Tian kini mengendarai kendaraannya, menuju bengkel yang dimaksud ibu Dimas. Di kursi belakang, tampak Dave duduk dengan menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata.
“Kita sudah sampai, Tuan.”
Dave terjaga, pandangannya menatap keluar. Sebuah bengkel yang tidak terlalu besar, beberapa motor parkir dengan kondisi sedang diperbaiki oleh montir.
“Permisi, kami ingin bertemu dengan pemilik bengkel.” Tian menyapa kepada seorang montir.
“Ada di dalam, silahkan masuk.”
Dave berjalan di depan, disusul sekretaris Tian dibelakangnya.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?”
Seorang pria, dengan pakaian yang terkena noda oli menghampiri mereka.
“Kami mencari pemilik bengkel.”
“Itu saya, Pak. Nama saya Gery, ada apa?”
Sekretaris Tian langsung menyodorkan kartu nama. Gery menerimanya, membelalakkan mata sesaat.
“Apa benar Dimas memperbaiki mobilnya disini?” tanya Dave.
“Benar, Pak. Dimas membawa kendaraannya malam hari, untuk diperbaiki. Katanya, istrinya habis tabrak kucing, jadi mobilnya penyok didepan.”
“Kucing?” Amarah Dave kembali terpancing.
“Boleh kami lihat mobilnya?”
“Silahkan, ikut saya. Kebetulan mobilnya, nanti sore baru diambil.”
Gery berjalan disusul Dave dan sekretaris Tian. Sebuah mobil jenis sedan, keluaran tahun 2000an, berwarna hitam. Gery membuka pintu mobil, membiarkan dua orang asing memperhatikan kondisi kendaraan itu.
Setelah selesai, Sekretaris Tian berpamitan. Di dalam mobil, Dave menunggu dengan memijat pangkal hidungnya yang mancung.
Kau menganggap, istriku, kucing.
“Tian, ambil jalan menuju rumah Dimas.”
“Baik, Tuan.”
Sekretaris Tian mengubah haluan, lalu kembali mengendarai mobilnya. Hanya sekitar 10 meter jarak rumah Dimas dan bengkel langganannya. Tian menurunkan kecepatan, saat mendekati sebuah rumah bercat abu-abu.
Dave memandang ke arah luar, tampak wanita yang menemuinya tadi pagi sedang mengupas buah, didepannya duduk seorang wanita dengan perut membuncit.
“Berhenti.”
Tian menghentikan mobil, tepat didepan rumah.
Dave masih memperhatikan kedua wanita itu, sorot matanya terkunci pada seorang wanita yang tengah menikmati buah, sambil mendapat pijatan di bahunya.
Kau rupanya hidup seperti ratu, sementara istriku berada di liang kubur.
“Jalan.”
Tian menghidupkan mesin, lalu kembali melanjutkan perjalanan mereka.
“Serahkan wanita itu, kepada polisi. Aku tidak bisa melakukan apa-apa padanya, jika ia dalam keadaan hamil.”
“Baik, Tuan.”
***
Di teras rumah, ibu mengupas buah untuk menantunya dan sesekali bangkit memijat bahunya.
“Tidak usah, bu.” Arshila merasa tidak enak, saat ibu Dimas memijat bahunya
“Tidak apa-apa, kamu sudah lelah selama ini. Biar ibu menebusnya untukmu.”
Arshila masih tidak terbiasa dengan sikap baru mertuanya, hari ini wanita paruh baya itu memasak untuknya, mengupas buah dan membiarkannya beristirahat dalam kamar.
Di halaman rumah, Dimas baru saja pulang. Memarkir motor sambil tersenyum melihat kerukunan dua wanita yang dicintainya.
“Sudah pulang, Nak. Duduk sini, temani istrimu, biar ibu yang buatkan teh.”
Dimas meraih tangan ibunya, lalu menciumnya.
“Terimakasih, bu.”
Ibu hanya tersenyum menatap putranya, lalu berjalan masuk dalam rumah. Tak lama, ibu keluar membawa secangkir teh, lalu meletakkanya diatas meja. Dimas meraih gelasnya, belum sempat menyesapnya, sebuah mobil polisi masuk dalam halaman rumah mereka.
DEG,
Dimas gugup, tangannya gemetar, hampir saja menjatuhkan gelasnya. Ia menatap ibu dan istrinya bergantian.
“Apa benar, ini rumah saudari Arshila Syarenna?”
“Benar. Ada perlu apa, Pak?” Dimas menjawab, bingung dengan polisi yang mencari istrinya bukan dia.
“Silahkan ikut kami, ke kantor polisi.”
“Ap ... apa?” Arshila tersentak, begitu juga dengan Dimas.
“Maaf, Pak. Bisa dijelaskan, ini ada apa sebenarnya? Kenapa Bapak mau membawa istri saya?”
Polisi yang menggunakan seragam lengkap, langsung menyodorkan surat penangkapan kepada Dimas. Pria itu membacanya, lalu membelalakkan kedua matanya.
“Tunggu, Pak. Ini pasti ada kesalahan. Saya ....”
“Dimas, diam kamu.” Ibu dengan cepat memotong ucapan anaknya.
Polisi membawa Arshila, memakaikan borgol di kedua tangannya. Wanita itu, menoleh kebelakang dengan berderai air mata.
“Mas, tolong aku. Sebenarnya, ada apa ini?”
“Kamu tunggu, Mas akan mengeluarkanmu.”
Arshila mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Dimas menyambar kunci motornya, hendak mengikuti mobil polisi. Tapi, ibu
mencegat langkah anaknya.
“Mau Ke mana kamu?’
“Menyusul Shila, bu. Dia tidak bersalah, saksi dari perusahaan pasti salah. Dimas akan ke sana dan memperbaikinya.”
“Hoh, kamu mau mengaku? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik-adikmu?”
“Bu, tolong jangan mulai lagi.”
“Jika kamu mengakui perbuatan kamu, maka ibu akan ikut di penjara bersamamu.”
“Maksud ibu, apa?”
“Ibu adalah saksi perusahaan kamu. Ibu yang mengatakan, Arshila telah menabrak calon istri pimpinan perusahaanmu.”
“Ibu," bentak Dimas, “kenapa ibu begitu tega? Dia sedang hamil, bu. Bagaimana bisa ibu mengirim istriku ke penjara. Ibu sengaja melakukannya, hanya karena ibu tidak menyukainya.”
“Ibu hanya menyelamatkan keluarga kita.”
“Menyelamatkan? Dengan mengorbankan istriku?” Dimas mengepalkan tangannya. “Maaf, Dimas tidak bisa, bu. Dia istriku dan sedang mengandung anakku.”
Dimas kembali melangkah, menuju motornya.
“Baik, sebelum kamu pergi, ibu ingatkan, satu kata kebenaran yang keluar dari mulutmu, maka ibumu yang akan mengantikan Arshila di penjara.”
Dimas menghentikkan langkahnya, memalingkan wajah menatap tajam ibunya.
“Kenapa ibu melakukan ini padaku?” teriak Dimas.
“Ini untuk kebaikanmu, pilihlah ibu atau istrimu yang akan masuk dalam penjara.”
Ibu melangkah masuk dalam rumah, meninggalkan Dimas yang masih mematung, menatap tajam ke arahnya.
Dimas terduduk di lantai teras, mengacak rambutnya frustasi. Ia merasa bingung, harus memilih karena kedua wanita itu sangat penting baginya.
Ibu yang membanting tulang, menyekolahkan, setelah, ayahnya meninggal. Ibu berkeliling menjual dagangannya, tidak menghiraukan terik matahari dan hujan yang menerpa.
Wanita paruh baya itu, bahkan pernah menjadi buruh cuci untuk tetangganya. Mengumpulkan rupiah, agar Dimas bisa memiliki pendidikan tinggi dan mengubah hidup mereka setelah bekerja.
Tapi, bagaimana dengan Arshila? Wanita yang menjadi istrinya dan sedang mengandung. Wanita yang tidak tahu apa-apa, justru menggantikan Dimas dalam penjara.
Dimas terkulai lemah, ia tidak bisa memilih. Jika ia mengaku, maka ibunya pun akan terseret karena kesaksian palsu. Tapi,...?
Ibu Dimas kembali menghampiri putranya.
"Dimas, maafkan ibu. Tolong, mengertilah keadaan ibu."
"Tapi, bagaimana dengan istriku, bu? Dia sedang hamil, bu."
"Dimas, percaya pada ibu. Arshila hanya akan mendapat hukuman ringan. Ibu mengatakan pada mereka kalau Arshila sedang kontraksi dalam mobil, hingga ia tidak sengaja."
"Tapi, ...."
"Jika, ia melahirkan di penjara, ibu akan mengasuh anakmu hingga ia bebas. Sampai saat itu, ibu berjanji padamu akan memperlakukannya dengan baik. Bahkan, jika kalian ingin hidup mandiri, ibu akan setuju."
Dimas membisu, mencerna perkataan ibunya yang terdengar masuk akal.
"Tapi, bu. Arshila tidak bisa mengendari mobil. Kalau ketahuan bagaimana?"
"Jadilah, saksi bersama ibu. Dengan begitu, mereka akan mempercayai kita."
"Apa?" Dimas membelalak. "Bagaimana bisa ibu meminta hal itu dariku? Arshila bisa membenciku."
"Dimas, pikirkan jika kamu sekarang, berada di sana bukan istrimu. Atasanmu mungkin akan langsung membunuhmu, beda dengan istrimu yang sedang hamil, mereka tidak akan melakukan apa-apa padanya."
Ibu kembali menancapkan serangan pada pikiran putranya. Sementara, Dimas masih membisu dengan kepala tertunduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Sweet Girl
Wes tau rasane hidup susah Bu... kok Yo jahat sama menantu nya...
2025-02-19
0
Sweet Girl
ibukmu ae wes Dim... wong menyesatkan gituuuu
2025-02-19
0
Murti Yatni
suami yang tak punya hati mau-mau saja di kendalikan ibunya yang berhati kejam dan tamak
2023-11-15
0