari pintu.
"Bohong, mana ada bekerja sampai malam seperti ini. Kecuali kamu memang selingkuh," teriak Ardan-papanya Mira.
"Pekerjaanku banyak, makanya aku pulang malam," balas Dina tak kalah sengit, ia tidak terima dituduh selingkuh.
"Termasuk melayani atasan kamu. Iya?" bentak Ardan.
"Iya, lebih baik aku melayani pria berduit dari pada harus menatap wajah surammu itu." Dina menujuk wajah sang suami. Kemudian berbalik dan masuk ke dalam kamar disusul suara pintu dibanting.
Mira memejamkam mata. Dia sudah tidak heran dengan keadaan ini tapi tetap saja dia merasa sakit.
"Mas orang tuaku bertengkar lagi." Mira mengirim pesan pada Dion. Terkirim, centang abu-abu tapi tak kunjung mendapat balasan.
Sambil menunggu balasan, dia membuka buku pelajaran. Mempelajari dengan baik karena hari senin sudah ujian semester. Sampai Mira menutup buku, menyudahi belajarnya, pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas. Dia masih berpikir positif, mungkin kekasihnya tengah di jalan atau lagi sama teman-temannya.
Pukul 05:15 Mira baru bangun. Kedua orang tuanya jangankan membimbing Mira untuk ibadah, sekedar membangunkan saja tidak. Dan ketika Mira keluar dari kamar tentu mereka sudah tidak ada di rumah.
Mira sudah rapih dengan seragam sekolahnya. Dia menyapa Bi Minah yang tengah bersih-bersih. "Masakan bibi gak enak ya, Non, sampai gak dimakan gitu tadi malam."
"Bukan, Bi. Memang semalam aku ketiduran aja. Ini enak kok," ucap Mira menyuapakan sarapannya. Ah kapan keluarganya akan membaik. Entah sudah berapa tahun dia selalu sarapan seorang diri.
Selesai sarapan dia lekas berangkat menggunakan taksi online. Untuk urusan uang, orang tuanya memang selalu berusaha agar Mira tidak kekurangan. Nyatanya tetap saja ada yang kurang.
Gina dan Ema sudah tiba lebih dulu, mereka masih di depan gerbang saat Mira tiba. Mereka saling sapa kemudian menuju kelas bersamaan.
Ada yang beda hari ini dengan Mira, ia lebih banyak bengong menatap ponsel. Gina dan Ema saling lirik. "Kenapa Mir?" tanya Ema.
"Em, gak papa." Mira memasukan ponselnya ke dalam tas. Dia heran kenapa Dion tiba-tiba seperti menghilang. Dion memang tidak termasuk orang yang cepat merespon pesan, tapi tidak pernah mengabaikan Mira sampai seperti ini.
"Beneran loh?" Gina ikut bertanya. "Oh ya yang kemarin itu pacar kamu?"
"Iya lah masa bodyguard," kelakar Mira untuk menyembunyikan rasa cemas akan Dion.
"Maaf nih, Mir. Kok aku kurang sreg ya kamu pacaran sama dia," ucap Ema membuat Mira menaikkan satu alisnya.
"Maksudnya kamu yang lebih cocok gitu, Em?"
"Enggak bukan gitu maksud kita. Kayaknya dia ketuaan deh buat kamu. Kenapa sih harus pacaran sama yang dewasa amat. Anak-anak seangkatan juga banyak loh yang naksir kamu," jelas Ema.
"Heeh bener. Dia belum nikah kan?" tanya Gina.
"Ya enggaklah, mana mau aku dapat gelar pelakor," sanggah Mira.
Perkataan kedua temannya membuat pikiran Mira kacau. Dia juga sempat berpikir kalau Dion sudah menikah, apa lagi saat kemarin menyentuhnya Dion begitu tampak lihai. Seperti sudah hafal titik-titik kelemahan perempuan.
Mas kok pesan aku gak dibalas? Kamu sibuk apa gimana? Jangan mengingkari janji ya, Mas
Mira kembali mengirim pesan. Ceklis satu. Mira semakin khawatir.
Mas, kok kamu tiba-tiba ngilang begini. Mas kamu harus tanggung jawab loh.
Mas?
Mira mengirimkan serentetan pesan tapi semua hanya ceklis satu. Dia mulai gamang, dan hendak menangis. Beruntung Bel sekolah sudah berbunyi.
Pulang sekolah Mira kembali menghubungi Dion. Tidak tersambung, nomornya tidak aktif. Pun pesan-pesan yang ia kirim statusnya masih centang satu. Ia mulai takut Dion tidak menepati janji.
Dia berusaha menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja pada dua pekerjanya saat mereka bertanya. Dia tetap mengulas senyum meski rasa cemas kian melanda.
Sampai malam bahkan hari sudah kembali pagi. Dion tidak lagi menghubungi Mira. Dion menghilang setelah merenggut kesucian Mira. Lelaki itu mengingkari janjinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments