Zerrtttt ... zerrttt ....
Qinara terbangun dari tidur saat mendengar ponsel yang terus bergetar di bawah bantalnya. Ia meraih ponsel tersebut dan mengangkat panggilan itu.
"Haloo siapa ini?" tanya Qinara dengan kesadaran yang belum penuh.
"Qii, ini Buna. Jangan bilang kamu baru bangun?" tanya Shofi yang merupakan ibu sambung Qinara. Qii adalah panggilan di rumah untuk Qinara.
"Bunaa ... tumben telfon pagi-pagi sih, aku masih ngantuk, Bun."
"Sayang, coba lihat jam! Ini sudah setengah 6, artinya sudah siang, Qii ...!" ucap Shofi lagi.
"Hahh, Buna sudah dulu ya, aku belum sholat Bun, nanti aku telfon Buna!" Qinara bangkit, ia menuju kamar mandi dan menjalankan ibadahnya yang nyaris terlewat.
"Bunaa, maaf …," kata Qinara usai menjalankan ibadah.
"Qii, Buna pikir kamu sudah cukup dewasa untuk memahami arti kewajiban!"
"Buna please ma-af ...."
"Buna marah!" lugas Shofi. Ya, walau hanya ibu sambung, Dimas memberi otoritas penuh Shofi atas anak-anaknya. Anak-anak Dimas pun menyadari berharganya kehadiran Shofi untuk ayah mereka, oleh karenanya mereka selalu mendengar setiap ucapan Shofi. Karena memang sejauh ini ucapan dan kemarahan Shofi sejatinya sebuah kebaikan.
"Jangan marah, Buna! Lain kali aku tidak akan kesiangan lagi."
"Buna tidak percaya!"
"Please percaya pada Qii, Buna. Qii janji!" Qii memasang wajah memelasnya menatap Shofi dari layar 6 in di genggaman.
"Baik, realisasikan dengan baik janji itu!"
"Thanks Buna. Oh ya, adik Noa sedang apa? Kenapa Buna telfon aku pagi-pagi?"
"Noa sedang berjemur dengan ayah. Buna hanya mengingatkan kalau dua hari lagi adalah acara pertunangan kakakmu Kanaya, jangan sampai kamu tidak datang, Qii!" lugas Shofi.
"Iya, Buna. Aku ingat. Sebelum acara di mulai aku sudah berada di Bandung."
"Bagus, Buna tunggu! Sudah dulu, ya! Jaga diri baik-baik. Setelah urusanmu selesai segera kembali!" Qinara memang izin pada keluarganya menginap di Jakarta untuk menghadiri Book fair yang diadakan di Hall Jakarta Convention center, Senayan.
"Iya Buna, bye Assalamu'alaikum ...."
Baru saja panggilan di tutup tampak bel apartemen itu berbunyi, Qinara langsung bergegas membukanya.
"Eh, Mas?" Qinara kaget, bahkan ia belum mengenakan jilbab seperti tampilan biasanya saat ia keluar dengan Saga.
Perlu diketahui Qinara memang sebetulnya tidak berjilbab, saat di pernikahan kakak tertuanya Mayra di Hotel tempo hari ia sedang ikut-ikutan Kanaya yang mengenakan jilbab. Setelahnya ia selalu mengenakan jilbab saat bertemu Saga sebab di hadapan Saga ia sedang menjadi Kanaya.
Qinara yang sadar Saga memperhatikan penampilannya saat ini merasa takut Saga berpikir buruk padanya.
"Ma-af ya, Mas, aku kalau di rumah tidak berjilbab," lirih Qinara dengan wajah panik. Memang baru kali itu Saga melihatnya tanpa penutup kepala.
"Santai saja! Begitu juga bagus!" Seperti biasa Saga menahan kepala Qinara dan mengecup kening Qinara yang disangkanya adalah Kanaya.
"Apa kamu baru bangun, hem?" tanya Saga langsung menuju dapur. Saga memang senang berbuat sekehendaknya.
"Aku lapar, apa kamu punya makanan?" Saga kini menuju lemari pendingin, ia melihat apel dan mengambilnya. Saga duduk setelahnya di kursi dapur dan memakan apel itu.
"Kamu kenapa hanya di sana? Ayo ke sini!" Qinara yang sebelumnya hanya menggunakan tank top dan celana panjang langsung meraih sweater. Ia perlahan mendekat ke arah Saga dan duduk di kursi makan. Saga sesekali melirik adiknya itu sambil mengedar pandang.
"Jika kamu sedang di Bandung apa Apartemen ini dibiarkan kosong?" tanya Saga. Qinara mengangguk sambil sesekali membenarkan posisi sweater dan merapikan tatanan rambutnya. Qinara yang tidak tahu bagaimana pendapat Saga setelah melihat penampilannya tanpa jilbab merasa tidak nyaman dan salah tingkah. Ia takut Saga tidak suka dirinya seperti itu.
"Kamu kenapa diam saja, Nay? Katakan kenapa tidak memberitahu kalau kamu sedang di Jakarta. Bahkan aku tahu kamu di sini dari status sosial mediamu!" lugas Saga. Ia berdiri membuang apel yang sudah habis dan meneguk air dari kulkas.
"I-ya, niatnya hari ini aku akan memberitahu Mas," ucap Qinara.
"Sehari-hari kamu berpenampilan seperti ini di Apartemen?" tanya Saga lagi. Qinara sudah tertangkap dan tak bisa berbohong, ia mengangguk.
"Saat kuliah berjilbab?" Qinara terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia sebetulnya di Bandung tidak berjilbab, ia berjilbab hanya saat bertemu Saga saja.
"Jangan sungkan padaku, aku tidak masalah, banyak gadis lain juga begitu." Qinara tersenyum getir.
"Tapi sekedar saran, saat ingin membuka pintu lihat dulu siapa yang datang dan pakai pakaian yang lebih sopan. Apalagi kamu sendiri di sini, oke!" Qinara bergeming menatap Saga, mendengar kedewasaan Saga, rasa yang dimilikinya pada Saga semakin besar. Ia pun mengangguk.
"Maaf ya, Mas. Mas pasti tidak nyaman melihatku seperti ini."
"Santai saja jika denganku, tapi jangan seperti ini terhadap tamu lain selainku terlebih tamu lelaki!" Qinara memaksa tersenyum. Ia sedikit tenang Saga tidak mempermasalahkan penampilannya.
"Sudah mandi sana, kita cari sarapan! Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang pasti kamu suka!"
Di tempat berbeda, seorang gadis cantik dengan jilbab menutup kepalanya sedang mencoba sebuah gaun di butik ternama di Bandung. Wajahnya sumringah dan kebahagiaan jelas terpancar sebab dua hari lagi digadang akan menjadi hari bersejarah untuknya, hari pertunangannya.
Dia, Diyara Syakira Putri Anggoro namun biasa dipanggil Kanaya mengikuti nama kecilnya saat terpisah dari keluarga kandungnya. Ia kini terus menatap pantulan dirinya di cermin. sebuah gaun brokat berwarna ungu nan lembut dengan bagian bawah berbahan ceruty dengan aksen layer membuat penampilannya kian mempesona dan anggun. Kanaya memang pencinta warna ungu.
"Buna, bagaimana menurut Buna gaunku?" tanya Kanaya pada Shofi sang ibu sambung yang hari itu menemaninya ke Butik.
"Perfect, kamu sangat cantik!"
"Benarkah? Apa menurut Buna mas Irsya akan menyukai penampilanku? Tidakkah bagian atas ini terlalu banyak payet dan terlalu berlebihan. Too much nggak sih, Bun?" tanya Kanaya lagi dengan lembut menyampaikan hal yang dirasa kurang pas menurutnya.
Shofi berdiri mendekati tubuh Kanaya. Dua wanita bertubuh ramping dan semampai berdiri berdampingan. Shofi menatap seksama bagian atas gaun yang dikenakan Kanaya, memastikan hal yang membuat hati anak sambungnya itu resah.
"Kata Buna sih komposisinya pas, nggak too much. Cantik, Nay! Justru kalau payetnya dikurangi aksen mewahnya hilang," kata Shofi mengutarakan pendapatnya. Kanaya mematung berpikir.
"Nah karena terlihat mewah itu aku jadi kurang percaya diri memakainya, Bun. Kayak nggak aku banget, deh," lirih Kanaya lagi.
"Kamu tuh, ya. Pakai gaun begini juga sesekali saja, kamu juga tambah cantik. Buna yakin deh kalau Irsya nggak akan bisa berkedip melihat kamu nanti."
"Buna ihh, puas meledek aku!" Bibir kecil Kanaya memberengut membuat siapa saja gemas dibuatnya.
"Ish siapa juga yang meledek, Buna jujur kok," imbuh Shofi yang berjarak usia dua belas tahun dari Kanaya tersebut. Shofi memang masih terbilang muda, 34 tahun usianya saat ini.
"Oh ya Bun, Qii kok sekarang aku lihat-lihat betah banget nginep di Apartemen kak Mayra, ya?" tanya Kanaya sambil mengenakan jilbab senada dengan gaun dibantu seorang pelayan Butik.
"Buna juga nggak tahu, feeling Buna sih kayaknya Qii punya cowok di sana."
"Masa sih, kok Qii nggak cerita-cerita sama aku?"
Shofi tersenyum. "Itu cuma dugaan Buna, Nay. Belum dipastikan kebenarannya. Qii juga gak pernah cerita, tapi nanti kalau dia balik Buna akan korek-korek ahh."
Kini giliran Kanaya yang tersenyum. "Buna kepo banget!"
"Ya gpp dong kepo sama anak, kalau dia sudah punya jodoh kayak kamu kan Buna sama ayah tenang."
"Buna ihh! Tapi Qii pasti datang ke Bandung kan, Bun?" tanya Kanaya lagi menatap cermin memastikan penampilannya setelah menggunakan jilbab dengan model yang ditata Dewi sang designer Butik itu.
"Katanya insyaa Allah dia akan datang."
"Alhamdulillah, aku senang dengarnya."
"Eh, mas Sagamu sudah kamu kabarin belum?" tanya Shofi lagi yang tahu kedekatan antara Saga dan Kanaya dari penuturan Dimas.
"Semenjak delapan bulan lalu pas kak Mayra nikah aku nggak pernah berkomunikasi lagi sama mas Saga, Bun. Aku berusaha menghubungi tapi nomornya nggak aktif," lirih Naya dengan raut sedih.
"Kok bisa? Sudah tanya Yanda Bumi? Yanda datang, kan?"
Yanda adalah panggilan ayah untuk Bumi, lelaki yang merawat Kanaya saat bayi. Saat itu Kanaya yang diculik diletakkan di panti oleh penculik dan Bumi mengadopsi Kanaya dari panti. Kini Kanaya sudah bersama keluarga kandungnya lagi, namun hubungan dengan Bumi sang ayah sambung tetap terjalin baik.
"Yanda insyaallah juga akan datang. Untuk mas Saga, kata Yanda ia menutup komunikasi semenjak Yanda gak menyetujui mas menikah sama kak Stef karena beda keyakinan. Parahnya kak Stef setelahnya meninggal dan mas Saga terpuruk. Mas Saga sampai saat ini masih belum menghubungi Yanda lagi."
"Astagfirullah, Saga kok begitu sih. Si Stef itu meninggal kan bukan karena yandanya."
"Itu dia Bun, sedang aku juga mau bilangin gak bisa," lirih Kanaya yang sebetulnya rindu dengan Saga dan ingin menyatukan hubungan Bumi dan Saga yang merenggang.
"Yah, kalau gitu Saga nggak tahu dong kamu mau tunangan …."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Moms Rafialhusaini 🌺
karena nomer kamu udh di hapus nay sama mas Saga
2023-01-17
0
Munce Munce
iya lah gak aktif orang no nya aja di hapus..,
2022-12-19
0
Munce Munce
bener Buna Qi lagi suka sama seseorang..,,
2022-12-19
0