Azan subuh berkumandang, meski sedang Haid Fatimah terbiasa bangun sebelum subuh, ia memperhatikan pintu kamar kakaknya Rahman, "Nggak biasanya kak Rahman belum bangun jam segini, biasanya kan dia udah bangun sebelum subuh untuk sholat subuh di mesjid," batin Fatimah.
Fatimah berjalan menuju pintu kamar kakaknya, ia mengetuk pintu sambil memanggil Rahman, "Kak Rahman..kamu udah bangun?" panggil Fatimah. Namun tak ada balasan suara Rahman. Fatimah mencoba membuka pintu yang ternyata tidak di kunci.
Fatimah panik melihat kondisi kakaknya yang meriang. Fatimah langsung menemui kakaknya di kasur dan memang Fatimah merasa badan Rahman sangat panas. "Kak..kamu sakit ya, kok nggak kasih tau Bunda sih, bentar ya aku panggil ayah sama bunda," ucap Fatimah yang menggenggam tangan Rahman yang panas.
"Jangan, bunda jangan tau," Rahman menghentikan Fatimah dengan menggenggam erat tangan Fatimah.
"Kak, kamu sakit, harus berobat dong," Fatimah panik.
"Udah nggak usah," ucap Rahman yang mencoba untuk duduk. Fatimah membantu kakaknya itu duduk.
"Kakak mau kemana?" tanya Fatimah dengan nada lembut. "Aku mau wudhu, aku sholat di sini aja," kata Rahman yang tampak lesu.
"Ya udah aku bantu ya," Fatimah memapah kakaknya ke kamar mandi.
"Nggak usah Fatimah, mendingan kamu siap-siap berangkat ke sekolah,"
"Siapa yang mau sekolah sepagi ini, ayam aja belum bangun jam segini," Fatimah tetap memapah kakaknya.
"Udah sampai sini aja, emangnya kamu mau ikut ke kamar mandi?" Rahman melototi Fatimah.
"Iya..iya..aku tunggu di luar," Fatimah berdiri di depan kamar mandi.
___
Rahman solat di kamarnya meski kondisinya agak lemah. sementara Fatimah bersiap-siap ke sekolah.
Matahari mulai muncul. Fatimah menemui kakaknya di kamar sebelum ia berangkat ke sekolah,
"Kak Rahman istirahat ya," ucap Fatimah sambil mengompres kening Rahman yang amat panas. "Iya..iya..udah buruan sana sekolah, nanti keburu telat loh, nggak usah mikirin aku, nanti siang juga pasti aku udah sembuh, maaf ya hari ini kamu berangkat sendiri dulu," tutur Rahman pada adiknya.
"Ya udah aku berangkat ya, Assalamualaikum," ucap Fatimah dan mencium kening Rahman. Fatimah langsung pergi meninggalkan Rahman di kamar.
Rahman tampak kaget dengan ciuman Fatimah meski hanya di keningnya. "Fatimah...bisa nggak sih kamu membantu aku untuk menahan perasaan ku, dengan sikap kamu yang seperti ini akan membuat aku semakin mengharapkan kamu," batin Rahman yang memendam cinta pada adiknya sendiri.
***
Ayah, Bunda dan Sarah sarapan pagi. "Sarah..Rahman mana, kok pagi ini dia nggak kelihatan, tadi Fatimah berangkat sendiri ke sekolah, coba kamu panggilkan dia," pinta bunda pada Sarah.
"Iya bentar ya Bun,"
Belum sempat Sarah berdiri Rahman sudah muncul. "Nggak usah repot-repot Sarah," kata Rahman sambil duduk di sebelah bunda.
"Rahman kamu sakit ya," tanya bunda yang melihat kondisi Rahman yang lesu.
"Nggak kok Bun, tadi cuma agak sedikit pusing," Rahman melirik menu sarapan pagi itu.
"Biasalah Bun, anak muda memang begitu, nggak pernah merasa sakit meskipun dia sakit, udah nggak usah panik gitu," Ayah menepuk pundak Bunda.
"Iya Bun..nanti juga aku pasti udah bisa jalan-jalan," Rahman mulai tersenyum.
"Oh ya..ada hal penting yang harus kita bicarakan, mumpung Fatimah tidak ada di sini, kayaknya semakin dewasa semakin banyak pertanyaan Fatimah yang membuat bunda harus mencari-cari alasan untuk mengelak bahwa Fatimah bukan anak kandung kita, bunda khawatir dia akan tau yang sebenarnya," keluh bunda di depan Ayah, Sarah dan Rahman.
"Iya bunda, sekeras kerasnya kita menutupi rahasia ini, cepat atau lambat Fatimah akan tahu, entah itu dari kita atau dari orang lain," sambung Sarah yang juga mengkhawatirkan adiknya.
"Yang pasti kita harus tetap merahasiakan ini, karena kalau Fatimah tau, dia pasti akan mengasingkan diri atau bahkan dia akan mencari orang tua kadungnya," ujar Ayah untuk menenangkan suasana.
"Bunda nggak mau kehilangan Fatimah," Bunda meneteskan air mata.
Tak disangka ternyata Fatimah mendengar semuanya, ternyata ia belum berangkat ke sekolah, ia berdiri di balik pintu.
Tak dapat ia tahan air matanya tak henti bercucuran, ia tak pernah membayangkan kenyataan sepahit ini.
"Kenapa kalian menutupi rahasia sebesar ini dari aku, apa karena kalian kasihan?, atau kalian sengaja supaya aku hidup seolah tidak tau apa-apa, aku berhak tau asal ku dari mana, Ayah...Bunda.. Fatimah kecewa dengan sikap kalian yang merahasiakan ini," ucap Fatimah sambil menangis di hadapan keluarganya.
"Fatimah...nggak gitu sayang, bunda cuma menunggu waktu yang tepat untuk memberi tahu kamu tentang hal ini," bunda menatap Fatimah sambil menangis.
Fatimah dengan cepat lari meninggalkan rumah. "Fatimah..," bunda mengejar Fatimah. "Bunda, biarkan Fatimah menenangkan dirinya," ayah menenangkan Bunda.
Sementara Sarah hanya bisa menangis karena takut kehilangan adiknya. Rahman mencoba mengejar Fatimah namun Fatimah lari terlalu cepat.
***
Fatimah dengan beraninya bolos sekolah karena suasana hatinya yang sedang tidak baik. ia merenung di dekat sungai tempat ia biasa bermain saat masih kecil.
Fatimah menangis mengingat kenyataan yang begitu pahit. "Aku tau kamu di sini," ucap Rahman yang tiba-tiba muncul dan duduk di samping Fatimah.
"Kamu ngapain ke sini, udah pulang sana, harusnya kalian jangan terlalu baik sama aku," Fatimah tak henti menangis.
"Eh..aku kakak kamu loh, nggak sopan ngomong gitu," tegur Rahman.
"Aku nggak perduli , aku cuma anak pungut," cetus Fatimah yang menangis.
"Fatimah takdir mempertemukan kamu dengan keluarga Ayah, kamu jangan menyalahkan takdir, kami semua menyayangi kamu, kami nggak mau kehilangan kamu," tutur Rahman dengan pelan.
"Masalahnya aku merasa seperti orang bodoh kak, aku nggak tau aku berasal dari mana, aku pengen tau orang tua kandung ku," keluh Fatimah.
"Kalau kamu berhenti nangis, aku akan ceritakan semuanya," Rahman menatap Fatimah.
"Sekitar 15 tahun lalu, aku dan bunda melihat seorang ibu menggendong anaknya di tepi sungai ini, saat bunda memperhatikan wanita itu, ternyata itu adalah teman lama bunda, kondisi wanita itu sudah agak lemah, dan ia berkata pada bunda bahwa ia khawatir tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya yang tak lain adalah kamu, wanita itu tampak sedih seolah ia takut anaknya akan merasakan apa yang ia rasakan, bunda mengajak wanita itu ke rumah, selama seminggu kamu dan ibumu berada di rumah, namun tiba-tiba penyakit jantung ibumu kambuh dan meninggal, Ayah dan bunda memutuskan untuk mengangkat mu sebagai putri mereka, waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan itu, jadi hanya itu yang ku tahu tentang asal keluarga mu," Jelas Rahman panjang lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments