Merubah dari yang Termudah

"Kring kring!" hp ku berdering panggilan dari Ibu.

"Halo, Assamualaikum Buk," salamku setelah angkat telpon.

"Waalaikumsalam. Sudah pulang? Sibuk tidak?" Tanya Ibu.

"Sudah Buk. Ga sibuk koq Buk. Ibuk Bapak dan Adek apa kabar dikampung?" tanyaku memulai obrolan.

"Alhamdulillah sehat semua nak. Kamu juga harus jaga kesehatan dan jangan tinggalin sholat," jawab Ibu sembari menasehati.

"Nak, dengerin Ibuk cerita. Sebenernya Ibuk mau minta tolong sama kamu. Adekmu minggu depan ada acara study tour. Kebetulan Bapamu belum ada rejeki. Kamu bisa bantu adekmu nak?" pinta Ibu haru.

"Memangnya buat biaya study tour Adek berapa Bu?" tanyaku.

"1.5 juta, udah sama uang saku katanya," jawab Ibu.

"Yaudah Buk nanti aku transfer kalo udah ada rezeki," jawabku mencoba memberi solusi.

Seringkali kehidupan menamparku dengan keras. Tak memberi pilihan cenderung menyudutkan. Aku yang berada dalam ruang sempit semakin terhimpit. Nafasku sesak suaraku memekik seakan terus tercekik. Air mata mengalir deras ditanah yang jauh dari bekas tanah kelahiranku. Aku yang sendirian menahan kesepian dan kebosanan hidup dituntut untuk tetap lanjut. Dengan dera derita yang sudah lama menelan asa. Mengesampingkan semua yang aku rasa. Lantas sekuat apa aku sebenarnya? Seakan sekarat namun tak kunjung tamat. Wahai yang Maha Hidup. Hidupkanlah hidupku dengan kehidupan yang benar-benar hidup. Sehingga tak hanya bangkai yang berjalan ini yang ku rasa. Sehingga tak hanya angan bertempatnya bahagia. Bisakah ku ubah dengan nama-Mu?

Aku habiskan malam ini dengan gundah dihati. "Yang sabar ya," tegur Via menguatkan. "Iya sayang, terimakasih," jawabku.

Semua yang berjalan sudah pasti akan berlalu. Dewasa ini banyak mengajarkanku. Aku berharap masa mendatang lebih memihakku. Hingga luka duka derita nestapa segan berdekatan denganku. Esok atau lusa pasti berubah.

"Selamat pagi Bu!" sapaku melewati Ibu kost.

"Kok tumben sudah bangun sepagi ini?" jawab Ibu kost keheranan.

"Iya Bu lagi kebangun aja," timpalku berlalu.

Jam 06.30 aku berjalan ke kantor. Karena berangkat lebih pagi aku memutuskan untuk tidak naik angkot. Kebetulan hanya butuh waktu 20 menit kalau jalan kaki. Sekalian olahraga. Sesampainya dikantor aku langsung ke kantin karena perut keroncongan. Selain itu, rekan-rekan kerja juga belum berangkat. "Tiktuk!" pesan wa masuk dihp. Seperti biasa Ibu selalu mengingatkan buat sarapan sebelum mulai kerja, dan baru sekarang aku jawab.

"Iya Bu siap," dan aku beneran sarapan. Sepele namun sangat terasa dihati. Sebelumnya setiap Ibu mengingatkan makan aku selalu jawab "Iya siap Buk," tetapi tak pernah benar-benar makan.

"Hans!" panggil Fa'iq yang baru berangkat kerja.

"Woy sini gabung sarapan!" sahutku menawarkan.

"Bu Gita kemarin pas pulang nanyain lu, gua jawab udah pulang duluan," tutur Fa'iq memberitahu.

"Waduh kenapa ya?" tanyaku penasaran.

"Ga tau. Coba lu samperin aja!" imbuh Fa'iq yang baru mulai sarapan.

Tidak seperti biasanya rutinitas sekarang coba aku lakukan dengan segenap hati. Melakukan apa pun dengan perasaan senang dan pikiran yang positif.

"Bu Gita apa kabar?" tanyaku berpapasan didepan ruangan.

"Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?" jawab Bu menimpali.

"Alhamdulillah baik juga Bu. Oh ya kata Fa'iq kemarin Ibu nanyain saya?" tanyaku.

"Iya kemarin sebenernya mau minta tolong, temenin ke toko elektronik mau beli TV," jawab Bu Gita menerangkan.

"Oh gitu ya Bu. Terus sudah beli TV belum Bu?" sahutku.

"Belum. Tapi nanti aja soalnya pekan ini banyak banget pekerjaan," jawab Bu Gita sembari masuk ke ruangan.

"Baik Bu," imbuhku menyudahi obrolan.

Aku pun kembali ke ruangan kerjaku. Disana aku melihat Fa'iq sedang fokus menatap layar laptopnya.

"Fa'iq, lu ada tabungan ga?" bisikku lirih. Karena meja kerjaku dan Fa'iq bersebelahan, kita sering berbincang.

"Ada bro, kenapa emang?" jawab Fa'iq.

"Gua pake dulu boleh ga? 1.5 juta, buat adek gua katanya ada acara study tour disekolahnya," pintaku menerangkan.

"Boleh bro pake aja, ntar sore gue transfer, tapi gajian balikin ya?" jawab Fa'iq.

"Siap bro. Thanks ya," jawabku singkat.

Memang benar jika niat kita baik Tuhan akan memudahkan. Dari titik ini aku akan merubah semua yang perlu dirubah. Selama ini sudah cukup untuk kebosanan dan kesepian menawanku, membayangi langkahku, menyita banyak waktuku. Aku menanti saat ini, dimana kesadaran mendominasi hari-hariku. Tak hanya khayalan diangan yang selalu kudapati.

"Hans!" panggil Bu Gita diloby kantor setelah melihatku keluar kantor.

"Iya Bu," sahutku menghampiri.

"Kamu mau kemana?" tanya Bu Gita.

"Saya mau ke proyek Bu mau nawarin pompa hydrant," jawabku menjelaskan.

"Udah janjian sama orang atau cuma mau nengok?" tanya Bu Gita memperjelas.

"Baru nengok Bu soalnya minggu lalu saya kesana belum ketemu penanggung jawab proyeknya," jawabku memberi pengertian.

"Kalo bisa ditunda dulu anter saya ke toko elektronik. Kebetulan meeting sama pak Dirut dibatalin. Saya free sampai jam pulang kerja," tutur Bu Gita meminta.

"Bisa aja Bu. Yaudah ayuk saya antar Bu," jawabku menyanggupi.

Akhirnya aku ikut Bu Gita, kita ke toko elektronik menggunakan mobil Bu Gita.

"Cape kamu kalo keproyek pakai motor operasional?" tanya Bu Gita memulai obrolan sambil menyetir.

"Kadang cape Bu. Tapi demi nafkah harus dikesampingkan perasaan cape itu," jawabku.

"Nafkahin istri ya? Ehh kamu belum nikah ding," ledek Bu Gita mencairkan suasana.

"Pacar tinggal dimana?" imbuh Bu Gita.

"Ada Bu namanya Via tinggalnya dihatiku" jawabku menghilangkan canggung.

"Ooh," jawab Bu Gita singkat.

Seketika hening. Aku pun tak berani memulai percakaan lagi. Beberapa saat kemudian kita sampe ditempat tujuan. Setelah Bu Gita membeli TV, Bu Gita mengantarku pulang, karena perjalanan pulang dari toko ke kantor melewati gang kontrakanku.

Sesampainya dikontrakan tak seperti biasanya. Sebelum aku mendengar ocehan baju-baju kotor dan piring gelas sendok kotor, satu persatu aku kerjakan semua tugas-tugas rumah. "Tiktuk!" pesan wa masuk dari Fa'iq mengabarkan transferan uang sudah dikirim, dengan senang aku membalas pesan dari Fa'iq

[ Thanks bro the best lah ].

"Tuut tuut tuut!" bunyi dering panggilanku ke Ibu.

"Assalamualikum Buk," salamku setelah telpon Ibu angkat.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu.

"Buk, Hans udah transfer buat adek ya, doain Bu mudah-mudahan rezeki Hans lancar," tuturku meminta doa Ibu.

"Alhamdulillah terimakasih Nak. Aamiin. Ibuk selalu doain kamu nak," jawab Ibu.

"Yaudah Ibuk Bapa Adek sehat-sehat dikampung, Hans mau nerusin ngepel dulu Bu" ucapku pamit.

"Iya nak kamu juga yang sehat-sehat dan jangan tinggalin sholat," nasihat Ibu.

"Siap Buk. Assalamualaikum," salamku akhiri telpon.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu.

"Calon suami idaman," ucap Via memelukku yang sedang mengepel lantai. "Yang terberat dari semuanya adalah ketika semuanya itu hanya diniatan dan ucapan tanpa adanya tindakan. Seperti halnya lantai ini, sudah dari minggu lalu aku berniat membersihkan lantai karena aku liat ada noda. Keesokan harinya aku berucap untuk membersihkannya. Hari berikutnya tetap sama hanya niat dan ucapan. Sampai dengan hari ini, ketika pagi tadi aku memulai untuk merubah dari yang termudah, yang harus aku lakukan hanya bertindak," tuturku menceritakan. "Seandainya kebersamaan kita harus kamu ubah, apakah akan kamu lakukan?" tanya Via memojokan. "Jangan tanyakan itu!" jawabku termenung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!