Perjalanan pulang, Dimas melajukan motornya menuju bengkel. Ia memperbaiki mobilnya yang tergores dan sedikit penyok.
“Bagaimana?” Dimas bertanya pada seorang montir bengkel yang menjadi langganannya.
“Sudah selesai, lagi pula hanya goresan beberapa inci saja. Memangnya, kamu habis menabrak apa?”
“Bukan aku, istriku yang melakukannya. Katanya, dia menabrak kucing.”
“Aku pikir istrimu hanya bisa mengendarai motor saja. Sebaiknya, jangan biarkan dia mengemudi, kalau belum mahir.”
Dimas hanya mengangguk.
“Aku akan mengambilnya besok.”
Dimas kembali berkendara, menuju rumah. Dari jauh, tampak istrinya tengah menyapu halaman dengan perutnya yang semakin membuncit. Dimas memarkir motor, Menyalami ibunya yang duduk di teras rumah seperti sedang mengawasi pekerjaan menantunya.
“Bagaimana pekerjaan kamu, Nak?”
“Baik, Bu. Hanya saja, Dimas lelah dan banyak pikiran.”
Arshila melangkah mendekati suaminya dengan ganggang sapu lidi masih di tangannya.
“Mas, aku ingin membicarakan sesuatu.”
“Kamu tidak dengar, suami kamu sedang lelah. Kamu siapkan makan sana,” bentak mertuanya.
Arshila memandang suaminya yang hanya membisu, lalu berjalan masuk setelah meletakkan sapu lidi dipojok rumah.
Di dapur, Arshila mulai menyiapkan makan malam, dengan menahan tangisnya. Untuk kesekian kalinya, air matanya jatuh karena ulah mertuanya. Yang lebih menyakitkan lagi, sikap Dimas sebagai seorang suami yang
hanya diam, membiarkan ibunya bertindak semena-semena.
“Sudah siap?” Ibu mendekat, melihat panci diatas kompor yang masih beruap.
“Sedikit lagi, Bu.”
“Setelah ini, kamu menyetrika. Pakaian ipar-ipar kamu, sudah menumpuk,” perintahnya, lalu pergi.
Di ruang TV, ibu duduk menyesap teh ditemani Dimas yang berbaring diatas karpet. Dari layar TV, tampak sekretaris Tian, melakukan konferensi pers. Ibu langsung meletakkan gelasnya, saat mendengar hadiah 1 miliar.
“Dimas, kamu lihat itu, hanya untuk menemukan saksi, mereka memberikan satu miliar.”
Dimas hanya terdiam, sorot matanya masih menatap layar TV, tapi pikirannya berkeliaran tak tentu. Sesekali ia menarik napas, lalu
memejamkan matanya. Dari arah, dapur Arshila mendekat.
“Sudah siap, Mas.”
Dimas membuka mata, menatap istrinya yang berdiri menunggu. Bangkit perlahan, menuju arah kamar.
“Ikut aku.”
Arshila berjalan menyusul, diikuti lirikan mata sang mertua, yang ingin serba tahu urusan rumah tangga anaknya.
“Kamu mau membicarakan, apa?” Dimas meraih tangan istrinya, menariknya duduk di tepi ranjang.
“Mas, apa boleh kita ngontrak rumah saja?”
Dimas tahu kegundahan istrinya, yang memilih untuk hidup mandiri. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ingin melawan ibunya.
“Shila, bertahanlah sedikit lagi. Kita akan hidup mandiri, setelah kamu melahirkan. Mas, tidak mungkin membiarkanmu seorang diri di
kontakkan. Di sini paling tidak, ada ibu dan adik-adik Mas yang menemanimu.”
BRAK, pintu terbanting dengan keras
“Jadi, kamu yang membuat Dimas durhaka pada ibunya. Meninggalkan kami sendiri dan menikmati gaji putraku, seolah kamu yang
membanting tulang untuk menyekolahkannya.”
“Ibu, Arshilla tidak bermaksud seperti itu.”
“Diam kamu. Ibu yang banting tulang bekerja, untuk membuatmu memiliki ijazah dengan pendidikan tinggi. Dan sekarang, wanita sialan ini memintamu meninggalkan rumah.”
“Ibu, dengarkan Dimas. Shila tidak ....”
“Cukup,” Ibu memotong ucapan Dimas. “Jika kamu meninggalkan rumah mengikuti wanita ini, kamu bukan anak ibu.”
Arshilla menagis dengan pilu, hinaan yang sudah sering menyakiti hatinya. Selama pernikahan, Arshila tidak pernah menikmati gaji suaminya, karena ibu mertuanya yang mengambil alih. Untuk keperluannya, ia
harus bersusah payah mengemis kepada ibu mertuanya, yang menghina terlebih dahulu sebelum memberikan uang.
“Maaf, maafkan Ibu, Shila. Ibu hanya tidak ingin, kita pergi meninggalkannya seorang diri.”
Arshila tidak menjawab, selalu seperti ini. Dimas akan akan meminta maaf atas nama ibunya dan meminta untuk terus bersabar.
Dimas pergi, meninggalkan istrinya yang masih menangis. Hampir setengah jam, Dimas kembali membawa sepiring makanan.
“Makanlah, anak kita pasti kelaparan.”
Arshila meraih piring itu, makan dengan wajah yang sembab dan hidung yang memerah. Dimas bersandar di tepi ranjang, memainkan ponsel sambil menunggu istrinya menghabiskan makanannya. Dimas membuka grup obrolan di perusahaan, semuanya sibuk menduga-duga tentang pelaku penabrakan tunangan presdir mereka.
“Apa mungkin dia sudah kabur, setelah melihat berita?”
“Tidak menurutku, dia sedang bersembunyi.”
“Bagaimana jika pelakunya seorang wanita hamil. Apa menurut kalian, Presdir akan memaafkannya?”
Dimas tertegun, menatap istrinya. Lalu kembali membuang pandangannya.
Tidak. Bagaimana mungkin aku berpikir seperti itu?
Dimas kembali menatap layar ponsel, membaca obrolan di perusahaan.
“Bayangkan jika mempunyai 1 miliar? Wow, aku akan berfoya-foya.”
“Kalau aku, akan membeli rumah baru dan mobil baru.”
“Kalian terlalu berangan, aku sedang memikirkan nasib pelaku yang mungkin akan hidup dengan derita yang bertubi-tubi.”
“Dia pantas mendapatkannya. Tapi, aku akan mengasihani keluarganya yang akan terkena imbasnya.”
Dimas langsung meletakkan ponsel,
kepalanya semakin pusing dengan permasalahannya, belum lagi istri dan ibunya.
Aku harus bagaimana, sekarang? Bagaimana dengan keluargaku?
Arshila yang sudah menghabiskan makanannya, menatap Dimas yang membisu. Tak ingin mengganggu, Arshila keluar kamar membawa pring kosongnya di dapur.
“Bagus, ya! Kau sudah seperti Tuan Putri, dilayani dengan membawakan makan di dalam kamar.”
Arshila disambut dengan omelan mertuanya dan tatapan tidak suka dari dua iparnya. Tak lama, Dimas keluar kamar, setelah mendengar suara ibunya.
“Bu, sudahlah. Ini sudah malam.”
“Kamu selalu membelanya, itulah kenapa ibu tidak pernah menyukainya. Kamu seharusnya, menikah dengan wanita yang memiliki ijazah sepertimu, tidak sepertinya yang hanya tinggal didalam rumah dan menambah beban keluarga kita.”
“Ibu.” Dimas kini meninggikan suaranya.
“Kamu membentak ibu? Lihat sekarang, kamu pun sudah berubah melawan ibumu sendiri.”
Ibu pergi bersama anak-anaknya, meninggalkan Arshila yang berderai air mata. Dimas menyusul ibunya, tidak memperdulikan istrinya yang yang tengan menderita batin karena makian dan hinaan.
Tok...tok...tok....
Dimas masuk dalam kamar ibunya, setelah cukup lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban.
“Bu, maafkan Dimas. Aku tidak bermaksud membentak ibu, saat ini Dimas sedang stres bu, tolong mengertilah.”
“Memangnya kamu stres apa? Ibu lebih stress menghadapi istrimu yang malas itu.”
“Ibu,” Dimas terisak. Membuat ibu luluh dan langsung memeluk putranya.
“Kamu kenapa, Nak? Katakan pada ibu. Maafkan ibu, jika ibu membuat pikirannmu menjadi tidak tenang.”
“Ibu, aku takut. Sepertinya, Dimas akan di penjara dan kehilangan pekerjaan.”
“Apa?” Ibu tersentak. “Apa maksud kamu? Jangan menakuti ibu. Kamu masih memiliki tanggung jawab kepada adik-adik kamu yang masih bersekolah.”
Dimas semakin terisak bahkan menundukkan kepalanya, membuat ibu semakin panik.
“Aku menabrak seorang wanita, bu. Dimas baru tahu, jika wanita itu adalah tunangan Presdir perusahaan tempat Dimas bekerja.”
Ibu semakin kaget, menutup mulutnya yang hampir saja memekik.
“Dimas, apa yang kamu lakukan, Nak? Kamu mencelakakan kita semua. Adik-adik kamu kehilangan masa depan, jika mereka mengetahui kamu pelakunya.”
Dimas mengusap wajahnya yang basah akibat air mata yang mengalir. Di depannya, ibu masih menatap dengan raut wajah ketakutan dan cemas.
“Ceritakan pada ibu, kejadian yang sebenarnya.”
Malam itu pun Dimas menceritakan semua kejadiannya dengan detil kepada ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Sweet Girl
eeee njaluk dislepet mertua kayak gini ini....
2025-02-19
0