Susana di dalam aula pengadilan terasa menegangkan, Yang Mulia Master hanya diam mendengarkan aduan dari mulut ke mulut tentang anak muda di atas podium dengan tulisan tersangka di bagian bawah podium itu.
Sementara Heaven hanya menopang dagu dengan tangan kirinya, tangan kanannya sibuk menggali harta karun terpendam di dalam hidungnya.
“Lihat tingkahnya itu, menjijikan!”
“Benar, jika bukan karena tuan Paul yang melindunginya selama ini pasti sudah lama mati di tengan jalan karena tingkahnya itu.”
“Dasar anak tak berbakti, membuat aib bagi Tuan Paul saja!”
Masyarakat yang menyaksikan itu mulai ricuh, saling melemparkan pendapat dan saran hukuman untuk Heaven.
Para penjaga yang berjaga di dekat mereka tetap berusaha siaga agar suasana tetap kondusif.
“Semuanya harap tenang!” Suara menggelegar milik Simon akhirnya keluar, mereka diam membuat suasana seketika hening.
“Baiklah, aku sudah mendengarkan pengaduan dari kau, Tuan Sikan dan juga beberapa dari masyarakat yang hadir di sini.
Sekarang aku ingin mendengar penjelasanmu, Heaven Falamir,” ucapnya penuh wibawa. Matanya teduh sekaligus tajam.
“Tidak ada yang perlu diperjelas Master! Dia harus dihukum sekarang juga, usir dia!”
Sin Moa berucap penuh dengan nada kebencian di dalamnya, matanya melotot seakan-akan ingin menguliti Heaven hidup-hidup!
“Bukan kau yang memutuskan,Tuan Sin Moa!” hardik keras Master simon.
Sin Moa bungkam, meski di dalam hatinya dendam tetap membara.
“Sial! Gara-gara dia aku dipermalukan di depan banyak orang. Aku pasti akan membalasmu, Sampah! Kau lihat saja nanti,” ucap geram Sin Moa dalam hati.
“Terima kasih kepada Master karena bersedia mendengarkan saya.” Heaven memberi hormat dengan tulus sambil menundukkan kepalannya.
“Jadi bagaimana kau menjelaskan ini?” desak Master Simon dengan nada tak sabar, dia sangat sibuk dan tak ada waktu banyak!
Sebenarnya Heaven agak gugup berhadapan langsung dengan pemimpin kota. Sejenak ia berpikir bagaimana caranya agar bisa lepas dari semua ini.
Ia tak mau di hukum meski dengan alasan apapun. Anak ini keras kepala!
“Apa kau tidak memiliki pembelaan?” Master bertanya lagi dengan suara barito miliknya.
Duduk dengan tenang di kursinya, matanya menyorot tajam ke arah Heaven.
Heaven menarik napas berat sebelum akhirnya berkata, “Apapun alasannya semua orang juga tidak akan menerimanya Master.”
Nada suaranya lemah tak berdaya dan itu benar. Kini Heaven pasrah, toh dia memang salah.
“Katakanlah.”
Heaven mendongak menatap ke arah Master kota, sebuah senyuman kecil terlukis di bibirnya yang ternodai darahnya sendiri.
Ada rasa nyeri saat kulitnya tertarik.
“Aku tidak akan cuci tangan pada hal ini. Ya, aku memang mencuri.” Ada kelegan saat ia mengucapkan itu, dadanya terasa lebih longgar.
“Hahaha tidak disangka dia mengakuinya, cari mati!” Sin Moa berkata dalam hati, ia begitu senang menantikan kehancuran bocah itu.
Wajah orang-orang disana seketika berubah berseri, mengejek Heaven yang bodoh karena mengakuinya di hadapan Hakim Besar itu.
Tapi tak sedikit juga yang kagum tak menyangka kalau dia akan mengakui semua perbuatannya. Nyalinya patut diacungi jempol.
“Kenapa kau mencuri?” tanya Master simon lagi.
“Untuk memberi makan kelinciku.”
“Haha kalian dengar itu, hanya demi kelinci!”
“Aku tidak tahu kalau si Heaven ini ternyata lebih bodoh dari dugaanku!”
“Kasian sekali Amor Paul, reputasi Si Banteng Merah akan hancur karena anaknya.”
[Amor adalah gelar penghormatan untuk mereka yang menjadi tameng atau penjaga Akademi Atas Awan]
Orang-orang itu kembali menghina Heaven. Mereka tidak tahu betapa sangat berharganya para kelinci-kelinci menjengkelkan itu.
Heaven berkali-kali harus menghembuskan napas untuk menetralkan emosinya, hukumannya bisa lebih berat jika ia berani membuat kekacauaan di dalam aula ini.
“Baiklah, kalau begitu telah diputukan hukuman yang pantas untuknya!” Selang beberapa lama akhirnya hakim memutuskan.
“Dengan ini maka telah diputuskan bahwa, Heaven Falamir, harus menjalani pengasingan di lembah dosa selama 3 bulan penuh!”
Putusan hakim dibacakan besamaan dengan suara petir menggelegar.
“Renungkanlah dengan baik kesalahanmu," sambungnya.
“Ada apa ini?”
“Haha tampaknya langit senang dengan hal ini?”
“Apa iya?”
Heaven berdecak kesal.
...“Orang-orang ini berisik sekali! Itu hanya petir kenapa begitu heboh!”...
Heaven pulang kerumah dan sepanjang jalan pula ia ditatap seperti monster tak ada yang mau berdekatan dengannya.
Malam harinya ..
Heaven sedang mengemas barangnya. Beberapa potong baju, obat-obatan, beberapa makanan dan hal lainnya.
Brakk
Pintu rumah terbuka, menampilkan seorang pria berambut kuning pucat. Pakaiannya basah karena menerobos hujan dan napasnya terengah-engah.
Ia bergegas masuk dan memeluk Heaven, pintu dibiarkan terbuka begitu saja.
“Kau tidak boleh pergi kau bisa mati!” larangnya setengah berteriak saatmemeluk Heaven dengan kencang.
“Hey! Kau yang akan membuat ku mat—akh!”
“Hehe maaf,” katanya sambil melepaskan peluknnya dari Heaven.
Napas Heaven tersengal-sengal, tulang rusuknya rasanya hampir remuk!
“Jika tidak ingin aku pergi, maka memohonlah pada Master!”
Heaven masih sibuk memasukkan barang-barangnya kemudian memasuknya ke dalam tas.
“Sudahlah Ayah, kau jangan khawatir. Hanya lembah dosa, itu bukan apa-apa,” ucapnya menepuk bahu sang ayah sambil membelakanginya menghadap pintu.
Tapi daripada menenangkan ucapannya lebih terdengar seperti lonceng kematian di telinga pria dengan otot besar berambut pirang pucat itu.
Ia mengepalkan tinju di kedua sisinya, mukanya menjadi murung.
Heaven melangkah menuju pintu, sang ayah masih diam membisu ditempatnya sebelum akhirnya memanggil nama putra kesayangannya.
“Heaven.”
Mendengar namanya dipanggil, Heaven menoleh. Mendapati sang ayah tersenyum getir, melihat satu-satunya putranya harus pergi jauh darinya.
Tatapan kecewa itu, membuat hatinya nyeri! Itu adalah siksaan sebenarnya bagi Heaven.
Heaven bebalik badan sepenuhnya, berhadapan dengan Ayahnya sambil tersenyum.
“Jangan cemas, aku ini anak dari Si Banteng Merah!” katanya sambil menunjuk diri sendiri dengan jari jempol. Membuat Paul merasa lega meski rasa khawatir tetap ada.
“Baiklah, pergilah!” usir Paul galak, mukanya berpaling cepat sambil bersedekap.
Heaven senang melihat ayahnya yang seperti itu, hanya Paul yang benar-benar menyayanginya dengan tulus.
“Baiklah aku pergi, tolong jaga kelinci-kelinci itu. Jangan sampai mati!”
“Ya, ya pergilah!”
Kemudian Heaven pergi menuju Lembah Dosa, menerobos hujan dan dinginnya malam.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments