Sudah beberapa hari bang Rama tidak ikut makan malam di rumah. Tapi, kini suamiku itu ikut bergabung di meja makan bersama Citra temannya itu. Citra begitu telaten menyiapkan makanan untuk ibu. Sedangkan ibu tidak berhenti memuji Citra.
"Citra makin cantik aja 'kan, Ram? Pantesan dulu kamu tergila-gila sama Citra." Ibu bicara sembari mengunyah makanan. "Harusnya Rima belajar banyak dari Citra. Biar bisa nyenengi suami dan mertua."
"Ibu bisa aja, aku dan Mas Rama memang pernah dekat. Tapi, kami bisa apa kalau nggak ditakdirkan berjodoh. Nggak ada yang harus disesali karena yang aku lihat Mas Rama bahagia dengan pernikahannya."
Tidak ada yang salah dengan ucapan Citra, tapi cara dia bicara dan menatap Mas Rama tampak berbeda. Begitu juga sebaliknya. Mas Rama bahkan berapa kali kudapati diam-diam curi-curi pandang melihat Citra. Ntah mengapa aku merasa pandangan mereka sangat berbeda. Seperti sedang kasmaran saja.
"Ya, seperti yang kamu lihat. Tapi kadang rasa bosan itu datang. Habis itu-itu aja yang dilihat setiap hari," jawab bang Rama.
Aku cukup terkesiap mendengar ucapan bang Rama yang terkesan mengeluh itu. "Apa kita harus bahas ini di sini? Di depan Susan, Bang?"
"Memangnya apa salahnya?" Bang Rama tersenyum simpul. "Abang kan bicara kenyataan yang nggak akan mempengaruhi susan."
Aku menggeleng heran dengan sikap suamiku ini. "Nggak baik kita bahas masalah rumah tangga di depan orang asing dan anak kita yang masih kecil. Kalau kamu ada keluhan harusnya sampaikan langsung sama aku bukan malah bicara blak-blakan di depan orang."
"Orang asing siapa?" Ibu ikut menimpali. "Kamu salah kalau orang asing yang kamu maksud itu Citra. Asal kamu tahu aja kalau dari dulu ibu udah anggap Citra seperti anak dan menantu di rumah ini. Jujur, ibu masih berharap Citra bisa jadi istrinya Rama. Tapi, karena udah ada kamu ya ibu berharap Citra bisa menikah dengan Leon."
Mendengar ucapan ibu membuat selera makanku hilang. "Jadi, ibu masih belum menerima kenyataan kalau aku yang jadi menantu ibu?"
"Mbak Rima udah, ya. Ibu cuma bercanda kok. Udah jangan diambil hati. "Citra ikut menimpali percakapan ini. "Aku sadar kalau hubunganku dan Mas Rama memang udah berakhir dan nggak akan bisa kembali seperti duli. "
"Bagus kalau kalian sadar hubungan kalian sudah menjadi masa lalu. Dan sekarang aku adalah masa depan bang Rama yang berhak melarang mas Rama berhubungan dengan masa lalunya lagi."
Mas Rama dan Citra bersamaan melihatku. Huh , mereka tampak kommpak sekali. Tidak akan aku biarkan hatiku yang mulai panas ini dipermainkan dan dipermalukan. Aku tidak tahu seperti apa hubungan yang mereka jalin. Tapi, aku tidak mau tampak lemah di hadapan mereka termasuk ibu yang selalu menyudutkan aku.
"Jadi, sebagai sesama wanita aku harap kamu bisa mengerti apa yang aku katakan!" Aku menyudahi makan malamku dan mengajak Susan ke kamarnya. Aku tidak mau Susan terkena pengaruh buruk mereka.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Itu artinya aku sudah dua jam di kamar Susan. Kupandangi wajah teduh yang sudah terlelap ini. Apapun yang terjadi di dalam rumah tanggaku nanti aku harus tetap kuat demi anakku ini.
Ya, aku merasa bang Rama mulai berubah. Pria yang aku cintai itu sudah tidak perduli lagi pada perasaamku, bahkan sampai saat ini tidak sedikitpun menyusul ke kamar Susan untuk melihatku ataupun melihat anaknya. Aku penasaran ada di mana bang Rama saat ini. Aku putuskan kembali ke kamarku.
"Kalau ibu jadi kamu, udah lama ibu ceraikan si Rima. Untuk apa pertahankan istri yang nggak guna kayak begitu."
DEG!!!
Jantungku rasanya hampir luruh hingga mata kaki saat mendengar ucapan Ibu. Kuberanikan diri berjinjit mendekati jendela agar bisa mendengar percakapan ibu lebih jelas lagi.
Aku sembunyi di balik tirai tepat di belakang Bang Rama, ibu dan Citra yang saat ini duduk di teras rumah.
"Nggak segampang itu, Bu. Rima itu ibunya Susan."
Jadi, bang Rama memang sudah tidak nyaman lagi dengan rumah tangga kami? Dia mempertahamkan aku bukan karena cinta, tapi semata-mata karena Susan. Tubuhku menjadi lemas mendengar ucapan yang terlontar dari bibir suamiku sendiri. Pantas saja sudah berapa malam pria itu tampak uring-uringan, bahkan sudah lebih dari satu minggu bang Rama tidak menyentuhku.
"Jangan takut anakmu nggak terurus kalau Rima keluar dari rumah ini. Biarkan ibu yang ngurus Susan. Kamu fokus aja sama kehidupan kamu. Cari kebahagiaan kamu sendiri. Ceraikan saja Rima!"
Aku membekap mulutku agar tidak histeris di sini. Tidak kusangka wanita yang sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri tega menyuruh anaknya menceraikan aku.
"Ibu benar 'kan Citra?" tanya ibu pada orang luar yang seharusnya tidak lancang ikut campur di kehidupan kami.
"Kalau aku, sih. Gimana baiknya aja untuk Mas Rama, ibu dan Susan."
Sungguh aku tidak tahan lagi mendengar percakapan mereka yang menyakitkan ini. Ingin sekali aku menjerit dan menuntut penjelasan mereka, tapi aku berusaha menahan diri untuk tidak melakukan itu agar harga diriku tidak semakin jatuh di hadapan mereka.
Kutumpahkan air mataku di atas bantal. Kutahan jeritanku di sana. Aku masih tidak menyangka terbesit di benak bang Rama untuk menceraikan aku.
"Kamu nangis?" Aku tersentak ketika bang Rama masuk ke kamar. Pria tampan itu mendekatiku di tempat tidur. Aku terdiam melihatnya.
"Kenapa kamu nangis? Apa ada yang sakit?"
"Abang nanya karena perduli atau cuma pura-pura?"Kuhapus air mata yang tadi membasahi wajahku.
"Kamu jangan kayak anak kecil yang selalu bikin keributan, Rima. Aku capek ribut terus sama kamu."
"Kita ribut karena abang nggak bisa diajak bicara baik-baik." Aku menarik tangan Bang Rama hingga kami sama-sama duduk di tepi tempat tidur.
"Jawab aku dengan jujur, Bang . Apa abang masih ada rasa sama Citra itu? Atau jangan-jangan selama ini kalian sudah diam-diam bermain di belakangku?"
Bang Rama seperti terkejut mendengar pertanyaanku, wajahnya merah dan langsung buang muka. "Jangan bicara tanpa bukti. Secara tidak langsung kamu udah nuduh aku selingkuh!"
"Gerak-gerik kamu sama Citra bisa aku baca, Bang. Cara kalian memandang satu sama lain berbeda. Dan tadi abang terkesan memojokkan aku dan memuji Citra. Apa harurs seperti itu? Apa aku salah kalau aku berfikir abang sengaja pulang lebih cepat ke rumah karena ada Citra di sini? Apa sebelumya kalian udah janjian?"
"Rima cukup!" Bang Rama menaikkan intonasi suaranya. "Sekali lagi aku tekankan kamu jangan asal menuduh. Sebab, ucapanmu bisa menjadi boomerang untuk kamu sendiri!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
cih...
2024-05-26
0
Yunerty Blessa
bukan tuduh Rama tapi kenyataan 😠😠
2024-03-07
0
Zuhril Witanto
mertua gendeng
2024-02-17
1