Episode 5

Pagi pertama di atas kapal.

Baru jam 4.30 pagi, langit masih terlihat gelap belum ada tanda-tanda sinar cahayanya matahari akan muncul karena cuaca terlihat mendung tak bersahabat.

Kapal Karel Ambo sudah semalam meninggalkan Kota Batavia. Entah di mana mereka, tapi yang pasti kapal itu tengah berada di tengah lautan lepas.

Walaupun ombak laut tenang tapi tidak banyak penumpang yang terlihat keluar dari kabin, mungkin banyak penumpang yang mengalami masalah mabuk laut. Sama seperti halnya Robert dan Robin, dua bocah laki-laki itu tengah terkapar di atas sofa panjang.

"Baskomnya, bi!" Robin berteriak panik, ia membekap mulutnya karena tak ingin muntahannya keluar dan jatuh di atas lantai.

Bi siti dengan terburu-buru segera meletakan baskom yang memang telah di sediakan para awak kapal untuk orang yang akan muntah. Dan ketika baskom sudah ada di depannya, Robin mulai mengeluarkan cairan kuning berlendir dari dalam mulutnya.

Sementara Robert, bocah berusia 14 tahun itu sedang tertidur lelap di atas sofa setelah tadi memuntahkan habis apa yang ada di perutnya.

Memang sejak kapal baru beberapa jam berlayar meninggalkan dermaga. Robin sudah mengeluh karena ia melihat benda di sekitarnya bergerak-gerak, namun ia tetap memaksakan diri bermain. Hingga akhirnya sekitar pukul 9 malam, ia muntah untuk pertama kali. Di susul Robert yang muntah sejam kemudian.

Ke dua kakak-adik itu lantas memilih beristirahat di atas sofa ruang tamu, namun mereka tak dapat tidur dengan benar karena terus saja muntah dari semalam

"Kakak akan ikut dengan pak jajan untuk sholat Subuh di mesjid kapal." Ucap Mei yang beru keluar dari kamarnya mengenakan mukena, "Robin tidurlah ok?" Mei mengusap kepala adiknya.

Robin tidak menjawab, ia masih berkutat dengan baskom do hadapannya.

"Tidak apa-apa nona, mereka hanya mabuk laut. Saya akan menjaga tuan muda." Bi Siti yang menjawab.

"Baiklah, sedikit lagi buat mereka agar mandi. Mungkin mandi akan membuat keduanya lebih segar."

"Tapi nona tas tuan Robin hilang." Ucap Bi situ menggelengkan kepalanya sambil mengoleskan minyak kayu putih pada leher tuannya.

"Tas apa?" Tanya Mei tak faham.

"Tas besar berisi semua pakaian tuan Robin tidak ada di tumpukan barang-barang milik kita." Jawab bi Siti.

"Hmm, belum tentu hilang. Mungkin saja tercecer dengan barang-barang dari kabin lain atau tertinggi di dermaga."

"Tidak nona, jajan sudah mencari semalam di antara peti kayu dan tas-tas lain. Tetap tidak di temukan, saya sedang memikirkan bagaimana Tuan Robin dapat berganti baju jika tak punya pakaian apapun." Bi Siti geleng-geleng kepala.

Wajah robin semakin tertekuk. Lengkap sudah kesialannya kali ini, sudah mabuk, tas pakaiannya juga hilang. Sejak awal ia memang sudah curiga dengan para buruh angkut bertubuh kurus kerempeng kemarin, "Bisa jadi mereka yang mengambil tasnya." Pikir Robin.

"Kalau begitu untuk sementara waktu Robin pakai dulu baju milik Robert." Mei menatap Robert meminta persetujuan, adiknya yang satunya lagi itu baru saja bangun dari tidurnya. "Dua hari lagi kapal ini akan tiba di Labuan Brunei Darussalam, kita bisa membeli pakaian di situ."

Mei kembali menatap Robert, adiknya itu mengangguk setuju. Walau kasihan, Mei sedikit bersyukur dengan mabuknya Robert.

Jika kondisi Robert lebih baik, bisa di pastikan ia tak akan mengizinkan Robin mengenakan pakaiannya, yang ada Robert malah akan menggoda adiknya soal tidak mengganti pakaian sampai mereka tiba di Korea.

"Kita juga belum bisa sarapan pagi ini nona." Bi Siti menyampaikan kabar lain.

"Memangnya peti kayu bahan makanan hilang juga?"

"Tidak nona, tapi saya mabuk dan mual jadi mungkin akan kesusahan membuat sarapan. Maafkan saya nona karena ikut-ikutan mabuk laut karena ini merupakan pertama kalinya saya naik kapal." Jawab bi ani sambil menundukkan kepala malu.

Mei terkekeh kecil, " Oh, kalau soal itu bukan masalah besar. Kita bisa sarapan di kantin bersama penumpang uang lain." Ucapan Mei terhenti karena panggilan jajan yang menyuruh nonanya itu untuk segera bergegas karena adzan Subuh hampir selesai.

Mei berdiri. Tak lupa mengelus kepala ke dua adiknya dengan lembut sebelum melangkah cepat ke luar pintu kabin. Pagi pertama ia sholat di atas laut.

.

.

.

Mesjid kapal terletak di lantai atas bagian kanan kapal, letaknya tak jauh dari Katedral yang berada di bagian kiri kapal. Perusahaan pemilik kapal ini sepertinya tau jika tempat ibadah harus di letakkan di posisi yang mudah di datangi dari berbagai arah kapal.

Ruangannya tak terlalu luas, mungkin hanya bisa menampung puluhan jamaah itu di lapisi karpet tipis berwarna hijau, terlihat bersih dan nyaman. Di depan pintu masuk serta di atas jendela-jendela terdapat lukisan kaligrafi.

Ruangan kecil ini lebih tepatnya di sebut Musholla dari pada Mesjid Tempat wudhu yang terbagi menjadi dua bagain antar laki-laki dan perempuan itu terletak di bagain luar Musholla.

Ada sekitar 10 kran air. Keran airnya berjalan pelan, terasa lengket dan asin. Besi pada keran juga banyak yang terlihat sudah berkarat, sepertinya jarang terurus.

Selain Mei, tidak banyak perempuan yang berada dalam Musholla untuk sholat Subuh pagi itu. Mungkin karena banyak yang sedang mengalami mabuk laut, namun mei tau jika alasan terbesarnya adalah tak banyak penganut islam dalam kapal besar itu.

Dari balik tirai tempatnya duduk, Mei melihat pria yang kemarin di marahi oleh Heiho sedang berdiskusi dengan sorang awak kapal.

Dengan serban putih di atas kepalanya, di saf depan dekat mimbar mesjid. Pria itu terlihat memegang sebuah kompas di tangannya, terlihat sangat tampan. Lalu seperti tersadarkan dengan apa yang ia pikirkan. Mei menampar pipinya pelan, menggelengkan kepalanya, membuang jauh-jauh pikiran tadi.

Sementara itu di bagian saf pria.

"Baiklah, sepertinya arah kiblatnya sudah di tentukan dengan benar." Saleh tersenyum senang menatap pada awak kapal yang ada di depannya.

Awak tersebut mengangguk, "Kapten Diego memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kapten meminta beberapa petugas kami untuk mempelajari tata cara menentukan arah kiblat."

"Setiap memasuki waktu sholat, ada petugas navigasi yang akan mengumumkan arah yang benar ke seluruh penumpang dari kabin masing-masing." Awak tersebut menjelaskan menggunakan bahasa Inggris, dari wajahnya jelas ia bukan orang Jepang.

"Terima kasih banyak, itu sangat membantu." Ucap Saleh seraya mengembalikan kompas ke tangan awak kapal itu.

Karena kapal adalah benda yang selalu bergerak, saat sholat di atas kapal harus terlebih dulu menentukan arah kiblat. Berminggu-minggu perjalanan menuju Korea, dengan arah kapal yang terus berubah, itu berarti arah kiblat juga akan terus berubah. Penting sekali memastikan arah kiblatnya sudah benar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!