Adakah Wanita Lain?

2

Susan terlelap usai makan malam. Ibu juga sudah istirahat di kamar setelah minum obat. Ya, akhir-akhir ini kesehatan ibu terganggu hingga harus rutin mengonsumsi obat dari dokter.

"Bang, kayaknya dari dulu ibu kurang suka sama aku, ya?" Aku bertanya sembari menatap langit-langit kamar. "Mengira aku boros dan menghambur-hamburkan uang, padahal penguaran untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini."

"Perasaan kamu aja." Suara Bang Rama nyaris tidak terdengar, seperti enggan menanggapi pertanyaanku.

"Memang begitu adanya, mungkin ibu pengen menantu yang punya warisan banyak seperti para iparku."

"Kita nggak mungkin menikah kalau ibu gak setuju sama kamu."

"Ntahlah, Lusi bilang ibu bandingkan aku sama kak Sarah dan kak Tanti. Secara nggak langsung ibu menganggap aku rendah. Katanya orang tuaku mau roboh. "

"Apa yang salah? Memang itu kenyataannya 'kan? Kenapa kamu harus sakit hati? Harusnya kamu pengertian sedikit biar gak gampang sakit hati."

Kali ini suara Bang Rama berhasil menembus gendang telinga hingga aku menoleh melihatnya. Bang Rama masih dengan posisi yang sama. Berbaring sambil main handpone.

"Kenapa harus membandingkan harta dengan orang lain? Sementara selama kita menikah aku nggak pernah menuntut banyak sama abang. Aku bahkan legowo berbagi uang belanja dengan uang kuliah adikmu. Terus, aku kurang pengertian apa lagi?"

"Haish!!" Bang Rama meletakkan ponselnya di atas nakas lalu beralih melihatku. "Lebih baik kamu introspeksi diri sendiri aja. Jangan nyalahin ibu seperti itu. Aku jadi malas pulang ke rumah kalau sikapmu seperti ini terus!"

Setelah mengatakan itu dengan nada marah. Bang Rama meraih selimut lalu memunggungiku.

"Memangnya ada apa dengan diriku? Kenapa jadi aku yang disalahkan?"

Bang Rama tidak meresponku lagi. Kulihat punggungnya mulai bergerak teratur. Aku tidak tahu apa Bang Rama benar-benar tidur atau pura-pura saja.

Introspeksi diri? Ucapan bang Rama membuat aku tidak bisa tidur. Aku tidak tahu apa salahku. Apa sebagai menantu aku kurang memperhatikan ibu? Apa sebagai ipar aku kurang perduli? Apa sebagai istri aku kurang memuaskan? Apa selama ini aku terlalu baper hingga mudah tersinggung dengan omongan yang aku dengar?

Aku putuskan membasuh muka di kamar mandi. Berharap air jernih itu bisa membersihkan hati dan fikiranku. Baru melewati keranjang pakain kotor yang terletak tidak jauh dari ambang pintu kakiku tidak sanggup melangkah. Harum parfum yang menguar dari sana mengundang rasa penasaran.

Ternyata kemeja kerja bang Rama lah yang menjadi sumbernya. Kuhirup aroma parfum asing yang baru tercium di hidungku.

"Ini bukan wangi parfum yang biasa dipakai bang Rama. Ini kayak wangi parfum perempuan."

Pikiran negatif mulai bermunculan di kepala. Apa ini yang membuat bang Rama akhir-akhir ini sering terlambat pulang ke rumah? Apa diam-diam bang Rama punya wanita idaman lain?

Aku putuskan kembali ke kamar untuk mencari kejelasan kepada suamiku itu, tapi aku tidak yakin bang Rama mau berkata jujur. Daripada membuat bang Rama semakin kesal aku putuskan tetap tenang dan memeriksa ponselnya. Aku berharap bisa temukan kebenaran di sana. Aku harus berfikir positif kalau bang Rama nggak mungkin selingkuh di belakangku.

"Dikunci." Aku tidak tahu pola apa yang bisa digunakan untuk membuka layar handpone bang Rama. Dan sejak kapan bang Rama menggunci ponsel ini? Apa serahasia itu sampai aku tidak boleh tau apa isi di dalam sini?

***

Keesokan harinya.

"Rapi bener kamu, Ram," ucap ibu ketika melihat bang Rama baru bergabung di meja makan.

"Team marketing memang harus seperti ini, Bu. Biar bisa menarik perhatian banyak pelanggan."

"Semoga kerja kamu semakin lancar dan semakin disayang sama atasan."

"Pasti, Bu! Atasan Rama di kantor memang the best!" Bang Rama menunjukan kedua ibu jarinya memuji atasannya itu.

"Ini tehnya, Bang." Kuletakkan segelas teh seperti biasa, lalu menyiapkan sepiring nasi goreng untuk bang Rama.

"Nanti malam ibu makanlah saja jangan menungguku pulang." Bang Rama bicara sembari menyantap sarapannya, tidak menyapaku seperti aku benda transparan yang tak terlihat.

"Mau lembur lagi, Bang?" tanyaku penasaran bersama siapa bang Rama di luar jam kerja. Jangan-jangan bersama wanita pemilik parfum itu.

"Iya, abang sibuk banyak kerjaan di kantor."

"Itu lihat suamimu gigih cari duit. Nggak kayak kamu setiap hari bisanya tiduran di rumah aja," sahut ibu tiba-tiba.

"Rima bukanya sengaja nggak mau kerja di luar sana, Bu. Ibu 'kan tahu Rima harus ngurus rumah jagain ibu dan Susan juga."

"Alasan aja, percuma sarjana tapi nggak kerja! Lagian ibu nggak keberatan kalau kamu kerja. Mending kamu kerja aja biar Susan ibu yang ngurus. Tapi, ibu nggak yakin ada yang mau nerima kamu yang dekil begini. Setiap hari pakai daster dan di rumah terus."

Ucapan ibu selalu membuat aku naik darah. "Tap--

"Kamu mau protes?" Bang Rama memungkas ucapanku. "Apa yang dibilang ibu memang benar. Coba lihat kamu itu seperti apa. Setiap hari pakai daster itu-itu aja. Rambut gak dirawat. Aku aja hampir lupa seperti apa kamu yang dulu."

"Aku yang dulu memang berbeda dengan yang sekarang. Dulu aku cantik dan pandai mengurus diri. Setelah menikah dan punya anak aku fokus ngurus keluarga. Aku bahkan mengorbankan waktuku sendiri demi mengabdi di rumah ini. Jelas sekarang aku gak secantik dulu! Apa lagi kamu gak pernah kasih uang lebih untuk beli scincare-ku!"

Sepertinya kesabaranku mulai menipis hingga berani meninggikan suara di depan ibu dan bang Rama. Tidak kusangka suamiku sendiri bisa bicara seperti itu padaku.

"Itu udah jadi kodrat kamu sebagai wanita. Tapi, bukan berarti kamu gak bisa cari duit!" Ibu menimpali ucapanku.

"Ibu...."

Perdebatan kami terhenti ketika Susan dan Leon datang. Leon adalah adik bang Rama yang paling kecil dan masih kuliah.

"Bu, Susan mau main ini di depan." Susan menunjukkan mainan yang baru dibelikan Leon untuknya.

"Iya, jangan jauh-jauh mainnya."

Kulanjutkan sarapan setelah Susan pergi. Rasa kesalku masih bergemuruh di dada. Sedangkan bang Rama tidak bicara lagi.

"Bang, tadi aku ketemu sama kak Citra."

"Uhuk! Uhuk!"

Ucapan Leon membuat bang Rama tersedak. Aku menyodorkan segelas air putih untuknya. Wajah bang Rama tampak memerah setelah air itu berhasil membasahi tenggorokannya.

"Kamu ketemu Citra di mana?" tanya ibu antusias seperti sangat kenal dengan wanita bernama Citra itu.

"Di persimpangan jalan yang mau masuk ke rumah kita."

"Kenapa nggak kamu ajak main ke rumah kita? Citra masih ngenalin kamu 'kan?"

"Masih, katanya udah sering ketemu sama bang Rama," ucap Leon seraya menunjuk bang Rama yang tampak salah tingkah.

Bang Rama sibuk membersihkan mulutnya dengan tisu.

"Citra siapa, Bang?" Aku bertanya dan menuntut jawaban. "Di mana abang ketemu sama Citra itu? Sesering apa?"

Hatiku menjadi panas saat menebak Citra adalah wanita idaman lain yang parfumnya menempel di kemeja suamiku.

Terpopuler

Comments

Shinta Dewiana

Shinta Dewiana

nah..nah...ini dia pelakornya...

2024-05-26

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

kalau mau isteri mu cantik bagi duit yang banyak..biar dia urus badan dan mukanya...dan gunakan pembantu supaya Rima kelihatan cantik

2024-03-07

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

jangan2 citra atasannya Rama

2024-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!