Lost in a Paradise Vampire

Elena membuka mata perlahan. Sejenak pemandangan di depannya terlihat kabur dan asing. Ia memejamkan matanya lagi, merasa ada keanehan yang terlalu kentara sekarang. Tubuhnya terasa tenang dan tidak ada rasa sakit yang bertubi-tubi seperti yang ia rasakan sewaktu menggelinding tanpa jeda ke dalam jurang sebelum ia melayang-layang dan pingsan.

"Apa aku mati?" Elena mengangkat tangan kanannya, dengan lemah ia menyentuh pipinya tanpa berani membuka mata lagi setelah bayangan kabur kamar Luther yang memiliki langit-langit tinggi yang semakin ke atas semakin mengerucut. Aroma di kamar itu tak seperti di kamarnya atau aroma rumah sakit jika ia benar-benar mati. Mendadak kegelisahan Elena semakin menjadi-jadi.

"Mom... Mom..." teriak Elena sebisa mungkin dengan gelisah. "Mommy." Elena mendekap jubah hitam Luther semakin erat. Ketakutannya semakin membesar sewaktu Luther menggunakan mantranya untuk membuat patung kuda di kamarnya jatuh ke lantai.

"Mommy, aku dimana? Mom, tidak bisakah kamu mendengarku? Mom... Apa aku mati?"

Luther menyeringai lebar di depan pintu kamarnya. Dia membiarkan Elena beristirahat semalam suntuk tanpa ia ganggu setelah sadar mendekap gadis yang entah siapa dan darimana adalah suatu kegiatan yang menyenangkan namun mengganggu konsentrasinya, Luther menarik diri, melindungi kamarnya dengan mantra yang membuat Elena aman selama ia mengurus banyak peraturan baru di kastil sebelum gadis itu sadar dari mantra penyembuh yang bereaksi di tubuhnya.

"Mom..." Elena terpaku di tepi tempat tidur setelah beranjak. Kamar Luther menarik perhatiannya, belum pernah ia melihat kamar dengan desain abad pertengahan yang sangat-sangat persis seperti film-film aristokrat yang menunjukkan keagungan kaum bangsawan di zaman itu. Elena menoleh, menatap takjub tempat tidur yang terukir megah dan tempat obor di tembok dengan kokoh.

"Aku sepertinya telah mati dan inilah hidup keduaku di kastil yang mirip katedral papa." Elena tampak merenung, seolah ia mempunyai pemikiran-pemikiran yang logis. Elena menyentuh dadanya, detak jantung masih terasa di telapak tangan dengan tenang, tangannya lalu menyusuri wajahnya yang tergores ranting pohon dan bebatuan.

"Aku masih hidup, tapi aku dimana dan berapa lama aku tertidur. Dimana lukaku?" Elena memutar tubuhnya, memutarnya berkali-kali sampai gorden hitam tersibak angin luar, seberkas cahaya pagi yang teduh menuntun langkahnya.

Elena menyibak gorden semakin lebar, pemandangan yang tersaji dari kamar Luther di atas menara sayap kiri kastil terasa seperti ia tersesat di surga tersembunyi di atas pegunungan.

Elena menghirup udara dalam-dalam, ia merasa bersyukur telah di beri kehidupan kedua setelah nyaris mati konyol di tangan dan taring beruang.

"Terus siapa yang nolong aku?" Hatinya gusar ketika menyadari satu-satunya hal logis yang ia pikirkan tidak ketemu.

"Nggak mungkin manusia biasa ada di jurang, nggak mungkin juga bisa terbang!"

Kekhawatiran dan ketakutan Elena berakar pada siapa yang menolongnya ketimbang sarang vampir yang telah membelenggunya diam-diam. Sambil menghela napas, ia berbalik setelah samar-samar Elena menyadari suara troli besi dengan setumpuk makanan manusia normal di dorong oleh pelayan.

Luther mengibaskan tangan sambil mengambil alih troli berisi sarapan pagi Elena.

"Pergi, dia urusanku!"

Vampir pelayan dengan usia yang lebih tua dari Luther menyeringai tidak senang. Dia mendengus setelah berbalik, meninggalkan sayap kiri kastil sambil menggerutu.

Kau menciptakan petaka besar bagi kekuasaanmu, Luther.

Elena menarik gagang pintu dengan ragu-ragu setelah ketukan pintu terdengar berkali-kali. Matanya mendongkak, dilihatnya Luther yang tak mempunyai sedikit ekspresi apapun dengan teliti.

"Kamu siapa?" tanya Elena hati-hati, dia bergerak dengan sikap waspada yang berlebihan. Mundur teratur sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan mata nyalang mencari tas ransel kecilnya.

Sial, dimana tasku. Pisau perak itu sangat berharga bagiku sekarang.

Luther menyeringai dalam benak.

Apa dia kira aku akan menyentuhnya?

Aku bahkan sudah memelukmu dan menjilati tubuhmu gadis muda!

Luther membuka tudung saji stainless dengan bentuk menyerupai kubah masih dengan tanpa ekspresi.

"Dimana tasku?" tanya Elena.

Perwujudan Luther menyerupai tokoh supranatural yang sering dikisahkan oleh Mark dan temannya yang menyukai dunia bawah tanah.

Muka pucat, tidak punya senyuman hangat, dan terlihat misterius. Apalagi rambut Luther menandakan bahwa ia mempunyai kekuasaan lebih untuk memanjangkan rambut tanpa perlu dimarahi orang tuanya. Ia merasa iri dan sungguh-sungguh Elena tak sanggup membayangkan dia sedang ada dimana, sama siapa, kenapa dia bisa berada di kastil yang berada di puncak pegunungan dalam keadaan benar-benar pulih!

"Harusnya aku yang bertanya kau siapa? Kenapa ada kamarku sekarang!" Senyuman sinis tercipta di bibir Luther. "Siapa kamu?" lanjutnya, ia tidak akan mengakui peristiwa berdarah yang di alami Elena sebagai upaya menjaga kesehatan mental gadis itu dan kewarasannya sendiri.

"Kamarmu?" sahut Elena setengah mati. "Bagaimana bisa aku di kamarmu, waktu itu aku hampir mati di makan beruang."

Luther memejamkan mata, sekeping dirinya yang telah hidup dua ratus tahun ternyata tak sungguh-sungguh membuatnya paham jika wanita slalu mempunyai akal sehat yang menyusahkan. Dia bersumpah dalam hati tidak akan menggunakan mantra pengendali pikiran untuk Elena tapi sekarang apa boleh buat.

Proses pengendali pikiran itu berjalan sangat lamban, Elena seperti mempunyai kemampuan sendiri untuk mengendalikan pikirannya yang kuat akan kehadiran Luther yang gelap dan mengancam.

Luther merasa gemas, alih-alih terus mengucapkan mantra dan memusatkan konsentrasi dalam hati dia menjatuhkan tudung saji ke lantai.

Elena tergeragap cepat. Jantungnya berdenyut keras. Perutnya terasa terpilin sementara lambungnya mulai bekerja dengan keras, dia bisa melihat menu masakan yang diberikan tuan rumah. Terlampau lezat bagi ia yang sudah lama tertidur pulas, entah berapa hari, Elena tidak tahu bahkan untuk bertanya pada makhluk di depannya Elena merasa enggan. Dia khawatir, semakin lama dia pingsannya semakin banyak sesuatu yang terjadi padanya. Elena mundur selangkah. Tatapan matanya tertuju pada sudut gelap mata Luther yang ungu. Mata yang indah.

Luther tersenyum dalam hati.

"Kau ditolong oleh kakek penyihir ke rumahku. Aku seorang tabib." kata Luther, melebur hening. Pikiran-pikirannya kacau, jungkir balik hanya karena kehadiran Elena. Darahnya dan sesuatu yang baru ia sadari, dia senang bermain-main dengan manusia itu.

"Kau bercanda? Tidak ada kakek penyihir di dunia ini!" sahut Elena galak. "Kau siapa, dimana aku?"

Luther melangkah, mendekat ke Elena dengan tatapan membunuh yang sulit ia enyah kan dari wajahnya.

Elena menyaut bantal, memasang sikap kuda-kuda yang malah membuat Luther kegirangan. Dia pikir aku takut?

"Aku..., bukankah seharusnya kau berterima kasih nyawamu masih ada di tubuhmu? Kenapa kau hanya berpikir keras kau dimana dan siapa aku? Tidak sopan sekali!" gerutu Luther.

Elena mendelikkan mata. Cengkeraman di bantalnya mengendur.

Benar juga. Apa aku tidak sopan?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Umine LulubagirAwi

Umine LulubagirAwi

Elena, lepas dri beruang lah kok mlah ktmu vmpir.
lbih bahaya ini.
hati2 elena. dia vampir. 🙈

2022-12-20

1

CebReT SeMeDi

CebReT SeMeDi

seneng godain Ell ya cob?

2022-11-28

0

CebReT SeMeDi

CebReT SeMeDi

astaga hidup ratusan tahun serem ya vampir Atut🤭

2022-11-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!