Ep. 3 - Calon suami

Edelweis tak hentinya tertawa sejak kepulangannya dari kantor Jonathan. Masih teringat jelas di benaknya bagaimana ekspresi Jonathan saat dia mengatakan akan menikah dengan pria itu. Biar saja pria itu menolak, toh bukan masalah untuknya. Sejak awal pun saat Emmeline meminta dia menikah dengan Jonathan, saat itu juga dia menolaknya. Lagipula, mana ada orang yang mau menikah dengan orang yang tak dicintai. Semua orang pasti akan menolak, sama seperti apa yang dia lakukan.

“Biarin aja, biar dia hectic sendiri. Siapa suruh ngerusuhin hidup gue terus.”

Edelweis duduk di kursi meja riasnya, menatap pantulan dirinya dicermin dimana make-up masih menempel diwajahnya. “Sebenarnya kalau Jo baik sama gue, gue sih mau aja nikah beneran sama dia. Sayangnya, tuh cowok kayak iblis! Ogah banget kalau harus hidup sama dia, hancur hidup gue.”

Edelweis mengambil micellar water, mulai menghapus sedikit demi sedikit makeup wajahnya.

“Gue masih bingung sama Jo. Kenapa juga dia benci banget sama gue? Perasaan, gue gak pernah buat salah deh sama dia.” Edelweis memejamkan sebelah matanya, menghapus eye makeup nya.

“Masa cuma karena gue tinggal disini, dia bisa jadi benci gue. Padahal kan gue sama sekali gak pernah ngerepotin dia, ngerusuhin dia aja gak pernah.” Edelweis mencoba mengingat, apa dia suka merepotkan Jonathan atau tidak. Tapi, ternyata pemikirannya tak sepenuhnya benar, nyatanya dia ingat beberapa kali pernah merepotkan Jonathan. “Iya sih, pernah deh, tapi gak sering kok. Tapi, emangnya harus gitu dia benci sama gue? Iyuh banget!”

“Sakit emang si Jo itu! Padahal kalau dipikir-pikir, yang paling sering ngerepotin itu si Retha. Tuh cewek dari zaman sekolah sampai sekarang, gak pernah absen ngerepotin Jo. Tapi, kenapa Jo gak benci coba? Ngebelain terus... Tuh cewek. Ngeselin banget!” gerutu Edelweis, “Dasar, bucin akut. Sakit sih tepatnya. Iyuh!” Edelweis memutar jengah bola matanya.

Edelweis semakin kesal saat memorinya kembali memutar bagaimana bedanya perlakuan Jonathan padanya juga Retha. Benar-benar berbeda, berbanding 180 derajat perlakuan itu. Dan sayangnya, Edelweis yang harus mendapat perlakuan yang buruk itu.

“Bodoh amat ah! Bikin gila mikirin Jonathan itu! Bodo amat! Gue gak peduli! Yang jelas, gue bakalan bales perbuatan tuh cowok! Lihat aja nanti!”

***

Edelweis tersenyum lebar, memejamkan mata sambil menghirup udara malam yang segar ini. Dia membiarkan kulit tangannya juga rambutnya yang terurai terkena hembusan angin malam. Hingga saat matanya terbuka kembali, netranya menemukan Jonathan yang tengah duduk di gazebo dekat kolam renang. Selintas ide muncul di benaknya, membuat dia langsung melebarkan senyuman.

Edelweis masuk kembali ke kamarnya, mengambil cardigan dan langsung berjalan menghampiri Jonathan. Tak lupa, dia membawa secangkir kopi hitam yang dia racik penuh dengan cinta.

“Jo,”

Jonathan mendongak, mengalihkan kembali atensinya. Dia tak peduli dengan kedatangan Edelweis.

Sudut bibirnya bergetar, dia mencoba menahan kekesalannya untuk sesaat. Edelweis memilih duduk di bagian gazebo yang kosong, meletakkan cangkir kopi itu diatas mini table.

“Gue tahu, lo mungkin masih marah, kesal dan makin benci sama gue karena kejadian siang tadi.”

Jonathan tak acuh, mengabaikan Edelweis saja. Dia memilih fokus pada pekerjaannya, meskipun sejujurnya dia tak bisa sepenuhnya fokus kembali.

“Karena itu juga, gue datang kesini bawain kopi buat lo. Ya, hitung-hitung sebagai... You know lah, maksud gue apa.”

“Gak perlu,” jawab Jonathan datar. “Lagian, lo gak perlu lakuin itu karena gak akan merubah apapun. Gue, gak akan akan pernah mau married sama lo, asal lo tahu aja.”

Edelweis memicingkan matanya, namun dengan cepat merubah kembali ekspresi wajahnya. “Iya, iya, gue juga gak berharap banyak kok sama lo. Tapi, ini seriusan, gue emang tulus kok buatin kopi buat lo.”

“Gak peduli,”

“Yaudah deh, terserah lo. Ini, kopinya gue taruh disini, ya. Lo jangan lupa minum, mumpung masih panas.” Edelweis beranjak berdiri. “Gue balik kamar deh, takutnya lo gak suka keberadaan gue disini.”

“Syukurlah kalau sadar.”

Edelweis menahan emosinya, dia langsung berbalik berjalan pergi. Kekesalan dia layangkan saat dia sudah berada dibalik tubuh Jonathan, dia menatap sinis pria itu dan tersenyum sinis. “Rasain lo!” gumam Edelweis sebelum kembali melanjutkan langkahnya.

Edelweis cepat-cepat berjalan, bersembunyi dibalik pintu kaca yang tertutup gorden itu. Dia memastikan, apakah Jonathan akan meminum kopinya atau tidak.

“Si rese! Mau diminum juga kan kopi dari gue.” gerutu Edelweis saat melihat Jonathan yang mengambil cangkir kopi buatan nya itu setelah beberapa lama.

“Ayo, minum! Ayo!”

Edelweis menunggu dengan gemas, mengulum senyumnya saat bibir Jonathan menempel pada bibir cangkir.

“EDELWEIS!”

Teriakan itu sontak saja membuat Edelweis tersenyum lebar, bahkan tertawa. Cepat-cepat dia berlari pergi menuju kamarnya, bersembunyi dari kemarahan Jonathan atas apa yang dia lakukan.

“Rasain, lo! Enak kan kopi asin buatan gue!”

***

Edelweis berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan, senyum lebar langsung terpancar saat dia menemukan Emmeline dan Angga yang sudah duduk santai di kursinya, tengah menikmati sarapan mereka.

“Pagi, Om, tante.”

“Pagi, Del. Udah rapih banget, mau kemana?”

Edelweis mengambil slice roti, mengoleskan selai cokelat. “Mau ke kantor om,” jawab Edelweis santai.

“Ke kantor?” tanya Angga terkejut, dia menatap istrinya seketika. Mereka sama-sama terkejut mendengar ucapan Edelweis. Tak seperti biasanya.

Edelweis mengangguk, “Iya, kantor om. Kenapa, ada yang salah, ya?”

“Oh, enggak kok, enggak.” Angga tersenyum lebar, “Justru om senang dengar kamu mau ke kantor. Jadi, kamu juga bisa tahu gimana perkembangan perusahaan.”

“Iya, sayang. Tante juga sama senangnya dengar kalau kamu mau ke kantor. Yaudah, mending kamu sarapan yang benar, ya. Atau, kamu mau sarapan yang lain juga?” tanya Emmeline, dia sangat perhatian pada Edelweis.

“Gak usah tante, ini aja cukup kok.”

“Jo, kamu mau langsung berangkat?” tanya Emmeline saat Jonathan baru saja sampai dan justru langsung mengulurkan tangannya untuk berpamitan.

Jonathan hanya mengangguk saja, bergantian menyalami orangtuanya dan mengacuhkan Edelweis.

“Jo, gimana kopi semalam?” tanya Edelweis, dia mengulum senyumnya. Tak ada jawaban dari Jonathan, pria itu justru melenggang pergi meninggalkan Edelweis.

Edelweis mendengus melihat Jonathan yang langsung pergi begitu saja. Dia beranjak berdiri, “Yaudah, ah. Aku juga berangkat, ya mau ikut Jo aja sekalian.” ucap Edelweis, dia menyalami orangtua Jonathan dan sedikit berlari untuk menyusul langkah pria itu.

“Jo, tungguin!”

“Jonathan!”

Edelweis berlari cepat, masuk begitu saja ke mobil Jonathan dan duduk di samping pria itu yang ada dibalik kemudi.

“Lo ngapain sih?”

Edelweis tersenyum lebar, dia menunjukkan deretan giginya. “Ikut lo. Gue juga mau ke kantor.”

“Buat apa? Turun!”

Edelweis menggeleng, dia menarik seltbelt dan memasangnya. “Enggak, ah! Orang mau ikut ke kantor. Lagian, mau ngapain gue juga, ya urusan gue lah.”

“Terserah. Tapi, keluar dari mobil gue.”

“Enggak.”

“Edel...”

Jonathan berdecak kesal, dia melepas seltbelt dan langsung keluar dari mobilnya, memilih masuk ke mobilnya yang lain dan pergi meninggalkan Edelweis yang sudah meneriakkan namanya.

“Jonathan... Nyebelin banget sih tuh orang, ketimbang nebeng doang juga!” kesal Edelweis saat melihat mobil yang sudah dilakukan Jonathan pergi meninggalkannya.

***

Edelweis turun dari mobil dan langsung melenggang masuk ke gedung tinggi dimana gedung ini merupakan perusahaan sekaligus kantor milik keluarga Jonathan juga keluarganya. Kalau ditanya, seberapa sering dirinya datang kesini? Maka, jawabannya tak sering. Bisa dihitung beberapa kali saja dia datang kesini. Kalau tak ada kepentingan khusus, dia enggan datang. Dan sekarang dia datang karena dia ada kepentingan untuk merecoki kehidupan Jonathan.

Tak ada senyum ataupun keramahan, hanya keangkuhan yang terpancar sepanjang jalan kakinya melangkah. Sejak dulu pun dia terkenal akan keangkuhannya, pelit senyum dan terkesan sombong. Dia juga tak suka berteman, semakin menegaskan sifat sombongnya itu. Bisik-bisik mengenai sikap angkuhnya pun sudah banyak dia dengar, namun dia tak peduli dengan itu semua. Pada siapa dia akan tersenyum, itu urusannya.

“Pagi mbak Edel. Mau ketemu mas Jo, ya?”

Saat memasuki lift, Edelweis disapa oleh Adinda, adik kelasnya sewaktu SMP yang kini bekerja di perusahaan ini. Adinda memang terkenal ramah sejak dulu, tak segan menyapa terlebih dahulu jika bertemu orang yang dikenal. Tak terkecuali Edelweis. Sudah berkali-kali Edelweis disapa jika datang kesini.

Edelweis hanya berdehem saja.

“Kebetulan mbak, tadi aku lihat mas Jo pergi ke ruang rapat.”

Edelweis mengangguk, ber‘oh’ria saja.

Pintu lift terbuka, Edelweis bergegas keluar, disusul Adinda dibelakangnya yang kini sudah berjalan di sampingnya.

“Kalau mbak Edel butuh-butuh apa-apa, mbak tinggal minta aja sama aku. Nanti mbak tinggal panggil aku dan kasih tahu mbak butuh apa. Aku pasti langsung kasih apa yang mbak butuhin, ya, mbak. Lagi—”

Edelweis membelalakan matanya, dia memutar jengah bola matanya mendengar Adinda yang banyak bicara.

“Oke,”

Hanya jawaban singkat yang dia berikan sebelum masuk ke ruangan Jonathan dan meningggalkan Adinda yang hanya bisa terkejut saat pintu dihadapannya tertutup.

Adinda tersenyum lebar, dia menyusap-usap dadanya. “Sabar, sabar, namanya juga mbak Edel. Wajar.” ucap Adinda mencoba menyemangati dirinya sendiri. Karena sejujurnya, apa yang baru saja terjadi bukan yang pertama kali.

***

Jonathan menghela napas kasar, dia memutar jengah bola matanya saat masuk ke ruangan dan menemukan Edelweis yang tengah duduk santai di kursinya.

Jonathan masuk, “Lo ngapain sih disini?” tanya Jonathan, dia masih berdiri didepan pintu.

Edelweis mendongak, tersenyum lebar dan beranjak berdiri. Dia melangkah mendekat pada Jonathan, berdiri berhadapan dengan pria yang menatapnya datar. “Kan gue udah bilang, Jo. Mau ngapain disini, itu urusan gue, lo gak perlu tahu.” jawab Edelweis, telapak tangannya berasa di dada bidang Jonathan.

Jonathan menahan tangan Edelweis, menghempaskan nya.

“Kalau gitu, keluar dari ruangan gue sekarang!”

“Gak mau...”

Jonathan memutar bola matanya jengah, dia melewati begitu saja Edelweis kemudian duduk di kursinya. “Please lah, Del. Jangan ganggu gue terus. Gak puas apa lo ganggu gue di rumah, masa iya di kantor juga.” dengus Jonathan, dia tak suka Edelweis selalu ada mengekorinya.

Edelweis terkekeh, dia berjalan menghampiri Jonathan. “Ya, gue sih gak bermaksud ganggu lo. Lo nya aja yang merasa terganggu kali.”

“Karena itu, gue minta lo pergi. Gue terganggu sama kehadiran lo.”

“Sayangnya... Gue gak mau pergi. Gue mau disini, nemenin lo.”

“Gak, gak, gak, lo bakalan ngerecokin gue pasti nya.” Jonathan beranjak berdiri, menghampiri Edelweis dan menarik tangan perempuan itu. “Ayo, pergi dari sini!”

Edelweis menahannya, dia tak mau pergi. “Gak mau, Jo. Gue mau disini.”

“Del...”

“Please, Jo. Janji, gue gak akan ngerecokin lo kok. Biarin gue disini, ya...”

Edelweis berjongkok guna menyulitkan Jonathan, “Enggak mau...”

“Edel...”

“Mau disini, Jo...”

“Enggak! Pergi sekarang juga!”

“Gak mau!”

Dengan caranya, Edelweis menahan belakang kaki Jonathan membuat pria itu kehilangan keseimbangan yang berakibat pada Jonathan yang terjatuh menimpa Edelweis.

Edelweis langsung meringis seketika saat tangannya yang harus menjadi korban atas apa yang dia lakukan. Sepertinya, pergelangan tangannya terkilir.

“Jo, sakit...”

“Edel, lo tuh, ya!—”

Jonathan tak bisa berkata apapun lagi jika menghadapi segala hal bodoh yang dilakukan Edelweis.

Mereka masih setia pada posisi seperti ini, dimana Edelweis yang terbaring dengan Jonathan yang ada diatas tubuhnya. Mungkin, orang yang tak tahu menahu masalahnya akan berpikir yang tidak-tidak karena posisi mereka ini. Bisa dibilang, posisi mereka ini dalam bahaya sebenarnya.

Dan, sepertinya pikiran itu sampai ke otak Retha saat dirinya membuka pintu ruangan Jonathan namun justru menemukan pemandangan yang tak pernah terpikir di benaknya akan terjadi dan dilihat langsung oleh matanya.

Lain halnya dengan Jonathan juga Retha yang saling terkejut karena hal ini, justru Edelweis tersenyum lebar, merasa ini adalah saatnya.

“Ya ampun... Lo ganggu aja sih. Gue kan lagi romantis-romantisan sama calon suami gue!” ucap Edelweis, sengaja menekan tiga kata terakhir dari ucapannya yang sontak membuat semua yang mendengar nya terkejut.

“Apa, calon suami?”

***

to be continued...

Episodes
1 Ep. 1 - Tawaran untuk menikah
2 Ep. 2 - Let's married
3 Ep. 3 - Calon suami
4 Ep. 4 - Marahnya Jo : mengusir
5 Ep. 5 - Come and Go
6 Ep. 6 - Penuh Arti
7 Ep. 7 - Cemburu?
8 Ep. 8 - Sebuah Penghinaan
9 Ep. 9 - Fine, kita menikah.
10 Ep. 10 - Setelah Menikah
11 Ep.11 - Sebuah Perjanjian Pernikahan
12 Ep. 12 - Baik, tapi nyebelin!
13 Ep.13 - Pujian menyebalkan
14 Ep.14 - Perkara Lampu
15 Ep. 15 - Keterlaluan
16 Ep.16 - Teringat Masa lalu
17 Ep. 17 - Terjebak di Lift
18 Ep. 18 - Jonathan Sakit
19 Ep.19 - Berdebar Hatiku
20 Ep.20 - Sebuah Tamparan Halus
21 Ep.21 - Pelecehan tak terduga
22 Ep.22 - Sebuah Rencana
23 Ep.23 - Tak terduga
24 Ep.24 -
25 Ep.25 - Insiden Makan Siang
26 Ep.26 - Mencari Cara untuk Jatuh Cinta
27 Ep.27 - Langkah Pertama (Mata-Mata)
28 Ep.28 - Hamil
29 Ep.29 - Siapa yang ngidam?
30 Ep.30 - Waffle buatan Edelweis
31 Ep.31 - Kemeja Jonathan
32 Ep.32 - Jonathan tahu, Edelweis hamil.
33 Ep.33 - Permintaan Edelweis
34 Ep.34 - Sikap yang berbeda
35 Ep.35 - Makasih, ya, kamu.
36 Ep.36 -
37 Ep.37 - Tumpah
38 Ep.38 - Obrolan di Rumah Sakit
39 Ep.39 - Sadar diri
40 Ep.40 -
41 Ep.41 - Ngidam
42 Ep.42 - Ngidam Seblak
43 Ep.43 - Perkara Seblak dan Nasi Uduk
44 Ep.44 — Sebuah Tamparan
45 Ep.45 — Perubahan Edelweis
46 Ep.46 — Sikap Edelweis
47 Ep.47 - Akan Jatuh Cinta
48 Ep.48 — Perubahan Edelweis (a)
49 Ep.49 — Kenyataan : Edel hamil?
50 Ep.50 — Pertengkaran
51 Ep.51 — Kissing
52 Ep.52 — Sosok Menyedihkan
53 Ep.53 — Tak ingin kehilangan
54 Ep.54 —
Episodes

Updated 54 Episodes

1
Ep. 1 - Tawaran untuk menikah
2
Ep. 2 - Let's married
3
Ep. 3 - Calon suami
4
Ep. 4 - Marahnya Jo : mengusir
5
Ep. 5 - Come and Go
6
Ep. 6 - Penuh Arti
7
Ep. 7 - Cemburu?
8
Ep. 8 - Sebuah Penghinaan
9
Ep. 9 - Fine, kita menikah.
10
Ep. 10 - Setelah Menikah
11
Ep.11 - Sebuah Perjanjian Pernikahan
12
Ep. 12 - Baik, tapi nyebelin!
13
Ep.13 - Pujian menyebalkan
14
Ep.14 - Perkara Lampu
15
Ep. 15 - Keterlaluan
16
Ep.16 - Teringat Masa lalu
17
Ep. 17 - Terjebak di Lift
18
Ep. 18 - Jonathan Sakit
19
Ep.19 - Berdebar Hatiku
20
Ep.20 - Sebuah Tamparan Halus
21
Ep.21 - Pelecehan tak terduga
22
Ep.22 - Sebuah Rencana
23
Ep.23 - Tak terduga
24
Ep.24 -
25
Ep.25 - Insiden Makan Siang
26
Ep.26 - Mencari Cara untuk Jatuh Cinta
27
Ep.27 - Langkah Pertama (Mata-Mata)
28
Ep.28 - Hamil
29
Ep.29 - Siapa yang ngidam?
30
Ep.30 - Waffle buatan Edelweis
31
Ep.31 - Kemeja Jonathan
32
Ep.32 - Jonathan tahu, Edelweis hamil.
33
Ep.33 - Permintaan Edelweis
34
Ep.34 - Sikap yang berbeda
35
Ep.35 - Makasih, ya, kamu.
36
Ep.36 -
37
Ep.37 - Tumpah
38
Ep.38 - Obrolan di Rumah Sakit
39
Ep.39 - Sadar diri
40
Ep.40 -
41
Ep.41 - Ngidam
42
Ep.42 - Ngidam Seblak
43
Ep.43 - Perkara Seblak dan Nasi Uduk
44
Ep.44 — Sebuah Tamparan
45
Ep.45 — Perubahan Edelweis
46
Ep.46 — Sikap Edelweis
47
Ep.47 - Akan Jatuh Cinta
48
Ep.48 — Perubahan Edelweis (a)
49
Ep.49 — Kenyataan : Edel hamil?
50
Ep.50 — Pertengkaran
51
Ep.51 — Kissing
52
Ep.52 — Sosok Menyedihkan
53
Ep.53 — Tak ingin kehilangan
54
Ep.54 —

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!