Setelah berpikir sejenak, kerumitan-kerumitan yang Elena pintal dalam benak semakin membuncah. Ia tak berdaya, pening mulai merambati jiwanya ketika lengah. Mantra pengendali pikir seakan telah bekerja di tubuh Elena yang kini terselimuti pendar ungu. Warna identik dengan kemuliaan dan kemewahan. Warna kesukaan Luther.
Elena melangkah ke depan Luther seakan-akan pucatnya raja vampir yang baru sebulan mengganti posisi Valek tiada artinya. Ketakutan Elena lenyap entah kemana, rasa rikuh akibat perkataan tidak sopan dari Luther ternyata sanggup memperdayainya sendiri. Namun keadaan berbalik, pemuda berpakaian serba hitam dengan rambut yang tergerai indah itu mundur.
Sebagai makhluk tak mempunyai jiwa ia jelas kaget sendiri dengan reaksi cepat yang Elena tunjukkan secara masif.
Aku bersumpah tidak akan menggunakan mantra untuk mengendalikan pikirannya lagi. Dia lebih berani dan kekanak-kanakan.
Luther menunjuk sarapan Elena di atas troli besi bagai manusia dengan kondisi sangat tertekan. Kaku, mengingat bagaimana dia mengejang dan melayang-layang melampaui batas kesenangan yang tak pernah ia rasakan meskipun sudah lusinan vampir menggodanya dengan nakal. Tak ada yang menggetarkan tubuhnya, kecuali Elena. Sekarang Luther merasa Elena seperti ancaman yang menyenangkan.
"Aku yakin kau lapar. Jadi selamat makan!"
Elena memiringkan kepala, mengamati muka Luther yang benar-benar kekurangan darah pikirnya. Sungguh ia sangat mengira Luther adalah pribadi yang bebas dan tak terurus sampai-sampai seorang tabib bisa begitu pucat.
"Kau tidak mau berkenalan dulu? Siapa namamu tabib?" tanya Elena. "Biar aku bisa berterima kasih padamu lalu pulang."
Pulang? Enak sekali.
Ingin sekali Luther menunjukkan taringnya dan mencegah Elena mengulurkan tangannya. Terlebih pulang, rencana yang tidak mungkin Elena bisa wujudkan. Dia telah dalam bahaya dan hanya Luther yang bisa melindunginya.
Pasti menyenangkan bisa menyentuh tangannya.
Luther memutar tubuhnya, pikirannya getir. Selain itu kondisinya dia lebih suka bersikap pengecut sekarang daripada Elena tersentak kaget seperti terkena busur panah.
"Luther!" serunya sebelum menarik gagang pintu. Sejenak ia berbalik, matanya bergerak tidak fokus begitu melihat senyuman Elena.
"Terima kasih tabib Luther."
Luther keluar, menutup pintu seraya melesat cepat ke jendela kamarnya di luar menara sayap kiri. Udara pegunungan yang terasa sejuk menyapu helai-helai rambutnya yang halus dan wangi. Ia mengintip Elena yang mengendikkan bahu sebagai respon paling murni yang bisa gadis itu lakukan karena sikapnya. Luther mendesah, sementara ia mengawasi Elena diam-diam. Sendirian di kamar Luther gadis yang sudah mengganti pakaiannya di depan mata Luther menyentuh sarapan paginya dengan ragu-ragu.
Luther menyandarkan tubuh. Sialan, di saat-saat langka seperti itu ia merasa tidak bisa mengendalikan diri. Tubuh Elena yang polos terngiang-ngiang di kepalanya. Rambutnya yang merah kecoklatan tampak seksi di kulitnya yang putih bersih.
Luther kembali melesat cepat ke dalam kastil, dia menutup tirai kamar mandi seraya mendinginkan tubuhnya yang bereaksi, membiarkan Elena menikmati makanannya sebelum gangguan datang silih berganti darinya atau dari keluarganya yang bisa datang kapan saja.
"Makan saja daripada kelaparan nyaris mati untuk kedua kalinya. Kalaupun aku keracunan, ada tabib Luther yang bisa menolongku."
Elena mendorong troli ke dekat jendela yang tingginya melebihi tinggi badannya. Dia termangu.
"Mom, dad..."
...ΩΩΩΩΩ...
Di kawasan utara hutan lebat Delucia, seorang laki-laki sedang mengalami penyesalan teramat besar di pos polisi hutan setelah seharian tim pencarian dan polisi hutan terus bergerak mencari keberadaan Elena. Hayley ditemukan dalam keadaan panik dan stres, kuda itu tidak bisa di tenangkan sebelum ditembak dengan obat bius.
Reyand berdiri, menghampiri Mark dan Julianne turun dari dua motor trail yang digunakan menyisir lokasi yang diduga sebagai tempat hilangnya Elena.
"Om..." sapa Reyand.
Mark mengibaskan tangan, ekspresinya terlihat kecewa sekali dengan informasi yang ia dapat pada senja hari pertama Elena dinyatakan hilang di hutan lebat Delucia.
"Harusnya aku tidak membiarkan putriku pergi, Anne. Harusnya kau tidak perlu memaksakan kehendakmu menjadikannya altet sepertimu. Harusnya kau tidak membiarkan putriku sendiri."
Mark menatap Julianne dan Reyand secara bergantian. Kecewa membuatnya hilang kendali setelah putri satu-satunya yang dimilikinya hilang tanpa jejak sebelum pencarian ditetapkan berakhir.
Bagi Mark yang telah memutuskan melakukan hidup selibat, Elena adalah satu-satunya putri yang dibesarkan oleh Julianne dengan cinta yang luar biasa.
Mark dan Julianne hanya melakukan hubungan intim sekali dalam hidup mereka sebelum terjadinya keputusan untuk berpisah. Bagi Julianne, Mark tetaplah kekasih hati, begitu sebaliknya. Keduanya saling mendukung tanpa harus melibatkan hubungan intim dalam sebuah bahtera rumah tangga.
Julianne mengulum bibirnya, menahan tangis meski matanya telah berkaca-kaca, terlalu basah, terlalu sedih. Dadanya terasa seperti tertusuk sembilu. Dia menatap Mark, tidak tahu harus mengucapkan apa selain hanya menyentuh dadanya sendiri dan membungkuk.
Julianne terisak, tangisnya semakin pecah mengingat sebagian besar waktu tumbuh kembang Elena adalah bersamanya.
Mark menghela napas, ia merangkul bahu Julianne dengan cara yang posesif.
"Maafkan aku, Anne. Aku terlalu takut."
Reyand berbalik, berjalan menuju sir Thomas dah Sophia yang menunggunya dengan muka tegang. Tak ada ruang baginya untuk meminta maaf kepada orang tua Elena setelah kedua orang itu pergi ke dalam mobil.
"Aku tidak menyangka jika hal ini akan terjadi pada Elena. Jika iya aku pasti akan menemaninya kemarin." Reyand mengusap wajahnya yang kalut, pemuda itu benar-benar terlihat menyesal. Sophia melemparkan tatapan turut prihatin yang berlebihan sembari mengelus-elus pundak Reyand. Perempuan itu sejak kemarin menjadi bagian dari pencarian Elena hanya semata-mata untuk memastikan gadis itu benar-benar lenyap entah di makan hewan buas atau apalah.
"Anggap aja ini takdir Rey karena ini bukan salahmu!"
Reyand menggeleng. "Dia kekasihku, Pia. Aku bertanggung jawab atas dirinya."
"Tapi Elena bukan anak kecil, Rey!"
Reyand menepis tangan Sophia. "Kamu sama sekali tidak membantuku Pia, kamu tidak membantuku!" kata Reyand dengan muram.
Sir Thomas mencegah Sophia berkata lagi. "Masih ada tujuh hari pencarian, kita serahkan semua pada pihak berwajib sementara kalian tetap harus fokus pada pertandingan dan menganggap ini murni kecelakaan."
Reyand menendang keras batu berukuran bola tenis di depannya. Ia mengeram frustasi di pinggir hutan.
"ELENAAAAA!!!" teriakkan itu melolong panjang laksana lolongan serigala di tengah purnama.
Burung-burung berterbangan. Kepakan sayap mereka menambah suasana mencekam dikawasan itu. Di sisi lain, Mark dan Julianne gelisah di jok mobil. Berserah pada keadaan yang lebih kejam dari sebuah kehilangan jika pada senja kedua Elena tidak di temukan. Kemungkinan tersesat, di serang hewan buas dan hipotermia terus membebani bahkan hanya untuk sekedar bernapas.
"Tidak bisakah polisi hutan lebih gesit daripada pemburu gelap?" dilema Mark terus bertambah banyak saat langit musim semi kembali gelap dan berkabut.
"Elena, apakah papa harus melanggar kode etik pastor?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Akifa Naziha
kode etiknya apaan ya kak vi
2023-01-09
0
Umine LulubagirAwi
wah2x jacob suka elena.
bkal selmt ga nh, si elena?
ayahnya elena mau ngpain?
2022-12-20
0
Triple R
aku kepo
2022-12-16
0