“Zel? Kamu dengar aku gak?"
Sally mengangkat tangan sambil menggoyang-goyangkan tangannya di hadapan gue.
“Eh, sorry, kamu bilang apa tadi?"
“Kamu uda berhari-hari nyuekin aku begini, Zel. Kamu tuh kenapa sebenarnya?"
“Gak apa-apa. Ada urusan kantor aja yang lagi ganggu pikiran aku."
Padahal sih boro-boro urusan kantor, hari ini saja gue sedang cuti. Gue hanya merasa bosan dengan obrolan Sally, yang itu-itu saja.
“Are you getting bored with me?”
(Kamu bosen ya sama aku?)
Syukurlah, akhirnya sadar juga.
“Sal, please don’t do drama with me.”
(Sal, please jangan drama deh sama aku.)
“Kamu yang jangan bikin aku begini, Zel.” Suaranya meninggi.
Orang-orang di sekitar kami langsung melihat kami.
“Sal, jangan membuat keributan deh. Kita udah bukan anak-anak lagi. Jadi tolong, jangan begini."
Gue tetap memotong steak dengan santai.
“Kalau kamu bosan sama aku, ngomong, Zel. Jangan cuekin aku terus-terusan kayak gini.”
“Kita baru nyampe disini setengah jam yang lalu. Dan aku baru gak dengerin kamu mungkin cuma sekitar lima menit.”
"You want to break up, Zel?"
(Kamu mau putus, Zel?)
“Don’t put your words on my mouth, Sally...”
(Jangan letakin kata-kata kamu di mulutku, Sally...)
“Kamu tega banget sih!”
Air matanya menggenang. Namun gue bergeming, sama sekali tidak berniat menenangkannya.
Sally Anthony, seorang gadis keturunan Belanda berumur 30 tahun. Dia salah satu public figure dan artis sinetron. Belum terlalu terkenal, tapi gue yakin suatu saat nanti dia akan meraih beberapa penghargaan. Lihat saja sekarang, kemampuan aktingnya patut diacungi jempol.
Pikiran gue melayang ketika pertama kali gue diperkenalkan dengan Sally. Tepatnya dua bulan yang lalu. Gue dikenalkan oleh Dave, seorang teman SMA yang merupakan sutradara film. Dave tahu tipe wanita yang gue kencani dan dia bilang gue bakal cocok dengan Sally.
Dalam dua jam perkenalan saja, gue sudah bisa menebak kelanjutan hubungan gue dengan Sally.
She loved my money and I loved her body. Simbiosis mutualisme. I showered her with branded bags, shoes and jewelries. After that, I would have the most unforgettable night ever. Hehehe.
(Dia suka uang gue, gue suka tubuhnya. Simbiosis mutualisme. Gue hujani dia dengan tas branded, sepatu mewah dan perhiasan. Setelah itu, gue bakal mendapatkan malam-malam tidak terlupakan. Hehehe.)
Tapi sama seperti dengan wanita-wanita sebelumnya, setelah beberapa malam menggairahkan yang kami lalui, gue pun merasa bosan.
Gue selalu seperti ini. Berumur tiga puluh delapan tahun tidak membuat gue menjadi dewasa sama sekali.
“I want to go home."
(Aku mau pulang.)
“Mau diantar?”
Dia menatap gue tidak percaya. Ketenangan gue sebegitunya mengusik dia.
“I hate you!”
(Aku benci kamu.)
Gue tersenyum. Airmatanya mengalir. Lalu dia pun pergi meninggalkan gue sendirian.
Perasaan gue? Tidak ada apa-apa tuh.
Gue bahkan menghabiskan terlebih dahulu steak sebelum gue beranjak pulang.
Begitulah wanita, mencari masalahnya sendiri lalu menyalahkan laki-laki. Dave memang mengenalkan gue pada Sally, tapi dia sudah memperingatkan Sally tentang betapa brengseknya gue. Tapi Sally tetap maju, karena ya, itu tadi, materi. Padahal gue tidak sekaya Dave, yang punya pulau pribadi dan koleksi mobil mentereng.
Sudah dua bulan kami menjalani hubungan, siapa sangka dia benar-benar menaruh hati dengan gue?
Dia mulai mengekang. Dia mulai tidak terima jika gue tidak punya waktu untuknya.
So, I need to cut this fast. This relationship is purely physical for me. Don’t try to reach my heart, Baby, it died long time a go.
(Jadi gue harus cepat-cepat menyudahinya. Hubungan ini hanya sebatas hubungan fisik buat gue. Jangan mencoba untuk mengambil hatiku, Sayang, sudah mati sejak lama.)
***
Besoknya...
Setelah memarkir mobil, gue berjalan ke dalam gedung sekolah di depan gue. Gue lihat ada beberapa ibu-ibu memandang gue sambil berbisik.
Sekarang, gue jadi benar-benar menyesal menjalin hubungan dengan Sally. Memang berhubungan dengan public figure tidak pernah berhasil buat gue.
“Pa!”
Suara cicitan kecil mengalihkan perhatian gue.
Rara menggandeng tangan gue. Gue meliriknya.
Berdirilah disana Grace Aurora, anak cantik kebanggaan gue. Panggilannya Rara. Gue pun refleks mengelus dan mencium puncak kepalanya.
“Gimana tadi sekolahnya?”
“Seru, tadi belajar tentang simbiosis mutualisme.”
Seperti hubungan gue tadinya dengan Sally.
Kami pun masuk ke dalam mobil.
Tiba-tiba handphone gue berbunyi, sebuah whatsapp masuk.
Nathan
✔ Bro, gue baru landing di Soekarno Hatta.
✔ See you in Bogor!
Gue hampir lupa! Hari ini kan Nathan, sahabat gue, kembali ke Indonesia. Keluarganya mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan dan gue diundang. Dulu memang gue lumayan dekat dengan keluarga Nathan.
“Rara hari ini mau ikut Papa ketemu sama Om Nathan gak?”
Rara terlihat berpikir sejenak, lalu menggeleng, “Gak mau.”
“Loh? Kenapa? Biasanya kangen banget sama Om Nathan?”
“Ada PR, Pa. Terus Senin ada kuis.”
“Apa Papa gak pergi aja?”
Rara menggeleng, ”Jangan! Rara nginep di rumah Mama aja, Pa.”
Gue berpikir sejenak.
“Papa telepon Mama dulu.”
Gue jarang sekali meninggalkan Rara di rumah Diana, mamanya. Biasanya kalau gue ada jadwal ketemu teman (kebanyakan wanita hehe) di malam hari, gue bakal dari jauh-jauh hari ngomong untuk menitip Rara ke Diana. Tapi kali ini gue benar-benar lupa ada acara di rumah Nathan. Terpaksa gue menanyakan Diana apakah malam ini dia bisa menjaga Rara.
Sebelum kalian bingung terlalu lama. Gue Azel, laki-laki berumur tiga puluh delapan tahun, duda beranak satu. Gue cerai dari Diana sudah hampir 3 tahun. Gue mendapat hak asuk Rara, karena memang dia yang selingkuh dari gue. Diana juga sempat ketahuan kecanduan obat tidur setelah gue meninggalkan dia, jadi pengadilan memutuskan gue yang mendapat hak asuh.
Terlepas dari kelakuannya. Diana itu wanita tercantik, terhebat, termenyenangkan, yang pernah gue temui selama ini. Dia itu mantan pemenang acara ratu kecantikan Indonesia, dia juga masih aktif jadi MC di dunia hiburan. Di umurnya yang menginjak 35 tahun, masih banyak om-om konglomerat dan brondong-brondong baru naik daun yang sangat tergila-gila padanya. Sudah bisa membayangkan cantiknya seperti apa?
Tapi ya itu tadi, selingkuh tetaplah selingkuh. Dia sudah berkali-kali ketahuan selingkuh dari gue, tapi gue maafkan, karena hanya sebatas flirting-flirting dan makan malam. Namun, seorang brondong berhasil menaklukan dan menidurinya. Meskipun gue pernah mencintainya mati-matian sama dia, tapi membayangkan dia tidur dengan orang lain, selain gue suaminya, membuat semuanya jadi tak tertahankan.
Sorry, Honey, I’d rather die alone without a wife.
(Maaf, Sayang, gue lebih baik meninggal tanpa seorang istri.)
Sekarang mungkin lebih gampang mengatakan semua ini.
But, I had suffered a lot back then.
(Tapi gue pernah benar-benar menderita di masa lalu.)
Sebelum pengkhianatan Diana, gue bukanlah seseorang player. Selain Diana, perempuan lain terlihat kabur. Tapi setelah kejadian itu? Gue bisa bilang gue telah berubah menjadi lelaki paling brengsek yang ada di muka bumi. Gue gonta-ganti pacar seenak jidat. Rekor paling lama 3 bulan, paling cepat yaaa… 3 minggu.
There is no love attached, I only need some physical touch.
(Tidak ada cinta, hanya murni sentuhan fisik.)
Dan lagi, gue gak pernah mengenalkan wanita-wanita itu pada Rara, karena gue tidak pernah berniat punya long term relationship dengan siapapun. Bagaimana pun juga, gue ini single parent yang diberikan hak asuh anak, gue harus menjaga attitude gue. Gue tidak pernah minum lagi, bahkan berhenti merokok. Gue tidak membawa wanita ke rumah, mungkin sesekali gue pergi bermalam ke rumah mereka dan itu hanya terjadi di saat Diana bisa menjaga Rara. Semuanya gue atur. Karena Rara itu dunia gue, anak ajaib yang buat gue bangkit dari pengkhianatan mantan istri brengsek itu. Meskipun umurnya saat ini baru menginjak 12 tahun, dan perceraian terjadi saat dia berumur 8 tahun, dia tidak banyak mengeluh dan bertanya ketika tau Papa dan Mamanya berpisah, katanya dia tidak mau gue sedih. Dan hebatnya Rara, dia mampu membuat gue memaafkan Diana, gue sudah bisa menerima bahwa dia tetaplah ibu dari anak gue. Rara adalah satu-satunya wanita yang tidak akan pernah gue sakiti.
Gue keluar sebentar dari mobil, hendak menelepon Diana. Hanya butuh satu nada panggil untuknya menjawab telepon gue.
“Hey babe, miss me?” tanyanya dari ujung sana.
(Hey, Sayang, kangen ya?)
“Don’t babe me, Dee.”
(Jangan panggil gue sayang, Dee.)
Dia tertawa, sudah terbiasa dengan nada sinis gue.
“Malam ini bisa bantuin jaga Rara?”
“Hormon’s calling…” ejek Diana.
(Hormon memanggil...)
“Bukan. Nathan uda balik ke Indo. Mau ada acara di rumahnya.”
“Oh, boleh kalau gitu. Gue batalin acara gue deh buat Rara. Udah lama gak ngajak Rara ngemall.”
“Enak aja. Mending dia ikut gue. Kalo ama lo kan dia pasti gak enak nolak."
“Lah, terus?”
“Dia mau belajar, Dee. Katanya banyak PR, dan senin ada kuis.”
“Babe, lo jangan didik anak gue jadi kutu buku dong.”
“Hahaha, brengsek lo. Sekali lagi gue bilang, don’t babe me.”
“Hahaha, galak amat lo sekarang, kayak perempuan lagi PMS. Ya udah, gue juga uda kangen sama Rara. Bawa aja dia kesini.”
“Oke. Nanti gue telepon lagi ya."
Gue mematikan telepon. Setelah itu gue mengajak Rara makan dulu sebelum ke rumah Diana.
***
IG Author : @ingrid.nadya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Nafiza
mantap betul ceritanya mbak..
tulisan yg cerdas berkualitas...👍
2021-11-27
0
Reiva Momi
menarik
2021-10-14
0
Fani Tsao
gk klh m rk hhhh
2021-10-01
0