Kegiatan yang aku ciptakan bersama ketiga sahabatku ini benar saja membuatku senang. Aku senang bisa bertemu anak-anak yang punya semangat belajar tinggi namun disayangkan dengan kondisi ekonomi yang rendah. Aku senang berbagi ilmu apa yang telah aku ketahui kepada mereka, dan antusias serta pertanyaan mereka seringkali membuatku berpikir, Tuhan andaikan saja aku punya uang dan rejeki yang melimpah pasti telah aku sekolahkan mereka secara gratis. Namun, sepertinya Tuhan masih menyimpan doaku untuk dikabulkannya suatu saat nanti agar bisa berbagi kepada mereka yang membutuhkan pendidikan.
Pagi itu, aku menuruni ojek online, mencoba berjalan beberapa puluh meter dari pemberhentian sebab lokasi mengajarnya berada di dalam gang kecil dan hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Tampak beberapa ibu-ibu yang habis belanja sedang membawa belanjaannya dan berpapasan di depanku. Dengan senyum dan teguran hangat aku menyapa mereka.
“Pagi Bu, izin lewat ya Bu,” sapaku dengan senyum lebar.
“Pagi Neng Nala, kok Neng Nala lagi yang kemari, bukannya Minggu kemarin sudah ya?” Balasnya dengan sesekali meraih rambut yang mengganggu pemandangannya ketika melihatku.
“Oh iya Bu, kedua teman saya lagi berhalangan hadir hari ini, jadi saya menggantikan mereka,” balasku.
Lalu ku lanjutkan ayunan langkah kaki hingga tampak sebuah bangunan kayu kecil dengan 1 pintu yang terbuka dan terlihat pula Dini yang berdiri dari samping menghadap ke anak-anak. Dengan segera aku mendekati pintu dan melepas sepatu ket putihku.
“Halo selamat pagi adik-adik kakak!” Sapaku sambil memasuki ruangan dan melepas tas yang masih ada di bahu kiriku, lalu aku letakkan tas tersebut di meja persis dekat dengan papan tulis.
“Kak Nalaaaaa…..” Teriak mereka dengan senyum sumringah.
Ah entah kenapa, melihat mereka semua perasaan kesal, sedih, lelah merasa telah terbayarkan. Mereka adalah penghiburku di dalam kondisi apapun.
“Sudah pada belajar apa aja nih dengan Kak Dini? Oh ya sudah pada kenalan kan ya dengan Kak Dini?” Tanyaku pada mereka dengan posisi masih berdiri dan sesekali memainkan gestur tanganku.
“Sudah Kak, Kak Dini cantik banget,” celetuk Pian.
“Loh cantik katanya Din,” balasku melirik Dini sambil tersenyum.
Dini tak bisa berkata apa-apa, ia hanya malu dan memalingkan wajahnya sesekali namun rona pipinya selalu tidak bisa berbohong bahwa ia sedang malu karena dibilang cantik oleh salah satu muridnya.
“Ini belum ada yang jawab pertanyaan Kakak tentang kalian belajar apa dari tadi,” balasku lagi sambil sesekali tersenyum karena melihat tingkah anak-anak ini yang kagum dengan wajah cantik Dini.
“Kami sudah belajar berhitung, dan kosakata bahasa inggris untuk bidang pekerjaan Kak,” jawab Lira.
Lira ini merupakan salah satu anak yang terpintar di kelas, semua pelajaran ia mendapatkan nilai terbaik serta yang paling semangat apabila kelas bahasa Inggris dimulai, sebab katanya Ia berkeinginan untuk menjadi seorang peneliti di negara tulip. Sungguh besar impian Lira, dengan umurnya yang masih 8 tahun ia sudah tahu dengan mimpinya kelak, masalah jalannya pasti akan selalu ada jalan bagi yang terus berusaha dan berdoa.
“Good job students, berarti kelas hari ini udah beres ya? Adakah yang mau didiskusikan?” balasku sambil mengacungkan jempol ke arah Dini yang berada di sisi papan tulis.
“Kak, katanya Kak Dini abis dari London ya, ceritain dong,” celetuk Pian.
“Wah kamu ini sepertinya penasaran banget dengan Kak Dini ya,” balasku sambil ketawa.
“Ayo Din, boleh kali cerita tentang kuliahnya dan aktivitasmu selama di London, supaya memotivasi anak-anak juga untuk lebih semangat belajarnya,” tambahku. Lalu aku mengayunkan kakiku dan duduk di sebelah anak-anak sambil menyimak cerita dari Dini tentang studinya di London.
“Hmmm, sebetulnya aku bingung mau ceritanya dari mana guys, boleh dong ditanya aja ya,” ucap Dini dengan pipinya yang masih merona.
“Oh ya, tapi Kak Nala sebentar lagi juga akan pergi ke luar negeri loh, siapa yang sudah tahu?” Tambahnya sambil senyum ke arahku.
Aku yang diam, tiba-tiba kaget dan diam seribu bahasa. Keinginanku untuk merahasiakan dari anak-anak ini ternyata sia-sia akibat disinggung oleh Dini. Aku hanya bisa tersenyum dan sesekali melirik anak-anak. Ekspresi anak-anak kaget dan mulai ada yang bertanya kembali.
“Loh Kak Nala mau kemana? Lalu, nanti kami gimana?” Celetuk Lira dengan wajah yang bingung.
Mataku mengarah ke Dini dengan tajam dengan kondisi mataku sudah berkaca-kaca dan tidak sanggung untuk menceritakan kepergianku kepada mereka. Sebab diriku saja belum cukup nerima untuk pergi selama 6 bulan dari mereka, apalagi diri mereka mungkin saja akan membuat bingung hingga melukai hatinya. Meskipun ini bukan perihal sesuatu yang penting, namun aku yakin mereka sudah memiliki sense yang baik kepadaku selama 7 bulan terakhir ini.
Seketika aku langsung berdiri dan mencoba untuk mencairkan suasana yang tegang. Sementara Dini hanya diam dan bingung dengan kondisi yang terjadi.
“Hmm, baik students. Jadi, Kak Nala cuma pergi sebentar kok. Kebetulan kakak dapat kesempatan sama dengan Kak Dini yaitu melakukan pertukaran pelajar, bedanya Kakak ke salah satu kampus di Belanda,” ucapku kepada mereka.
“Lalu, kalian tidak perlu takut dan khawatir siapa yang akan bersama kalian. Tentunya kan masih ada Kak Dini, Kak Ardi, dan juga Kak Tita yang bakal temenin kalian belajar. Oh ya, sebagai tambahan juga rencananya Kakak dan ketiga kakak-kakak lainnya akan membuka relawan baru yang siap mendampingi kalian belajar, jadi jangan takut ya sayang,” tambahku.
“Kak Nala kapan berangkatnya? Kenapa sih Kak harus ikut pertukaran pelajarnya?” Celoteh Lira.
“Ah iya Kak, kenapa harus ikut Kak? Kakak sama kami aja!” Tambah anak-anak yang lain dengan mata mereka yang sudah berkaca-kaca.
“Duh, adik-adikku sayang. Gini Kakak coba jelaskan secara sederhana ya. Nanti di masa dewasa, kalian akan memahami kenapa mimpi itu harus dicapai. Sekarang aja Lira sudah memiliki mimpi yang luar biasa bagusnya yaitu menjadi peneliti di negara Belanda. Nah, Kakak juga sama, berawal dari mimpi kakak yang berkeinginan besar untuk belajar dan menempuh pendidikan di luar negeri. Tahun lalu, tepatnya pada tujuh bulan yang lalu, Kakak dan Kak Dini mencoba untuk tes seleksi masuk pertukaran pelajar dunia, namun yang dipilih hanya satu dari Indonesia yaitu Kak Dini dan akhirnya Kak Dini berhasil meraih impiannya untuk studi di London, lalu nama Kakak tepat di urutan kedua dari Kak Dini sehingga tahun ini Kakak berkesempatan untuk mewujudkan mimpi Kakak,” jawabku secara rinci dan tentunya sangat hati-hati. Sebab berbicara dengan anak-anak bukanlah perkara yang mudah. Hati mereka masih sangat lembut belum lagi pikiran mereka yang masih ingin tahu lebih dalam dari apa yang mereka pikirkan.
“Lalu Kakak berangkatnya kapan? Aku bertanya dari tadi belum Kakak jawab!” Celoteh Lira. Bisa di rasakan dan lihat sendiri sensitifitas anak-anak sangat luar biasa, bukan?
“Ah, Lira sayang maafkan Kakak. Kakak perginya masih tiga bulan lagi kok. Tenang masih lama, dan kita masih punya banyak waktu untuk belajar bersama. Jangan terlalu dipikirkan, ok?” jawabku sambil tersenyum dan meyakinkan mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja meskipun tanpa adanya aku yang mendampingi mereka.
Tidak lama kemudian bunyi notifikasi di dari ponsel berbunyi, tentu saja itu dari chat grup sebab bukan hanya suara notifikasi dari ponselku melainkan suara itu juga berasal dari ponsel Dini.
“Ok adik-adik, kelas hari ini sampai disini dulu ya. Minggu depan kita sambung lagi. Jaga kesehatan, dan semangat selalu ya!” Tutupku mengakhiri kelas pada pertemuan hari ini.
Lalu, aku meraih ponsel dengan merogoh tasku. Aku buka layar ponselnya dan ditemukan beberapa notifikasi salah satunya dari grup chat.
[Sorry La, gue sama Tita kecelakaan. Sekarang kami masih di klinik] 10.15
[La, jadinya anak-anak siapa yang mendampingi belajar?] 10.15
Aku dan Dini di satu ruangan dengan waktu yang sama secara tiba-tiba saling bertatapan, dan bingung harus melakukan atau bertindak seperti apa.
“Din, ini gimana? Kita harus apa? Waduh, gue khawatir sama Tita dan Ardi,” ucapku.
“La, tolong diberesin yang sisi sudut sana. Gue coba balas chat mereka dulu, untuk memastikan kondisi dan saat ini mereka sedang berada di klinik apa,” balas Dini.
Dengan cepat aku membereskan ruangan belajarnya, mematikan kipas angin, dan lampu, lalu dengan segera menutup pintu serta menguncinya. Setelah mendapat alamat pasti lokasi klinik tersebut, aku dan Dini langsung bergegas menuju klinik.
“Hai Mbak, Mbak pacarnya Mas Ardi ya?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments