Beberapa bulan lalu Saleh mengadakan pertemuan antar pemuda di depan alun-alun kota Batavia, Sembilan kilo meter dari rumah dinas milik Gubernur Jenderal Batavia dan tentu saja istrinya yang merupakan pemimpin jepang.
Para pemuda dari kalangan awan sampai mahasiswa berseru lantang mendukung tiap kata yang ia ucapkan. Saat berdiri di hadapan massa suaranya terdengar tegas, lantang seperti ciri khas seorang Pemimpin .
Saleh pernah menempuh pendidikan di Universitas tinggi Sulawesi, pindah ke Semarang hingga terakir masuk Universitas Batavia. Dua kampus sebelumnya itu tak ada yang bisa menampungnya lama sebab ia selalu membuat onar dengan melawan pemerintah setempat.
Hingga akhirnya ia menetap di Batavia. Ia benar-benar merasa bebas sebab ternyata bukan cuman dia saja yang tak suka akan penjajah. Banyak pemuda seumuran dirinya yang juga secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka pada Belanda maupun Jepang.
Baru lima bulan ia di Batavia, namun ia sudah masuk dalam organisasi pemuda anti penjajah.
"Bos." Teriak seorang pria dengan mengenakan jas hitam dari seberang jalan.
"Bas-Bos, diam, kamu ingin membongkar identitasku." Ucap saleh pelan setelah pria itu mendekat.
"Tidak!." Jawab pria itu cepat, "Apa yang anda pikirkan sampai tak menyadari tak ada lagi orang di bawah sini. Lihatlah hanya ada satu-dua orang saja yang sedang terburu-buru naik kapal." Tanpa menunggu perintah dari Saleh si pria itu mengambil tas milik Saleh lalu melangkah riang menaiki tangga kapal.
"Ayo bos nanti anda terlambat." Teriak si pria yang telah berada di tengah tangga, ia memikul tas besar milik Saleh di pundaknya dengan berjalan hati-hati karena angin masih kencang.
Saleh yang berada tepat di bawah tangga sekali lagi menatap sekeliling, Kerumunan orang-orang memang yang tadi berdesakan sudah tak terlihat. Hanya tersisa satu-dua calon penumpang di dermaga itu seperti kata pria yang memanggilnya bos tadi.
"Can i have your ticket sir?" Salah satu awak bertanya sopan ketika Saleh menginjakkan kakinya di dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. Ada 3 awak kapal yang bertugas di meja dek, di tamba 4 orang tentara Jepang yang berdiri tak jauh di belakang para awak.
Saleh mengangguk, mengambil selembar tiket serta beberapa dokumen yang ia simpan di dalam suku jaket yang ia pakai.
"Tuan Jack." Awak membaca tiket menatap Saleh, "Jack saja atau Jack Karaeng? Di tiket hanya bertuliskan Jack sedangkan dokumen yang lain tertulis Jack Karaeng.
"Jack." Jawab awak yang memeriksa daftar nama terlebih dahulu, sebelum Saleh sempat menjawab pertanyaannya.
"Seorang diri?" Tanya awak itu sekali lagi memastikan, menatap pria yang sedang memikul tas. Pria itu tak terlihat seperti buruh angkut apalagi penumpang.
"Iya, aku seorang diri saja. Dia hanya membatu membawakan tas."
"Para pengantar hanya bisa sampai di sini, awak akan membantu membawa tas anda selanjutnya ke kabin. Baik, silahkan Tuan Jack. Semoga perjalanan anda menyenangkan." Awak mengembalikan tiket dan dokumen perjalanan kepada Saleh.
Pria itu menurunkan tas, memberi hormat pada Saleh dan mendapatkan balasan plototan serta kakinya do injak. Pria itu terkekeh, lantas berjalan menuruni tangga.
Salah satu awak hendak meraih tas itu, bersiap mengantar saleh ke kabin. Tapi gerakan tangannya berhenti karena salah satu tentara Jepang lebih dulu berseru tegas. Nampaknya ia adalah pemimpin ke empat tentara Jepang itu.
"Stop! Kami harus memeriksa tas itu."
Tiga orang awak di depan para tentara itu saling pandang. Memeriksa? Bukannya sudah lebih dari dua ratus penumpang yang naik dan tidak ada satupun dari mereka yang diperiksa? Lalu kenapa pria ini harus diperiksa?
Salah seorang tentara jepang maju ke depan, menarik tas tersebut kasar meletakkannya di atas meja.
"Eigyōchū." Pemimpin tentara jepang itu berseru untuk membuka tas.
"Aru no wa fuku to hon dake." Saleh berkata santai dalam bahasa jepang jika isi tas tersebut hanya beberapa pakaian dan buku-bukunya saja.
"Ini buku apa hah?" Pemimpin tentara Jepang itu mengangkat sebuah buku sambil bertanya kasar. Membuka sembarang halaman buku, yang terlihat pada buku itu penuh dengan tulisan l
Latin.
"Alkitab." Jawab Saleh singkat
"Penipu. mengaku saja jika kau membawa buku-buku penuh hasutan agar melawan pemerintah jepang." Pemimpin itu berteriak tak terima sambil menyodorkan buku tersebut 5 cm di hadapan wajah Saleh.
"Jika anda tidak dapat faham isinya, anda bisa tanyakan kepada mereka yang pasti faham betul isi buku itu." Jawab Saleh santai menunjuk para awak kapal yang ia tau pasti faham tiap kalimat dari Alkitab.
"Jangan berpura-pura lagi. Aku mengenal baik kau adalah Jack Karaeng. Kau berbahaya bagi pemerintah jepang, kau yang setiap waktu membuat orasi dengan menghasut para pemuda-pemudi pribumi untuk semakin melawan kami." Ucap tentara jepang itu dengan muka merah padam.
"Itu hanya mengadakan pertemuan antar pemuda bangsa, tidak lebih dan tidak kurang dari itu." Saleh masih tetap bersikap tenang meski komandan tentara Jepang di hadapannya itu tak henti-hentinya mengeluarkan kata kasar.
"Gunsō, tidak ada apa-apa di dalamnya." Bisik salah satu tentara jepang yang tadi memeriksa isi tas milik Saleh.
"Periksa sekali lagi! Dia pasti menyembunyikan sesuatu di dalamnya." Ucap Pemimpin tersebut tak terima. Ia bahkan menyuruh 2 tentara yang lain ikut memeriksa tas tersebut.
"Sebentar, Saya punya sesuatu yang kirinya bisa di terima olehmu Komandan." Saleh memasukan tangan ke saku jaketnya mencari-cari sesuatu di dalam sana. Ia lalu mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning.
"Ini surat izin resmi dari Nyonya Owada Misaka pemimpinmu di Batavia. Beliau mengizinkan saya untuk melakukan perjalanan ini. Silahkan anda baca, Gunsō."
Pemimpin jepang tersebut lantas mengambil kertas dari tangan Saleh. Wajah tentara jepang itu terlihat sekali sangat kesal. Ia melihat surat tersebut dengan seksama. Surat itu asli, dengan cap milik Owada Misaka terpampang jelas di bagian bawah lembar kertasm
Isi surat itu pendek, tentang memberikan izin kepada Saleh atau Jack untuk melakukan perjalanan menggunakan kapal yang sebentar lagi akan berangkat ke Korea Selatan itu. Isi surat itu di tujukan kepada petugas siapapun yang membaca surat agar memberikan perlindungan sebagaimana mestinya seperti kepada para penumpang lainnya.
"Sialan, aku tidak bisa menerimanya begitu saja." Batin pemimpin tersebut dengan muka merah padam ia menyuruh tiga rekannya mengangkat senjata.
"Surat ini palsu." Teriak pemimpin itu berbohong, secara kasar ia mengambilkan surat itu ke tangan Saleh.
Baru saja Saleh hendak protes tak terima. Suara seorang perempuan menghentikannya.
"Ada apa ini kak Heiho, Eh maksudku Gunsō"
"Apa yang kamu lakukan di sini Mei? Masuklah." Ucap Pemimpin tentara Jepang yang bernama Heiho itu. Ia cukup terkejut dengan kedatangan Mei. "Sedang apa sepupunya itu ada di sini, si Saleh bisa-bisa lolos jika Mei sampai membenarkan isi surat yang memiliki cap ibunya." Batin Heiho kesal.
Heiho
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments