Jack Karaeng atau Saleh tahu persis jika ia tidak akan mudah naik ke kapal itulah kenapa ia membiarkan yusuf naik duluan. Terakhir kali ia melakukan perjalanan naik kapal adalah 4 tahun lalu dari Sulawesi ke Semarang.
Dari sejak menetap di Batavia, menjadi pelopor pemuda anti penjajah, perhatian jepang di Batavia tertuju penuh padanya. Berkali-kali ia gagal naik kapal sebab tak mendapat izin jalan dari para tentara Jepang yang berjaga di pelabuhan.
Dan kali ini ia sangat ingin pergi ke Korea selatan menonton piala dunia yang sedang berlangsung, walaupun Indonesia tak lagi bermain semenjak Hindia belanda mengalami kekalahan pada perang Dunia ke II. Hingga salah satu kenalannya ada yang berhasil membujuk Nyonya Misaka agar memberikan izin khusus padanya.
"Surat ini saya dapatkan langsung dari pemimpin anda. Bagaimana bisa anda berkata jika surat tersebut palsu, bagaimana jika kita tanyakan langsung pada anaknya. Nona Mei jelas mengenali cap milik ibunya." Ucap saleh sambil menatap gadis cantik di hadapannya itu.
Setelah perempuan itu memanggil nama Pemimpin tentara Jepang itu, Saleh langsung tau jika tentara yang ada di hadapannya itu merupakan salah satu sersan mayor yang bertugas di benteng tak jauh dari alun-alun kota tempat ia biasa melakukan orasi.
Sekarang ia ingat betul jika Heiho adalah anak dari adik perempuan Nyonya Misaka. Karena hal itu Heiho sering kali membubarkan aksi orasi yang ia lakukan, namun selama ini ia tak pernah bertemu secara langsung dengan pria itu.
Dan jika benar dia adalah Heiho. Maka perempuan yang ia panggil Mei itu pasti adalah anak dari Misaka dan Felipe, dua pemimpin yang begitu tak ia sukai.
Melihat reaksi Heiho yang semakin menatapnya tak suka, Saleh tidak mengambil kesempatan. Secara cepat ia menyodorkan surat itu ke tangan Mei.
Heiho terlihat ingin menghentikan aksinya, namun terlambat. Surat itu kini sudah berada di tangan Mei.
Satu menit berlalu. Mei terlihat sudah tiga kali membaca surat itu, ia memastikan berulang-ulang. "Benar ini cap milik ibuku, kakak juga bukannya sudah hafal betul." Ucap Mei.
Saleh terkekeh melihat Heiho menghembuskan nafas.
"Baiklah kamu bisa naik kali ini." Heiho melampiaskan kekesalannya dengan membentak ke tiga tentara tadi untuk segera menurunkan senjata mereka.
"Terima kasih, watashi no yūjin." Ledek Saleh.
"Fuun," berhenti memanggilku watashi no yūjin! Aku tidak berteman dengan neitibu penuh hasutan sepertimu. Dan ingatlah, Jack. Aku akan terus mengawasi kamu dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu selama perjalanan."
.
.
.
Tepat pukul 7 ketika hari sudah gelap sempurna, kapal Karel Ambo memulai perjalanan.
Peluit berbunyi panjang, tanda kapal siap berangkat. Kapten Diego sebagai pemimpin sudah berdiri gagah di ruang kemudi. Para awak kapal nampak sibuk melepas kemudian mengangkat tali, menaikan tangga.
Saleh sudah bertemu dengan Yusuf, dua pria itu berdiri di dek terbuka bersaman puluhan penumpang lain melihat proses kapal meninggalkan pelabuhan.
"Kamu melambaikan tangan kepada siapa? Memangnya ada yang mengenalmu di sana?" Tanya Yusuf pada Saleh.
Saleh mengikuti kerumunan orang-orang yang sedang melambaikan tangan ke arah pengantar di dermaga yang melepas kepergian mereka.
"Kepada siapapun yang ada di bawah sana." Jawab Saleh enteng.
Yusuf hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban temannya itu.
Ada sekitar 200 lebih penumpang yang berangkat ke Korea Selatan tahun ini, jumlah yang dua kali lipat lebih banyak dari jumlah penumpang keberangkatan sebelumnya. Terdiri dari hampir 140 laki-laki sisanya para perempuan.
Dermaga lebih ramai di banding tadi sore. Selain sanak keluarga yang masih menunggu sekarang di tambah penduduk setempat yang ikut melepaskan kepergian kapal besar itu.
"Kecepatan penuh!" Kapten Diego berteriak lantang dari ruang kemudi. Wajahnya tersenyum lebar "Tunjukan semangatmu untuk yang terakhir kalinya kawan." Kapten Diego seolah-olah sedang berbicara dengan kapal besar yang ia kemudikan.
Awak kapal yang berada di ruang kemudi bergegas meneruskan perintah Kaptennya. Mereka semua semangat memulai perjalan panjang. Mesin kapal bekerja lebih cepat, baling-baling berputar kencang. Garis panjang gelembung air terlihat jelas di bawah. Asap hitam yang keluar dari cerobong semakin tebal. Haluan kapal menuju arah timur ke Pelabuhan Riau, dalam perjalanan tanpa henti dua hari dua malam.
Hampir seluruh isi kapal berbahagia. Termasuk Gunsō Heiho, yang meskipun selalu mendengus kesal setiap kali melihat Neitibu melintas di depannya. Sersan itu berdiri di dek khusus untuk para tentara jepang, ia menatap pelabuhan batavia yang sudah sedikit jauh.
Ada satu peleton pasukan pemerintah Jepang (Nippon) di atas kapal, dan Heiho adalah komandannya. Perjalanan ini menyenangkan baginya karena ia berkuasa penuh atas kapal, tidak ada yang bisa memerintahnya seperti di Batavia.
Surat penugasan dari Gubernur Jendral Felipe untuk mengawal Mai dan ke dua adiknya membuat Heiho merasa senang, karena selepas dari Korea selatan, kapal besar ini akan melanjutkan perjalanan ke Jepang. Sudah lama sekali ia tak pulang.
Heiho sudah bosan dengan iklim Batavia yang panas, makanannya, apalagi orang-orangnya.
"Kenapa kakak tidak membiarkan orang itu tidak naik kapal tadi?" Tanya mei yang baru datang bersama Robin dan Robert.
Heiho menoleh, "Dia bisa membahayakan seluruh perjalanan itulah alasannya." Jawab Heiho mulai kesal mengingat kejadian tadi.
"Tapi dia punya tiketnya, dan surat tadi jelas dari ibu jadi kakak tidak bisa menurunkan dia seenaknya." Mei masih tak mengerti.
"Aku bisa melakukannya. Aku adalah tentara jepang jadi aku bisa melakukan apapun di atas kapal ini, pria itu pasti sudah turun jika kamu tidak datang dan merusak rencanaku."
"Walaupun aku tidak membenarkan isi surat itupun. Kakak tidak dapat mengusirnya begitu saja, surat itu benar dari ibu. Bagaimana jika ia pergi ke mension dan melaporkan tindakan kakak tadi? masih banyak cukup waktu untuk dia menemui ibu, jarak antara pelabuhan dan mension tak terlalu jauh."
Heiho diam mendengarkan ucapan sepupunya itu. Karena kesal, ia sampai tak memikirkan hal itu tadi. Sekarang ia membenarkan apa yang di ucapkan mei. Tapi ia masih saja tak terima.
"Aku ingatkan kamu untuk tidak mendekati pria itu. Jangan tertipu dengan penampilannya, yang terlihat seperti pria terhormat. Pria itu sangat berbahaya. Dia bisa menghasut seluruh penumpang untuk mengambil alih kapal, melawan tentara jepang. Bahkan tak segan membunuh.."
"Iya-iya, aku tidak akan mendekati pria itu." Sela Mei cepat sebelum Heiho sempat menyelesaikan ucapannya. Mei melirik ke dua adiknya, ia masih tidak mengerti apa yang membuat kakaknya itu menjadi marah-marah.
Heiho menarik nafas panjang.
"Kamu mungkin tidak mengerti sebab selalu di lindungi oleh ayah dan ibumu. Saat masih pemerintahan ayahmu, Gowa memberontak. Ribuan serdadu belanda tewas karena hasutan seseorang yang bernama persis seperti pria itu." Jeda Heiho sambil menerawang
"Orang itu di buang ke Lombok tak lama setelah Jepang mengambil alih Indonesia, dia malah menghasut Sultan Agung Lombok agar berperang melawan jepang. Ribuan tentara jepang tewas di bantai Neitibu secara bengis. Dibuang lagi ke Brunei Darussalam, tapi tak berhenti masih terus saja menebar kebencian, hingga akhirnya di buang ke Afrika selatan. Tamatlah ia di sana."
"Jadi kamu mengerti sekarang betapa berbahayanya pria itu?" Heiho menatap Mei lekat, memastikan jawaban sepupunya itu.
Mei mengangguk, walau ia sendiri masih tak faham apa hubungan orang yang Heiho ceritakan dengan pria tadi? Apa karena memiliki nama yang sama jadi dia berbahaya?
Note:
Gunsō : Sersan
Watashi no yūjin : Seorang teman
Fuun : Sial
Neitibu : Penduduk pribumi.
1.Kapten Diego
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments