Diam adalah cara terbaik untuk menghindari keributan. Setelah pekerjaan rumah tanggaku selesai, aku lebih banyak menghabiskan waktu bermain dan mengajari Rama untuk mengenal huruf dan angka.
"Jatah belanja hari ini," tiba-tiba bang Angga menghampiriku dan meletakkan uang 25ribu di meja. Aku tidak menoleh atau bahkan menyahutinya. Jelas saja aku masih sangat kesal dengan suamiku karena kejadian beberapa hari yang lalu.
Seperti dugaanku sebelumnya, Ibu mertuaku tidak akan pernah mengakui semua fitnah yang ia sebarkan keorang-orang. Terlebih lagi bang Angga sangat mempercayainya, tentu saja membuatku sangat kesal dan memilih mendiamkannya sudah beberapa hari ini. Mereka begitu pintar hingga memutarbalikan fakta dan mengira bahwa aku sendirilah yang menyebarkan gosip itu.
Ingin rasanya aku memanggil para tetangga, tapi semua itu pasti percuma. Yang ada Ibu mertuaku kembali melakukan dramanya dan ujungnya-ujungnya memusuhi para tetangga.
Mengalah lagi, hanya itu yang bisa selalu aku lakukan. Allah masih sayang padaku, memberiku kesabaran yang begitu luas hingga mampu bertahan hidup dengan orang-orang seperti mereka yang tidak mengerti cara memperlakukan manusia dengan baik.
"Jangan pelit kenapa sih bang? Tambahin lagilah, sekarang semuanya serba mahal," ucapku sebelum bang Angga benar-benar berangkat ketempat kerjanya.
Mendengar itu, bang Angga berbalik menolehku dengan mengerutkan keningnya. Ia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang 10ribu. Aku bernafas lega, karena mulai sekarang tidak perlu lagi pusing memikirkan bagaimana 25ribu cukup untuk satu hari. Aku tersenyum menerima tambahan jatah belanja dari bang Angga.
"Untuk dua hari!"
Senyum manis yang baru saja aku tunjukan sekarang berubah menjadi asam jawa. Aku terdiam dan mulai mencerna kata-kata bang Angga.
"Maksudnya gimana bang?" Tanyaku ingin memastikan jawaban yang jelas.
"Kamu tadi bilang 25ribu gak cukup, Abang sudah tambahin lagi 10ribu. Tapi untuk jatah besok juga, besok Abang gak akan kasih uang belanja, jadi pinter-pinter kamu ngatur gimana 35ribu cukup untuk dua hari," jawabnya.
Aku membolak-balikan uang yang bertotalkan 35ribu itu. Otakku memutar keras memikirkan bagaimana caranya dengan jatah segitu bisa cukup untuk makan dua hari. Ya Allah, begini sangat nasib hidupku ini. Kalo saja bukan karena anak-anak, sudah pasti kutinggalkan dua orang kejam itu. Aku bersungut kesal.
"Jangan boros-boros, Ra. Syukuri aja yang dikasih suami, karena nyari duit itu gak gampang. Kamu enak tinggal terima aja gak perlu kerja," ucap mertuaku yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
Ingin rasanya aku mencaci-maki Ibu mertuaku itu dan meleparnya dengan uang 35ribu yang dikasih oleh anaknya. Enak saja mengataiku boros, memang anaknya ngasih uang seberapa banyak? Gaji aja dikasih emaknya, boro-boro boros.
"Ibu kasih tau ya Ra, biar kamu bisa ngikutin jejak ibu dulu. Dulu ibu bisa nyisihin uang belanja yang dikasih almarhum bapakmu, padahal dia juga ngasih ibu gak seberapa. Lah kamu ini apa, sudah lima tahun nikah hidup kok masih gitu-gitu aja," tambah mertuaku lagi.
Kalau saja tidak ingat dosa, sudah kutendang tubuh perempuan ini sampe nyuksruk. Geram sekali rasanya, aku seperti hidup di tengah-tengah orang tidak waras.
Dia membandingkan dulu dan sekarang? Ya jelas bedalah, dulu semuanya masih serba murah, sekarang jaman sudah semakin maju. Apa-apa serba mahal, apa-apa serba duit. Jatah belanja 25ribu aja kurang, gimana mau nabung coba?
Kadang aku merasa pinternya mereka ini terlalu salah. Membandingkan yang kuno dengan hal baru, jelas tidak akan pernah sama.
Apalagi mertuaku yang aduhai itu, sudah tau menantunya hamil muda, tapi masih saja dibiarkan mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Katanya jangan terlalu manja, orang hamil wajib banyak gerak. Ingin rasanya kurobek mulut yang mengatakan itu.
"Bu, nitip Rama sebentar, Dira mau kepasar," ucapku pada mertua yang tengah menjemur bantal. Aku biasa menitipkan Rama pada neneknya saat bang Angga sudah berangkat bekerja. Meskipun saat aku pulang nanti Rama selalu mengeluh dimarahi oleh neneknya, tapi tidak ada cara lain. Selain karena kasihan dengan cuaca yang terlalu panas, aku juga memikirkan bagaimana jika Rama meminta banyak hal saat di pasar nanti. Sementara uang belanja yang dikasih Ayahnya begitu terbatas, bahkan dibilang tidak cukup.
Sambil berjalan, aku memikirkan harus membeli apa supaya cukup untuk dua hari.
Kalau rezeki lagi mujur, biasanya ada penjual sayur yang mau memberi sisa-sisa sayur jualannya. Aku tidak pernah menolak selagi itu masih layak. Lumayan, sedikit ngirit jatah belanja hehe.
Sesampainya di pasar, aku langsung membeli beras. Menurut suamiku, hal yang paling utama adalah nasi. Masalah lauk baginya hanya sambel pun tidak masalah.
Berlanjut ketukang sayur, aku membeli nangka muda serta kelapa satu butir. Lanjut lagi kedunia perbumbuan.
Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, aku bergegas pulang mengingat Rama yang sejak tadi kutinggalkan bersama neneknya.
Sepertinya hari ini aku kesiangan berbelanja, sampai bang Angga pulang untuk makan siangpun masakanku belum selesai.
"Belum matang ya? Abang udah laper nih," keluh bang Angga saat menghampiriku di dapur.
"Ya belumlah bang, Abangkan tau sendiri aku ngerjain apa-apa semuanya sendirian,"
'Memangnya cuma dia yang lapar? Aku juga lapar kali bang, apalagi tenagaku ini sudah banyak terkuras dari pagi' bathinku mengoceh.
"Abang tidak tahan lagi, Ra,"
"Abangkan punya uang, kalo gak sabar ya beli aja nasi bungkus, gitu aja kok repot. Milih ngirit apa lapar?"
"Ya sudah, Abang beli nasi bungkus aja."
Tidak lama setelah bang Angga pergi, aku berhasil menyelesaikan masakanku.
Seperti biasa, aku mengutakan Rama dan memintanya untuk segera melahap makanan yang sudah kusiapkan.
"Ayo Ra, makan!" Ajak suamiku yang baru saja pulang membeli nasi bungkus.
Aku melihat kresek yang berisi dua nasi bungkus dan kemudian mengulas senyum. Ternyata suamiku masih punya pengertian juga hihihi..
Aku mulai menumpahkan satu bungkus nasi ke dalam piring. Sementara bang Angga terlihat memperhatikan pergerakan tanganku seolah tidak sabar ingin segera melahap makanannya.
"Satu piring berdua ya, Ra," ucap suamiku tiba-tiba.
"Lah Abangkan belinya 2, terus satunya buat siapa?"
"Oh itu, satunya buat Ibu."
Raut wajahku seketika berubah menjadi layu. Yang awalnya aku pikir bang Angga akan membelikanku juga, ternyata untuk Ibunya.
Kapan istri dan anaknya diprioritaskan?
Ibu, Ibu, Ibu selalu Ibu yang utama. Istri dan anak selalu mengalah demi Ibunya.
"Bu, ayo makan! Angga udah beliin nasi bungkus buat ibu," suamiku memanggil ratu kesayangannya untuk segera menyusul kami di meja makan.
"Bunda, Rama pengen makan yang kayak punya Ayah," rengeknya dengan tatapan memelas kepadaku supaya aku menuruti dan memberikannya makan seperti yang dimakan oleh Ayahnya.
"Rama mau?" Tanyaku dan langsung mendapat anggukan darinya.
Aku mengambil nasi bungkus yang masih utuh itu dan berniat memberikannya pada Rama.
"Itu buat nenek, sayang. Rama ini aja ya, bagi dua sama Ayah," Ucap bang Angga dengan tangan yang menghalangi tanganku.
"Lah bang, itukan jatah kita. Biarin aja Rama minta jatah neneknya sedikit," kataku berpendapat.
"Kasihan Ibu Ra, takutnya nanti gak kenyang. Kamu makan aja yang dimasak tadi ya?! Lain kali Abang beliin."
Punya suami begini amat ya Allah...
Gemesss gak sih punya suami kayak Angga???
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Riana
terlalu akut🤣🤣🤣😂😂😅😅😅ketelaluannya
2022-12-19
0
🦋𝖀𝖓𝖓𝖎𝖊 𝕰𝖛𝖎🍀
ingin rasanya ketok kepala Angga pakai wajan 😡
2022-12-19
0
Gemes pengen mabok Angga .jaman dah berubah Bambang Angga 😡😡😡😡 ibu mu jaman nasi jagung kali ,sekarang jaman padi🤭🤭🤭
2022-12-12
0