Counter Over You!
Hidup kadang menyebalkan namun tidak sedikit juga menyenangkan. Pertemuan singkat dengan lelaki itu nyatanya membuatku terus mengingat semua tentang dirinya, mulai dari senyumnya, tawanya hingga ucapan dan tingkahnya yang buatku sulit untuk melupakan momen tersebut.
Siang itu di sebuah kafe kopi ternama di Daerah Senayan tepat berhadapan dengan gedung pencakar langit aku tidak sengaja bertemu dan mengenalnya. Perkenalan tersebut bukanlah dari hal yang indah atau cerita menyenangkan bak ftv di siang hari, melainkan dari hal konyol yang menurutku memalukan. Ya, sangat amat memalukan untuk aku seorang wanita. Impresi pertama kali dari orang yang mengenalku adalah sombong, angkuh, pemilih dan lain-lain. Bagiku pertemanan ya pertemanan, bukan urusan untuk mencampuri kehidupan pribadi. Semua yang berekspektasi itu sebetulnya salah, lebih tepatnya adalah aku orang yang penuh dengan gengsi dan segala hal yang aku lakukan adalah keanggunan oleh karena itu sulit bagiku mengakui sebuah kekalahan.
Namun, pada hari ini langit seperti memberi teguran melalui kecerobohan yang mengantarkanku untuk bertemu dengan pria aneh. Aku ceroboh pada hal yang menurutku konyol dan tidak seharusnya terjadi terlebih di depan umum. Suasana terik siang sepertinya membuatku murka hingga salah mengambil pesanan minuman yang seharusnya bukan punyaku.
“Maaf Mbak, itu sepertinya kopi saya kok Mbak minum ya,” sapanya dengan hangat dan menorehkan wajah bingung kepadaku.
Karena siang itu cukup terik, dan ketika sampai di kafe aku langsung memesan caramel macchiato lalu menunggu di depan barista. Setelah kopinya selesai ya lantas saja aku langsung menyeruputnya. Lalu dengan percaya diri dan didorong oleh rasa emosi akibat kepanasan dengan tegas aku berkata pada lelaki itu.
“Maaf ya Mas, ini pesanan saya caramel macchiato dengan susu almond,” jawabku sambil terus menyeruput kopi yang sudah ada ditanganku.
Mendengar perdebatan kami, sepertinya barista merasa ada kesalahan komunikasi yang harus segera ia lerai antara aku dengan mas-mas pengaku kopi ini.
“Maaf, ini pesanan Mbak caramel macchiato, dengan susu almond dan extra caramel. Sementara yang Mbak minum itu punya Mas ini,” tegurnya sambil memberikanku secangkir kopi yang tertera namaku di samping gelas plastiknya dan tangan kirinya seolah menunjuk mas pengaku kopi ini.
“Have a nice day Mbak Nala,” tulis barista tersebut pada secangkir gelas plastik kopi yang telah aku pesan.
Mendengar ucapan barista itu aku sudah tidak tahu harus bertingkah seperti apa, rasa malu pun sudah tidak bisa aku tunjukkan karena harga 1 kopi ini tidak murah ditambah malunya luar biasa belum lagi menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Tanpa sadar wajahku memerah, otakku seakan berpikir apa yang harus aku lakukan, ingin rasanya lari dan tidak pernah datang ke kafe itu lagi meskipun kafe itu merupakan kafe terfavoritku.
“Betul kan Mbak ini punya saya, ya sudah tidak apa-apa untuk Mbaknya aja ya,” ia tersenyum sambil merogohkan tangannya ke dalam saku celana dengan wajah yang seakan-akan berbicara “Di bilang juga apa Mbak, itu ya punya saya.”
Aku yang masih tidak sanggup untuk melihat matanya dan wajahnya tertunduk malu dengan segala skenario kabur di otakku yang terus muncul. Selang beberapa detik aku mulai menemukan jalan skenario yang benar untuk aku lakukan tidak lain dan tidak bukan adalah meminta maaf sambil senyum-senyum meskipun aku tahu rasa gengsi dan malu ini tidak pernah terbayarkan terlebih apabila momen ini terekam oleh cctv dan ditonton oleh internal kafe, sudah pasti setiap aku datang kesana wajahku seperti dikenal oleh mereka. Mungkin bertemu lagi dengan mas nya seperti peluang 1 banding 1000, sehingga dengan mudah aku pura-pura tidak mengenalnya apabila berpapasan di tempat lain, terlebih Jakarta yang memiliki luas 66.5 kilometer persegi, tentu saja akan sulit bagiku untuk bertemu dia di tempat keramaian lagi.
“Mas, maaf ya saya salah soalnya dari tampilan fisik mirip banget jadi saya kira punya saya. Saya ganti aja ya punya Mas, silahkan Mas mau pesan apa aja saya yang traktir,” tegurku sambil senyum dengan wajah memelas serta panik karena rasa malu yang masih saja dilihatin oleh pengunjung sekitar serta gumaman dalam hati yang terus berkata “tolong tidak mau untuk gue traktir, uang gue limit banget ini akhir bulan.”
“Wah, tidak perlu Mbak, tapi kalau Mbak maksa ya saya ikut saja,” tawanya.
“Waduh ternyata dugaan gue salah dan gue harus bayarin minuman dia sebagai gantinya,” batinku menggerutu.
“Ya sudah Mas ayo kita ke kasir lagi, silahkan Mas pesan, saya yang bayar,” dengan wajah sedikit asam sambil merogoh dompet yang berada di dalam tas.
Beberapa menit kemudian tercium aroma segar kopi dan pertanda bahwa pesanan caramel macchiato nya telah jadi. Lalu, Mbak barista menyebut namanya dengan sebutan “Caramel Macchiato atas nama Mas Firza”. Lelaki itu dengan segera mengambil segelas caramel macchiato dan berputar menghadapku dengan mengatakan,
“Mbak, terima kasih ya lain kali semoga kita ketemu lagi.”
Setelah mendengar ucapan singkatnya itu aku hanya mengumbar senyumku lalu mengacungkan jari jempol sebagai ucapan “oke” dan segera bergegas meninggalkan kafe tersebut. Langkahku perlahan menuju pintu keluar, ku sanggahkan tangan ke gagang pintu dan akhirnya aku bisa menghirup udara bebas sembari menghembuskan nafas dalam pertanda hari ini ingin ku tutup dengan segera. Aku berada tepat di paparan sinar matahari dengan pemandangan gedung-gedung tinggi dan pantulan sinar seakan saling bersapa dengan memantulkan sinar dari satu kaca gedung ke kaca gedung lainnya. Aku ayunkan langkah kakiku menuju trotoar yang jaraknya ada di sekitar 100 meter dari kafe.
“Pesan ojek online atau naik trans aja ya,” pikirku sembari melihat jam yang tertera pada layar ponsel.
“Waduh sudah jam 3 sore, Ardi jadi ga ya mengembalikan buku,” gerutuku sambil membuka ponsel dan memastikan ada notifikasi yang masuk.
“Hmm sepertinya naik ojek online aja deh, untuk mempersingkat waktu khawatir mama bawel,” tambahku.
Dari perdebatan batin itu, akhirnya aku memutuskan untuk memesan ojek online. Selain karena waktu yang sudah sore, jarak dari Senayan ke rumahku yang berada di daerah Jakarta Utara sangatlah jauh, dan mama merupakan orang yang paling protektif. Lebih dari jam 5 sore aku belum sampai rumah, sudah pasti mama sibuk seperti operator untuk menghubungiku.
Aku menunggu di pinggir jalan sembari menunggu ojek online yang telah ku pesan.
Tidak lama kemudian, ponselku berdering tanda adanya notifikasi yang telah masuk di halaman pesanku.
[La, lo dimana? Gue mau mengembalikan buku nih] 15.02
Belum sempat aku membalas pesannya tiba-tiba ada ojek online menghampiriku. “Mbak Nala dengan tujuan Kelapa Gading?” sapanya.
Aku mengangguk pelan dan segera menaiki sepeda motor lalu ku letakkan helm di atas kepalaku dan berlalu pergi meninggalkan kafe yang mungkin tidak akan ku datangi kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Irma Tjondroharto
pertemuan pertama begitu menggoda.. selanjutnya terserah anda.. wkwkwk
2023-10-21
1
°•ˢʰⁱᵏʰᵘᵐᵃᵘ•°
Di bilang juga apa itu kopi☕ milik saya mbak, duarr otak nya langsung buyar🤭 nahan malu🔥
Semangat Berkarya Thor📝
2022-11-22
1