Dalam diam aku coba uraikan apa pun yang menjadi beban kehidupan. Karena setiap waktu yang melaju meninggalkan bekas diingatan. Aku tak ingin menorehkan hina luka dan kecewa disetiap bekas tapak kakiku. Semampuku menghindari itu sebisaku melawan itu.
"Woy jangan ngelamun, nih ngopi dulu," ucap Fa'iq mengejutkanku.
Aku hanya menoleh dan tersenyum ringan.
Hari ini Fa'iq berangkat ke kantor lebih awal. Karena harus mengantarku terlebih dahulu. Berboncengan menggunakan motor matic, sesekali kita mengobrol.
"Bro, hari ini gaji turun ya?" tanyaku
"Iya bro harusnya hari ini kalo ga mundur," jawab Fa'iq.
"Ingetin duit lu yang kemarin gua pinjem ya," kataku meminta.
"Ntar aja lu pasti masih butuh, ortumu juga lagi disini kan?" saran Fa'iq.
"Ga bro tenang aja, In Shaa Allah cukup," jawabku.
Tidak lama akhirnya kita sampai dikontrakan, Fa'iq ikut masuk karena ingin bertemu orang tua ku.
"Tok tok tok, Assalamualaikum," salamku mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu membuka pintu.
"Kenalin Buk ini Fa'iq temen kantor," ucapku mengenalkan Fa'iq.
Aku pun izin mandi kemudian bersiap berangkat ke kantor. Tawa terdengar dari obrolan Fa'iq Ibu dan Bapak didepan.
"Obrolin apa nih sampe ketawa kenceng," tanyaku yang sudah rapih
"Bapa kira kamu semalem nginep ditemen cewek, ternyata kamu nginep dirumah Fa'iq yang udah beristri, Bapa cuma tanya Fa'iq semalem ada yang ngintip ga, takutnya yang masih jomblo ngiler hahahahaha," tutur Bapak membully sembari ketawa.
"Apaan sih Pa anak sendiri dibully, udah ah aku mau berangkat kerja," sahutku kesal sekaligus pamitan.
"Ga sarapan dulu?" tanya Ibu.
"Ga, udah sarapan di rumah Fa'iq," jawabku masih kesal.
"Yaudah hati-hati ya," kata Ibu sembari menahan tawa.
"Iya Assalamualaikum," jawabku.
"Waalaikumsalam," jawab Bapak dan Ibu yang masih menahan tawa.
Sepanjang perjalanan ke kantor Fa'iq hanya diam. Sesekali aku ajak berbincang Fa'iq pura-pura tidak mendengar.
Sesampainya dikantor "Bro lu kenapa? Lu tersinggung sama candaan bokap gua," tanyaku heran.
"Gua baru liat story Bu Gita, ternyata semalem lu boong ngomongnya dari rumah, taunya abis jalan sama Bu Gita," ujar Fa'iq.
"Emang Bu Gita bikin story apa?" tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Ga usah sok bego lah. Bu Gita pasang foto dikafe sama lu semalem. Gua cuma mau kasih tau bro, ada yang pernah ngomong ke gua Bu Gita tuh bahaya dan dia juga atasan lu. Kalo sampe kenapa-kenapa ntar karir lu yang kena," ucap Fa'iq menasehati.
"Iya bro gua juga paham kok," jawabku teringat kejadian semalem.
Selepas itu perasaanku selalu tidak nyaman. Kerja pun tidak bisa fokus. Mungkin aku salah dalam bertingkah, atau memang pertanda ujian akan datang. Dengan segenap iman aku coba lepaskan perasan-perasaan tak nyaman. Mencoba berfikir positif dengan apa yang sedang dan akan aku jalani kedepan.
"Bro Bu Gita izin ga masuk kerja tuh digroup. Lu apain dia semalem hayo?" canda Fa'iq membuyarkan fokusku yang baru saja terbentuk.
"Apaan sih cuma ngafe doang kok," jawabku gugup.
"Hahahaha," tawa Fa'iq yang beranjak dari tempat duduknya.
Aku yang masih belum tenang akhirnya memberanikan diri mengirim pesan whatshapp ke Bu Gita.
[ Selamat pagi Bu apa kabar? ] tanyaku basa-basi. Tetapi pesanku hanya dibaca saja tidak dibalas.
Aku coba tanya lagi [ Ibu marah sama saya? ] tanyaku.
Namun lagi-lagi Bu Gita hanya membaca pesanku tanpa membalas.
Tak terasa waktu berjalan cepat. Jam di hp menunjukan pukul 16.13 waktunya pulang kerja. Karena malam ini Ibu dan Bapak pulang ke Malang, aku memutuskan mampir ke toko untuk membeli oleh-oleh. Sesampainya dikontrakan ternyata Ibu dan Bapak sudah siap-siap.
"Kereta Ibuk berangkat jam 20.10, tapi kok udah siap dari sekarang? Ibuk Bapa ga betah ya pengen cepet-cepet pulang?" tuturku protes sedih.
"Ga gitu dong. Kalo udah siap dari sekarang kan tinggal sholat magrib, sholat isya terus berangkat," jawab Bapak.
"Malah Ibu pengen lama disini biar bisa beresin kontrakanmu," imbuh Ibu mencairkan suasana.
"Yaudah Pa, Buk makan bareng dulu aku udah beli," ucapku mengajak.
Suasana makan bersama seperti ini yang akan selalu ku rindukan. Kalau ada pilihan lain, aku pilih hidup dikampung agar bisa bersanding terus dengan orang tua. Kenyataannya tuntutan kebutuhan dan jalan rezeki membawaku ke ibu kota.
Pukul 19.45, aku Bapak dan Ibu sudah sampai distasiun kota. Sbagian uang yang aku sisikan Ibu terima dengan haru. Andaikan Ibu Bapak tahu yang aku rasakan sekarang. "Aku masih belum bisa menjadi anak yang bisa diandalkan, belum sanggup membahagiakan orang tua," gumamku dalam hati. Kareta pun perlahan jalan, aku melepas kepulangan Bapak dan Ibu dengan haru.
Sesampainya dikontrakan aku rebahkan tubuh diperbaringan kamar. Hati yang terenyuh akan kegagalan yang sedang aku rasakan. "Harusnya diusiaku aku sudah mapan, sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga dikampung. Harusnya seusiaku sudah berkeluarga sudah menjadi kepala rumah tangga," gumamku diperbaringan. "Sabar ya sayang. Mungkin semua ini hanyalah ujian yang diujung nanti kamu akan temukan kebahagiaan," ucap Via mengelus rambutku. "Aku masih belum bisa seperti orang-orang lain," tuturku kesal pada diri sendiri. "Sabar, semua orang berbeda-beda. Kamu tidak memiliki yang orang lain miliki. Begitu pun sebaliknya, belum tentu orang lain juga memiliki apa yang dimiliki," tutur Via menenangkan. "Seandainya aku hanya hidup diduniamu. Seandainya tak pernah ada duniaku. Seandainya tiada aku," keluhku. "Jangan bicara seperti itu, aku ada karena duniamu nyata. Cintamu yang nyata membuatku hidup selamanya," ucap Via. "Bagaimana pun Tuhan ada. Tuhan menciptakanku tentu bukan tanpa alasan. Aku yang terpuruk dititik ini tak harus meratapi. Aku hanya perlu bangun dan berpindah, lalu menepis debu dari bekas jatuhku," ucapku memotivasi diri. "Sangat setujuh, dan ingat sayangku kamu bisa karena itu berjuanglah hingga terlihat hasilnya," imbuh Via memberi semangat. Aku terhanyut diduniamu Via dan tak ingin beranjak selamanya.
Seakan panjang malam ini hingga pagi tak kunjung ku jumpai. Terjaga hingga kini berkubang dengan angan yang membawaku membumbung tinggi. Aku membuang waktu istirahatku. Aku memforsi otakku untuk terbang dan menjelajahi angan. Hanya untuk mendapatkan yang tidak pernah ku dapatkan di kenyataan.
Aku serah sertakan hidupku mimpiku cita-citaku pada garis takdir yang menyeretku ke titik ini. Dan akan terus aku ikuti hingga akhir aku tak sanggup lagi berdiri. Tanpa sedikitpun melawan atau sekedar mengacungkan tangan untuk intrupsi. Setulus hati ku pasrahkan segalanya. Agar aku mengerti bahwasanya semua sudah seperti semestinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments