Wira yang melihat Heaven seperti itu tak kuasa menahan tawanya, “Pfft hahaha hanya bercanda! Jangan khawatir aku juga makan nih!” untuk meyakinkannya Wira mengambil paha ayam yang sama dengan milik Heaven dan mulai melahapnya.
“Bisa kau jelaskan sekarang?” desak heaven pada wira tapi matanya masih menatap makanan di meja itu, berpikir mana yang akan ia cicipi selanjutnya.
“Tentu!”
Wira menuangkan anggur dengan aroma wangi itu ke dalam gelas Heaven. Sementara dia lebih memilih minun teh favoritnya.
“Kau baru saja melewati portal Danau Kaca, kau beruntung masih bisa hidup sampai sekarang.
Orang-orang yang melewati portal itu jiwanya akan hancur dan larut kemudian bersatu dengan air danau, sementara tulang dan daging mereka akan terlempar kembali keluar dari danau.
Kau pasti melihat ada banyak tengkorak di dalam goa.” Wira menjelaskan dengan tenang. Beberapa kali menyesap teh dari cangkirnya.
“Kau juga sama sepertiku ya? Orang yang berhasil melewati portal.”
Wira menggeleng. “Tidak, aku yang menciptakannya?”
Heaven melongo hingga daging ayam di dalam mulutnya terjatuh.
“Kau ... yang membuatnya?”
“Kenapa? tidak percaya, ya?”
Wira menuangkan lagi teh itu ke dalam cangkir miliknya.
“Tidak-tidak! Aku hanya bingung saja mengapa kau menciptakan tempat ini.”
Heaven mengambil buah persik dari piring buah di depanya.
Ia sama sekali tidak menyentuh cangkir anggurnya, berusaha mempertahankan kesadarannya untuk berjaga-jaga.
...
Wira memimpin jalan, mereka menapaki anak tangga yang sekelilinnya dipenuhi dengan pohon rindang yang lebat bahkan cahaya matahari pun sulit menembusnya.
“Sudah sejak kapan kau di sini?” Heaven tidak tahan untuk tidak bertanya.
Matanya memindai sekitar. Tempat ini luar biasa indah sekaligus misterius.
“Sudah ... sejak lahir,” jawab Wira tetap memimpin jalan.
“Kau sendirian di sini?”
“Tidak setelah kau datang.” Ada nada kegembiraan tersendiri di dalamnya, Wira tersenyum meski tak melihat tapi Heaven tahu itu.
“Jadi, bagaimana dunia luar itu? Apakah benar-benar seperti neraka, dipenuhi orang-orang jahat dan egois?” Kini giliran Wira yang bertanya.
Mereka tiba di sebuah rumah sederhana setelah melewati sebuah jembatan kecil yang berada di atas aliran air yang tenang sebening kristal.
“Selamat datang di rumahku! Ayo masuk, sebentar lagi malam,” ajaknya sambil membuka pintu rumah beratap rumbai itu.
Heaven duduk di atas kursi kayu dengan meja bulat yang di semir mengkilap.
Itu mengingatkannya pada podium pengadilan yang menjadi saksi hukumannya hari itu.
Ruangan itu diterangi dengan obor tapi kalah terang dengan cahaya dari kristal perak yang berada di beberapa sudut ruangan dan satu kristal besar dengan beberapa keristal kecil mengelilinginya yang digantung di atap ruangan.
Wira menyeduh teh hijau untuknya dan Heaven, membawanya dengan nampan ke atas meja dan menyodorkan satu cangkir untuk tamunya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” katanya mengingatkan Heaven.
Heaven menatap Wira penuh arti, pasti tidak mudah menjalani hidup sendirian meski di tempat yang sedamai ini.
“Yaa ... tidak buruk tapi tidak baik juga. Ada banyak orang baik dan orang jahat di dunia ini, kau harus bisa membedakan mereka dan satu lagi uang dan kekuatan adalah segalanya!” tegasnya.
Tangannya memutar-mutar pelan cangkir berisi teh hijau itu, asap putih samar-samar terlihat melayang dari permukaan teh sebelum akhirnya menghilang di udara.
Wira menyimak perkataan Heaven dengan serius sebelum akhirnya tersenyum dan berkata, “begitu ya.”
“Apa kau benar-benar tidak pernah keluar dari tempat ini?” Pertanyaan Heaven barusan menggugah hasrat yang yang sudah lama ia pendam.
“Tidak.”
“Kalau begitu, ayo keluar bersama!”
“Jika ada cara, aku ingin mencobanya.” Ucapnya pelan, ada nada putus asa di dalamnya.
“Pasti ada cara kau tenang saja, oke? Kita akan keluar dari sini bersama,” ucapnya penuh percaya diri.
Wira tersenyum kecut mendengarnya. “Kau terlalu optimis, Heaven.” Batinnya bersuara.
...“Tempat ini gila!”...
...Heaven...
Sinar matahari pagi menerobos masuk melewati jendela kamar yang di tempati Heaven, membuatnya mengerjap beberapa kali.
Heaven bangun dari ranjang dan melihat keluar jendela. Rambut Wira tampak menawan di bawah sinar keemasan sang surya pagi itu.
“Wira aku lapar!” teriaknya dari depan pintu rumah.
Wira menolehkan kepalanya kemudian tersenyum dan berjalan masuk.
“Tolong tunggu sebentar ya, akan ku siapkan dalam lima menit.”
Wira mulai menyiapkan sarapan untuk tamunya yang tidak tahu diri itu.
Beberapa menit kemudian ...
“Wah banyak sekali!” Heaven sangat bersemangat, matanya berbinar cerah.
“Selamat makan!” ucap serempak mereka berdua.
Pagi itu suasana di meja makan berubah drastis, penuh tawa dan keceriaan. Sudah bertahun-tahun lamanya Wira tidak merasakan perasaan senang seperti ini sejak kematian ibunya.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Wira.
“Keluar dari sini,” jawab Heaven santai sambil memakan makanan penutup.
“Ini, apa namanya?” tunjuknya pada makanan penutup dengan rasa manis yang langsung meleleh dalam mulutnya itu.
“itu Puding Bulan Merah, dibuat dari agar-agar rumput laut yang dicampur susu dan tepung jagung.
Gula merah yang ada di dalamnya akan memberikan kejutan bagi yang memakannya. Karamel di luar selain bisa menambah tampilan juga sangat cocok di padukan dengan agar susu dan gula merah.”
“Ternyata kau pintar memasak ya!” puji Heaven menyuap satu sendok terakhir dan akhirnya puding itu habis.
“Baiklah, saatnya mencari jalan pulang,” lanjutnya sambil membereskan piringnya.
Heaven menyadari sesuatu, membuatnya berhenti sejenak dari aktifitasnya.
“Tunggu, dari mana kau mendapatkan susu dan bahan makanan lainnya?” tanyanya dengan wajah bingung.
Wira tertawa renyah saat mendengar pertanyaan itu.
“Kau baru bertanya sekarang, selama ini kesadaranmu kemana? Di sini ada peternakan dan juga kebun. Juga sungai yang kau lihat saat kita melintasi jembatan kayu menuju rumah, di sana banyak ikan dan makhluk air lainnya.”
“Makhluk air?” Heaven merasa agak aneh dengan arti kata itu sebenarnya.
Mereka menyusuri sungai yang begitu jernih dengan perahu kayu, Wira duduk di buritan dengan mendayung di sebelah sisi badan sedangkan Heaven duduk di depan dengan mendayung di sisi lainnya.
Ada banyak ikan yang berenang di bawah perahu mereka, juga bunga teratai yang tumbuh di sana tampak memberi kesan tersendiri.
... fuuu
Suara itu mengagetkan Heaven membuatnya hampir jatuh dari perahu.
“Makhluk apa itu?!” Heaven menunjuk dengan dayungnya, membuat teratai-teratai di sana ketakutan.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments