Di kantor polisi...
Arshila duduk dengan air mata yang bercucuran. Di depannya, seorang polisi duduk dengan sebuah layar komputer diatas meja.
"Saudari, Arshila. Kami butuh pengakuan, Apa benar Anda telah menabrak saudari Clarissa Santara pada hari xx tanggal xx jam xx.xx?"
Arshila menggeleng, sambil terisak.
"Tolong, Anda jangan berpura-pura lagi. Sudah ada saksi yang mengatakan Anda pelakunya."
Polisi itu menghela napas.
"Pak, saya tidak mengerti, apa yang Bapak bicarakan. Saya tidak mengenal Nona Clarissa, dan pada hari itu saya sedang di rumah sakit."
Arshila menjawab dengan tangisan yang belum reda.
"Kenapa Anda berada di rumah sakit?"
"Saya mengalami kontraksi, Pak. Tolong, percaya kepada saya."
Polisi itu, mengangguk. Lalu, keluar meninggalkan Arshila disebuah ruangan tertutup.
"Pak, di depan ada suami tersangka, ingin bertemu dengan istrinya dan juga perwakilan keluarga Alehandra."
"Aku akan menemuinya."
Dimas dibuat gugup, dengan kedatangan sekretaris Tian. Bahkan tatapan yang diberikan kepadanya, seperti penuh dengan kecurigaan.
"Pak, Dimas."
"Iya, Pak sektetaris."
"Sebenarnya, aku masih meragukan kesaksian ibumu. Bagaimana denganmu? Apa kalian memiliki cerita yang sama?"
Glek!
Jantung Dimas, berdegup kencang, telapak tangannya terasa dingin. Perkataan ibunya, terngiang dalam ingatan.
"Jika kamu yang berada di sana bukan istrimu, mereka mungkin akan langsung membunuhmu."
"Pak, sekretaris. Apa bisa Bapak melepaskan istri saya? Dia sedang hamil."
Tian tersenyum miring, menepuk bahu Dimas sebelum pergi.
"Pak Dimas."
Polisi yang menginterogasi Arshila berjalan menghampiri.
"Pak, bisa saya menemui istri saya?"
"Silahkan, saya akan memberi waktu. Tapi, sebelum itu, saya ingin bertanya, apa Bapak sudah menyiapkan pengacara untuk mendampingi istri Anda?"
"Belum, Pak. Saya akan mengusahakan besok."
"Baiklah, sekarang ikut saya."
Di sebuah ruangan yang tertutup, Arshila duduk dengan mendaratkan kepalanya diatas meja. Masih terdengar, isak tangisnya.
"Shila."
"Mas, hiks ... Hiks ...."
Arshila bangkit, memeluk suaminya dengan erat, menenggelamkan kepalanya di bahu Dimas.
"Mas, keluarkan aku dari sini. Aku benar-benar takut. Aku tidak mengerti, kenapa mereka menangkapku."
"Kita duduk, dulu."
Dimas menggengam tangan istrinya, di atas meja.
"Aku akan mencari pengacara untuk mendampingimu. Sebelum itu, tolong dengarkan aku." Dimas menarik napas, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. "Kamu cukup mengatakan kepada mereka, kalau kamu tidak sengaja melakukannya. Kamu sedang mengalami kontraksi, saat menuju rumah sakit."
"Apa maksudmu?"Arshila menautkan alisnya. "Mas, aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Kenapa aku harus mengatakan hal itu?"
"Shila, tolong aku sekali saja. Ini demi keselamatan keluarga kita. Mas, minta maaf karena meminta hal ini padamu."
Dimas memohon dengan semakin menggenggam kuat tangan istrinya.
"Mas, tolong bicara jujur. Kenapa aku harus mengakui perbuatan yang sama sekali tidak aku lakukan. Apa jangan-jangan .... " Arshila menutup mulutnya, beriringan dengan air matanya yang jatuh menetes.
"Maafkan, aku. Aku benar-benar minta maaf."
Arshila menarik tangannya, menghapus air mata yang membasahi wajah.
"Tinggalkan aku, Mas."
"Shila ..."
"Pergi, aku bilang pergi!" teriaknya dengan suara yang parau.
Dimas akhirnya berjalan pergi, menoleh kebelakang menatap istrinya yang semakin tenggelam dalam tangisannya.
Maafkan, aku karena menjadi pengecut.
Setelah, kepergian Dimas, giliran sekretaris Tian yang menemui Arshila bersama tiga orang pengacara. Tian memilih berdiri di dekat pintu, menatap punggung wanita itu.
"Kami mewakili keluarga korban, untuk menemui Anda. Kami berharap, Anda mau bekerja sama, agar kasus ini segera terselesaikan dengan cepat."
"Tuan." Arshila menghapus air matanya. "Tolong, tinggalkan saya sendiri. Saya, hiks ... hiks..." Kembali menangis, membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Tiga orang pengacara, menatap sekretaris Tian yang menganggukkan kepala.
"Baiklah, kami akan kembali. Jika, Anda sudah merasa lebih baik."
Ketiganya pun, keluar. Sekretaris Tian, tampak menatap Arshila sebelum melangkah pergi.
Di dalam kesendiriannya, Arshila menangis sepuas-puasnya. Sakit hati dan kecewa, bercampur menjadi satu. Ia mengelus perutnya yang semakin membuncit.
"Apa yang harus ibu lakukan, sayang?"
Esok harinya,
Dimas kembali mengunjungi istrinya, bersama dengan seorang pengacara.
"Nona Arshila, saya menyarankan agar Anda mengaku dan menceritakan kondisi Anda yang mengalami kontraksi tiba-tiba," ujar pengacara Dimas.
Arshila membisu, membuang pandangannya.
"Pak, tolong tinggalkan kami sebentar," ujar Dimas.
Pengacara itu mengangguk, lalu melangkah pergi. Dimas meraih tangan istrinya.
"Sayang, tolong maafkan aku. Aku terpaksa melakukannya demi ibu, yang sudah terlanjur berkata seperti itu. Tolong, maafkan aku, karena begitu lemah."
Arshila masih membisu, air matanya kembali jatuh, mendengar kenyataan yang harus ia terima.
"Mas janji akan menunggumu keluar dan merawat anak kita dengan baik."
Arshila mengangkat wajahnya.
"Kenapa Mas begitu tega? Aku sedang mengandung anakmu. Kenapa bisa kamu mengirimku ke penjara? Jika memang ibu tidak menyukaiku, kenapa tidak menceraikanku saja? Apa hidup kalian lebih berarti?"
"Shila, maafkan aku. Maaf, karena tidak bisa memilihmu. Semuanya demi kebaikan kita. Jika aku yang di penjara, Mas tidak bisa mendapatkan pekerjaan lagi untuk menghidupi keluargaku."
"Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan hidupku? Apa Mas tidak memikirkannya?"
"Maaf."
Dimas tertunduk, kata 'maaf' sepertinya tidak akan mampu meredakan kekecewaan sang istri.
"Aku membencimu! Aku membencimu, Mas. Aku membenci kalian semua."
Arshila berteriak dengan histeris.
"Shila, tenangkan dirimu."
Dimas bangkit memeluk istrinya yang mulai memberontak menolak pelukannya.
"Maafkan, aku. Mas benar-benar minta maaf."
"Hiks ... hiks .... Aku membencimu. Aku tidak akan memaafkanmu. Jangan temui, aku lagi."
"Shila, dengarkan aku."
"Pergi ... Pergi ....," teriaknya lagi dengan histeris, bahkan memukul-mukul dada suaminya.
Dimas terpaksa pergi, setelah polisi mengeluarkannya dari ruangan. Ia berjalan dengan gontai, sampai tidak menyadari keberadaan Sekretaris Tian yang memperhatikannya.
Tiga orang pengacara bersama sekretaris Tian, kembali menemui Arshila. Seperti biasa, Tian kembali berdiri dibelakang wanita itu.
"Bagaimana keadaan Anda?"
Arshila hanya membisu, memijit kepalanya yang terasa pusing. Sudah dua hari, ia tidak tidur dengan lelap, ia hanya terus menangis. Bahkan, sampai lupa makan.
"Nona, Anda baik-baik saja? Anda tampak pucat."
Tiga pengacara itu, tampak khawatir. Wajah wanita, didepan mereka begitu pucat.
"Saya baik-baik saja, Tuan."
Arshila masih memijit kepalamya yng semakin pusing dan pandangannya seperti berputar. Sedetik kemudian, pandangannya menjadi gelap.
BRUKK,
Untung saja sekretaris Tian menangkap tubuhnya, yang hampir jatuh diatas lantai.
"Panggil, petugas."
"Baik, Tuan."
Dokter yang bekerja di klinik kepolisian, segera melakukan penanganan.
"Kita harus merujuknya ke rumah sakit, kondisinya, kritis."
"Baik, siapkan ambulans."
Sekretaris Tian, menatap mobil ambulans yang membawa Arshila ke rumah sakit terdekat. Ia mengambil ponselnya menghubungi seseorang.
"Dia jatuh pingsan, sekarang dalam perjalanan ke rumah sakit."
"Aku tidak peduli. Pastikan dia, mendapatkan hukuman yang berat."
"Baik, Tuan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Sweet Girl
Kasihan kamu Arshila... semoga Otor menyiapkan balasan yg setimpal buat suami dan mertua mu.
2025-02-19
0