“Gak mau tahu, kamu harus cari Edel sampai ketemu! Kamu harus tanggungjawab! Bawa Edel pulang kesini! Gak mau tahu, gimana pun caranya!”
“Jo, Mama ini ngomong sama kamu!”
“Iya, aku tahu.”
“Jo, kamu tuh gak mikir atau gimana sih? Bisa-bisanya kamu usir Edel gitu aja, tengah malam juga. Dimana otak kamu, Jo! Percuma jadi pimpinan perusahaan, tapi otaknya gak dipakai sama sekali. Mikir gak kamu, gimana kalau terjadi sesuatu sama Edel di luaran sana? Perempuan, sendiri, tengah malam, bawa koper, di luar? Kalau Edel kenapa-napa gimana? Dan, jangan lupain satu fakta kalau Edel itu punya trauma sama kegelapan. Kalau dia kenapa-napa, gimana Jo? Gak habis pikir Mama sama kamu!”
“Sorry,”
“Mama gak akan maafin kamu sebelum kamu bawa Edel kembali kesini!”
Jonathan berdecak memikirkan ucapan Mamanya pagi tadi. Seharusnya dia bersikap biasa saja, toh kepergian Edelweis itu adalah kehendak juga keinginannya. Namun, entah mengapa memikirkan apa yang diucapkan Mamanya, memikirkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Edelweis, rasa cemas itu tiba-tiba muncul begitu saja.
Jonathan masuk ke lift, dia langsung merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponsel. Ditekankan nomor Edelweis, namun hanya suara operator yang menyahut di sana.
“Edel kan gak bawa apa-apa semalam, cuma pakaian yang gue masukin itu.”
Kecemasan itu semakin dia rasakan.
Jonathan keluar dari lift, berjalan menuju ruangannya. Dan, alangkah terkejutnya dia saat membuka ruangannya yang dia temukan justru Edelweis yang tengah tidur berbaring di atas sofa, tak lupa koper yang semalam ada di sampingnya.
“Sialan! Ternyata tuh anak disini.”
Jonathan berjalan masuk, menghampiri Edelweis yang masih tertidur seakan tak terganggu akan kehadirannya.
“Bangun!”
“Bangun, lo!”
Edelweis tak terusik sedikitpun.
Jonathan mengerjap-ngerjapkan matanya, “Del, bangun! Udah siang! Gak usah pura-pura gak dengar gue deh!” kesal Jonathan, yang dia tahu selama ini jika Edelweis punya pendengaran yang sangat sensitif, perempuan itu bisa terbangun begitu saja jika telinganya menangkap suara yang mengganggu.
“Edelweis, bangun! Woy!“
Jonathan membulatkan matanya saat tangannya menyentuh punggung tangan Edelweis dan merasakan rasa panas yang luar biasa. Dengan cepat, dia memeriksa keadaan perempuan itu. Edelweis demam.
“Ya ampun... Benar-benar ngerepotin banget sih lo!” gerutu Jonathan, dia mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi seseorang.
“Halo, Roy. Ke ruangan gue sekarang, sekalian lo panggil dokter kesini. Buruan!”
Jonathan masih berdiri tegak menatap Edelweis yang masih juga terbaring, tak ada niatan dalam dirinya untuk membenarkan posisi tidur Edelweis yang dia yakini sangat lah tidak nyaman.
Tak lama kemudian, Roy Abdan, teman sekaligus karyawan di perusahaannya datang menghampiri nya.
“Kenapa, Jo? Pagi-pagi lo udah badmood aja? Terus, dokter buat—eh, ini Edel kok ada disini?” Roy terkejut mendapati Edelweis berada di ruangan Jonathan, terlebih dia tahu sejak dulu hubungan Jonathan dan Edelweis itu tak pernah baik.
“Roy tolong lo bawa dia ke kamar, jangan disini.”
“Hah?”
“Buruan...”
Roy mengangguk saja, dia dengan cepat mengangkat tubuh Edelweis. “Eh, gila! Badannya panas banget.” ucap Roy sambil berjalan yang hanya mendapat gumaman dari Jonathan. Roy membawa Edelweis ke kamar pribadi Jonathan di ruangan ini, kamar yang biasanya digunakan jika Jonathan terpaksa harus bekerja sampai larut malam dan malas pulang.
“Edel kenapa bisa ada disini, Jo?” tanya Roy, dia sudah merebahkan Edelweis diatas ranjang, sekarang tinggal menunggu dokter saja datang untuk mengecek keadaan perempuan itu.
“Biasalah.”
Roy berdecak, dia menggeleng heran, tak habis pikir. “Jo, gue tahu lo gak suka sama Edel. Tapi, apa harus kayak gini juga gitu? Kasihan loh gue lama-lama lihatnya.”
“Salah dia sendiri, gak dengar omongan gue. Dipikir becanda kali.”
“Jo, tapi kan Edel—”
“Udah deh, Roy. Gak usah lo terus ngebela dia, bosan gue dengarnya. Dari zaman jahiliah sampai sekarang, masih aja lo bela tuh anak.”
“Gue bukannya ngebelain, gue cuma—”
“Udah, udah, balik kerja sana!”
Roy hanya bisa berdecak, dia pun bergegas pergi meninggalkan Jonathan yang masih dirundung kekesalan. Semoga saja ada keajaiban, dimana rasa benci Jonathan pada Edelweis itu bisa berkurang.
***
“Edel, sayang...”
Edelweis mengerjap-ngerjapkan matanya, dia membuka perlahan matanya dan menemukan keberadaan Emmeline disampingnya.
“Edel, kamu baik-baik aja kan? Ada yang sakit, sayang?” tanya Emmeline lembut, dia menatap cemas Edelweis yang baru saja sadarkan diri.
Edelweis tak langsung menjawab, dia mengedarkan pandangannya dan menemukan Jonathan yang berada disisi yang lain, berdiri tegak sambil melipat tangan didepan dada, menatapnya dengan tatapan datar.
“Jahat,” tukas Edelweis yang dia tunjukkan pada Jonathan, matanya tak lepas menatap tajam pria itu.
“Edel...”
“Dia usir aku tante, dia juga tarik tangan aku yang lagi sakit. Dia perlakukan aku kayak bukan manusia, dia jahat tante!” adu Edelweis, dia mengadukan kelakuan jahat Jonathan pada Emmeline. Dia bahkan terisak.
“Sayang, nak dengerin—”
“Aku takut tante diluaran, mana aku keluar dalam keadaan pake baju tidur, gak bawa uang sepersen pun, jangankan uang, kartu-kartu sama handphone aja aku gak bawa.” jelas Edelweis, dia mengumpat dalam hati. “Jo emang mau bikin aku kenapa-napa di luar, dia mau terjadi sesuatu yang buruk sama aku. Atau mungkin, dia sebenarnya mau aku mati supaya dia bisa bebas.”
“Sayang, Edel. Tante tahu, Jo udah keterlaluan kali ini. Tapi, dia gak mungkin mau kamu kenapa-napa. Iya kan, Jo?”
Jonathan tak menjawab, dia diam saja.
“Enggak, Jo emang mau aku kenapa-napa.” isak Edelweis, dia sudah menangis kencang kini.
Emmeline juga tak habis pikir pada putranya, bagaimana bisa melakukan hal seperti ini.
“Jo, minta maaf!”
“Minta maaf buat apa? Aku gak melakukan kesalahan apapun, aku cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Lagipula, aku melakukan itu juga karena ulah dia sendiri.” jawab Jonathan, dia membela dirinya sendiri.
Edelweis semakin mengencangkan tangisnya, dia mengeratkan pelukan Emmeline padanya.
Emmeline membelalakkan mata, “Jo!”
Jonathan tak acuh, dia berbalik pergi meninggalkan mereka semua. Muak sekali melihat sandiwara yang tengah dilakukan Edelweis.
Sedangkan, Edelweis masih menangis.
“Edel, maafin Jo yang sayang...”
Edelweis menggeleng, “Enggak, Edel gak mau maafin Jo. Dia jahat banget tante.”
Emmeline mengerjap-ngerjapkan matanya, dia bingung harus membujuk bagaimana lagi Edelweis agar memanfaatkan kesalahan putranya.
“Edel juga gak mau nikah sama Jo, tante. Aku gak mau.”
Emmeline membelalakan matanya, “Aduh, sayang... Jangan begitu dong. Kamu harus mau menikah sama, Jo. Tante yakin, setelah menikah, Jo gak akan kayak gini sama kamu kok.”
Edelweis menggeleng saja.
Emmeline melepas pelukan itu perlahan. “Sebentar, ya. Tante harus ngomong sama Jo. Kamu istirahat dulu aja.” ucap Emmeline, dia beranjak dan pergi untuk menemui putranya.
Edelweis menatap kepergian Emmeline, dia menghentikan tangisnya. “Jo, sialan!” umpat Edelweis sambil menghapus air matanya. Dia berjanji akan membalas semua yang telah Jonathan lakukan padanya.
***
“Minta maaf!”
“Enggak, ya, enggak Ma. Aku gak akan minta maaf, apalagi sama dia!”
Emmeline mendengus kesal. “Jo... Kamu tuh, ya! Udah jelas-jelas kamu salah, kamu usir Edel dari rumah gitu aja tanpa sebab. Ya, kamu harus minta maaf lah!”
“Ma, tapi yang awalnya buat salah itu, dia bukan aku! Kalau sejak awal dia dengerin omongan aku, mungkin aku juga gak akan usir dia begitu aja.”
“Kasih tahu, Mama. Kesalahan apa yang dilakukan Edel yang buat kamu sampai-sampai mengusir dia. Kasih tahu Mama!”
Jonathan menghela napas kasar. “Dia, bilang ke semua orang di kantor ini kalau aku ini calon suaminya. Gimana aku gak marah coba!”
Emmeline langsung beristighfar saat tahu alasannya, dia memejamkan mata sejenak dan kembali menatap putranya. “Jo, itu bukan kesalahan, itu emang faktanya. Kamu kan emang calon suami Edel, kalian itu akan menikah.”
“Ma, apaan sih! Udah jelas-jelas aku tolak pernikahan itu! Aku gak mau menikah sama dia!”
“Jo, dengerin Mama! Terima, gak terima, pernikahan kamu sama Edel itu akan tetap terlaksana. Papa kamu udah merencanakan pernikahan itu.”
Jonathan membelalakkan matanya, “Apa? Ma, aku—”
“Udah, udah, mending sekarang kamu temuin Edel, minta maaf sama dia dan bujuk dia untuk pulang lagi ke rumah! Mama mohon, Jo. Demi Mama.”
Jonathan menghela napas kasar, dia pun berlalu meninggalkan Mamanya kembali dan menghampiri Edelweis yang tengah diam terduduk. Kini, di ruangan ini hanya ada mereka berdua.
“Balik ke rumah!” titah Jonathan, tak ada nada bujukan atau apa, hanya kalimat datar yang terpaksa dia ucapkan.
Edelweis menatap Jonathan lewat sudut matanya, dia pun memberikan tatapan sinis dan tajam pada pria itu. “Setelah lo usir gue, lo minta gue balik? Lo pikir, gue mau gitu?” marah Edelweis, masih terbayang bagaimana Jonathan menariknya malam itu.
“Gue gak maksa, terserah lo. Cuma karena gue berbaik hati aja, gue suruh lo pulang. Tapi, kalau lo emang gak mau,” Jonathan mengendikkan bahunya. “Justru bagus.” sambung Jonathan kemudian berlalu pergi meninggalkan Edelweis yang lagi-lagi mengumpat atas ucapan yang dilontarkannya.
***
“Kamu lupain kejadian malam itu, ya, sayang. Anggap aja, malam itu Jo lagi hilang kendali, makanya dia sampai usir kamu. Dan, tante janji, kejadian seperti itu gak akan pernah terulang lagi. Oke?”
Edelweis hanya mengangguk saja, dia berjalan memasuki rumah kediaman Woko kembali sambil dipapah oleh Emmeline dikarenakan tubuhnya masih terasa lemas sekali.
Malam itu, setelah diusir Jonathan dari rumah tanpa membawa barang berharga apapun membuat Edelweis kebingungan akan pergi kemana. Menginap di hotel atau apartemen pun, dia tak membawa aksesnya. Pergi ke saudara? Dia tak punya. Pergi ke kediaman teman-temannya? Tidak, Edelweis tak akan melakukan itu. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu, dia tak mau digosipkan lagi karena mereka tahu jika dirinya diusir. Lagipula, dia tak menaruh banyak kepercayaan pada teman-temannya, mereka hanya dia anggap sebagai orang-orang yang hanya cari muka padanya. Alhasil, Edelweis memutuskan untuk pergi ke kantor, menginap di sana dan berakhir dalam keadaan tubuh yang tak baik-baik saja, dia demam seketika.
“Loh, Jo kamu mau kemana bawa koper segala?” tanya Emmeline saat melihat Jonathan datang dengan koper di tangannya.
Sama seperti Emmeline, Edelweis pun bingung.
“Mama dan Papa gak bolehin dia pergi dari sini,” Jonathan mengendikkan dagunya, tertuju pada Edelweis. “Karena itu, jadi lebih baik aku aja yang keluar dari sini.”
Edelweis terkejut, tak terpikir Jonathan akan melakukan ini demi menghindarinya.
“Jo, kamu apa-apaan sih? Mama gak mengijinkan kamu keluar dari rumah! Kamu ini anak Mama, Papa satu-satunya, Jo!”
“Kalau aku anak kalian satu-satunya, harusnya kalian dengerin aku. Biarin Edel keluar dari rumah. Tapi, apa? Enggak kan? Kalian gak biarin itu.”
“Jo—” Emmeline tak bisa jika harus membiarkan Edelweis pergi, dia tak rela. Namun, dia juga tak rela jika putra kandungnya pergi meninggalkan rumah. “Kamu mau kemana nantinya?”
“Gampang kali, Ma. Aku punya apartemen, jadi aku bakal tinggal di sana, kalau itu yang mama khawatirkan.”
Jonathan memang mempunyai apartemen pribadi sejak dirinya duduk di bangku SMP, tempat yang biasa dia jadikan tempat tinggal disaat dirinya ingin terbebas dari Edelweis.
“Silahkan, kalau itu kemauan kamu.”
Baik Edelweis ataupun Jonathan terkejut mendengar itu. Ucapan itu bukan dilontarkan oleh Emmeline, melainkan Angga yang baru saja tiba dan menyaksikan ini semua.
Angga berjalan menghampiri mereka. “Jadi kamu memilih keluar dari rumah kan? Yaudah, silahkan!”
***
to be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments