Mira berusaha fokus pada ujian sekolah yang tengah dihadapi. Dia berusaha untuk tidak memikirkan Dion yang hanya akan mengganggu konsentrasi belajarnya. Untuk sementara biarlah Dion bersikap seperti itu, tapi tidak setelah ia menyelesaikan ujian. Mira akan mencari lelaki itu.
Lembar soal sudah ada di mejanya. Bismillah ucapnya dalam hati. Dia mulai mengerjakan satu persatu. Meski berusaha fokus tetap saja bayangan akan terjadi kehamilan menganggu konsentrasinya.
Dia menggelengkan kepala beberapa kali, mememjamkan mata untuk mengusir katakutannya.
"Mira kamu baik-baik saja?" tanya guru pengawas yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik anak didiknya.
"Baik-baik saja kok, Bu," jawab Mira cepat.
"Kerjakan dengan baik. Biasanya kamu selalu unggul saat kamu fokus."
Akhirnya Mira berhasil menyelesaikan satu ujian mata pelajaran. Dia mengucap syukur dengan kepala tentunduk di atas meja. Gina dan Ema menghampiri sebelum memulai ujian mata pelajaran yang lain.
"Kamu sakit, Mir?"
"Iya dari tadi kamu tuh menggelengkan kepala terus," sambung Ema.
"Iya memang kepalaku terasa pusing. Ini efek kurang tidur kali ya," balas Mira.
"Kamu tuh udah pinter, Mir, ngapain belajar sampai kurang tidur segala. Dah lah yang penting lulus aja nanti."
"Justru itu, karena kelulusannya masih beberapa bulan lagi, aku memanfaatkan waktu untuk belajar. Kan belum tahu nanti aku bisa ngisi soal ujian apa enggak. Kita akan merindukan masa-masa seperti ini nanti."
"Percaya deh udah sama kamu mah," kekeh Gina yang kembali ke tempat duduk karena ujian mata pelajaran yang lain akan dimulai dan guru pengawas sudah masuk. Membagikan setiap lembar soal.
Di tengah-tengah mengisi soal, Mira merasakan tubuhnya yang mual. Di situ rasa cemasnya kembali berkumpul. Mira menatap perutnya dan berkata dalam hati, "kalau kamu memang jadi, aku mohon bekerja sama dengan baik. Izinkan aku mengerjakan tugasku dulu ya."
Mira mengusap perutnya dan teman di sebelahnya melirik. Lalu menatap Mira dengan tatapan menyelidik.
Pulang sekolah Mira menyempatkan diri mampir ke sebuah apotek. Membeli beberapa alat tes kehamilan dengan alasan disuruh oleh orang tuanya.
"Ini paling akurat gak, Mbak?" tanya Mira pada petugas apotek yang menyodorkan alat tes kehamilan. "Soalnya mama mintanya yang terbaik katanya," bohong Mira.
"Ini paling sering digunakan mbak, dan kata mereka ini sangat akurat." Si petugas menjawab tanpa rasa curiga. Toh kalau pun iya yang membeli ini dalam keadaan hamil, dia sudah tidak aneh lagi. Kejadian seperti ini bukan satu atau dua kali, beberapa anak SMA yang lain pernah membeli alat yang sama.
Mira segera membayar dan kembali ke rumah. Di dalam kamar dia masih menatap beberapa alat tes kehamilan, dia ragu untuk mencoba tapi dia pun harus memastikan.
Dia cek kolom pesan yang menampilkan percakapan dirinya dengan Dion beberapa minggu lalu. Dion masih belum ada kabar keberadaannya. Mira menyesali perbuatannya dengan Dion. Seandainya dia tidak terbuai maka saat ini setidaknya dia tidak merasakan cemas berlebihan.
Setelah menimang cukup lama dia pun memutuskan untuk melakukan cek. Dia kunci pintu kamar lebih dulu untuk mengantisipasi ada orang yang memergoki.
Air seni sudah ia tampung, dengan degup yang tak karuan ia mencelupkan dua alat tes kehamilan yang berbeda merk sekaligus. Dia mondar mandir di dalam kamar mandi sambil menggigit kuku.
Setelah menunggu sesuai waktu yang dianjurkan, dia membuang nafas kasar sebelum memeriksa hasilnya. Alat tes pertama menunjukan dua garis tapi satunya masih sedikit samar. Dia angkat satu lagi dan kedua garisnya terlihat jelas.
"Astagfirullah," desis Mira mengusap wajahnya. Air mata penyesalan langsung luruh membasahi pipi. Dia menangis menyesali perbuatannya.
Dia kembali mencoba menghubungi Dion tapi keadaannya tetap sama. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana orang tuanya akan marah saat mengetahui bahwa dirinya tengah hamil.
Mas semoga kamu membaca pesan ini, aku hamil, Mas.
Mira kembali mengirim pesan dan berharap akan dibaca oleh Dion. Dia pun menyertakan foto alat tes kahamilannya.
Sampai malam tiba, Mira masih memikirkan apa yang harus ia lakukan. Aborsi? itu bisa jadi pilihan tapi apa ia akan tega membunuh darah daginnya sendiri yang tak pernah meminta untuk dihadirkan.
"Goblok kamu nuduh aku selingkuh, nyatanya kamu malah jalan dengan ****** itu." Kembali Mira mendengar teriakan dari ruang tengah. Ia kembali mengintip. Kali ini mama Mira yang berkacak pinggang.
"Sadar kamu, aku jalan sama dia juga karena kamu gak lagi memenuhi kebutuhanku. Kamu gak lagi menghargaiku sebagai suami. Kamu lupa kodrat kamu kamu sibuk dengan pekerjaan, kamu abaikan rumah, kamu abaikan anak-anak. Kamu pikir aku senang dalam keadaan seperti ini. Enggak."
"Kamu mikir dong Ardan, kalau aku gak bantu kamu kerja mana bisa Mira dan Ardit sekolah. Mana cukup gajimu untuk membiayai hidup kita. Mikir dong kamu bukan malah jalan dengan si ******."
"Kalau gitu kamu penuhi kebutuhan biologisku, aku juga pria normal yang butuh tempat untuk melepaskan hormon stres," balas Ardan.
"Gila kamu, Aku yang capek kerja harus melayani kamu. Kamu sudah pernah tidur sama si ******?"
"Iya."
Mira menutup mulut tak percaya mendengar ucapan sang ayah. Keluarganya benar-benar hancur. Pun dengan dirinya sendiri.
Ia menangis, memeluk lututnya. "Kenapa Tuhan tidak pernah adil pada keluargaku. Apa Tuhan itu ada? Kenapa tidak pernah mengulurkan tangannya untuk memeluk kami," isak Mira. Dia bahkan menyalahkan tuhan atas apa yang terjadi.
Rasa mual akibat kehamilan ditambah ia melupakan makan siang membuat Mira muntah. Setelah membasuh mulut dan membuang cairan muntahnya, Mira mengangkat wajah menatap cermin di depannya.
Wajahnya kini tak lagi berseri seperti dulu. Sungguh menyakitkan saat ia menatap wajahnya yang tampak kusut. Kelopak mata yang bengkak dan cekungan hitam di bawah mata, serta hidung yang merah.
Dia hapus air mata itu, dia bertekad untuk memperbaiki segalanya. "Mungkin aku sudah tidak punya masa depan lagi, tapi aku tidak akan membunuh bayi ini. Dia tidak boleh seperti aku, memilki orang tua tapi merasa hidup sebatang kara."
Dia kembali belajar untuk ujian hari esok. Meski sempat menyalahkan Tuhan, tapi Mira berharap masih ada kebaikan untuk dirinya.
Sebelum adzan subuh Mira sudah bangun, dia akan memperbaiki semua dari hal-hal kecil. Mira tidak menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, dia masih enggan datang menemui Tuhannya. Dia masih marah akan keadaan.
Mira duduk di ruang tv menunggu salah satu orang tuanya keluar dari kamar masing-masing. Mira menoleh pada mamanya yang sudah berpenampilan rapih.
"Mir? tumben sudah bangun." Dina memanggang roti untuk sarapan dirinya.
"Iya karena kangen sama Mama." Mira beranjak dan memeluk ibunya dari belakang. "Mama terlalu sibuk bekerja sehingga tak punya waktu untukku."
"Gak usah manja, Mir. Kalau mama gak kerja kamu gak bisa sekolah, beruntung kalau kita gak jadi gembel."
"Kalau gitu aku tidak akan ambil kuliah, aku ingin mama tidak sibuk mengumpulkan uang untukku. Aku dan Ardit butuh Mama."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments