Ana sudah sampai di depan rumahnya. Rumah mewah berpagar tinggi dengan arsitektur gaya Eropa. Penjaga keamanan membuka pagar besi saat melihat Ana sudah berdiri di depan pagar.
"Non Ana! Haduh Non Ana pulang naik bus lagi ya?" tanya Pak Kiman.
"Iya Pak. Sudah biasa." jawab Ana seraya tersenyum.
"Anu Non, tadi Tuan Besar marah-marah."
"Pasti gara-gara aku lagi. Nggak usah dipikirkan ya Pak."
"Non nggak salah. Seharusnya salah satu dari kami mengantar Non Ana kemanapun Non Ana pergi. Kami yang salah Non." kata Pak Kiman.
"Pak Kiman selalu gitu deh. Yasudah maafin Papa ya Pak. Papa orangnya keras. Tapi sebenarnya dia baik kok. Papa tuh hanya khawatir aja sama aku. Jadi marahnya ke Bapak-bapak yang di sini deh. Maafin ya Pak." ujar Ana.
"Non Ana berhati malaikat. Non Ana segera masuk gih, sebelum Tuan Besar marah-marah lagi." kata Pak Kiman.
Ana pun segera memasuki rumahnya. Ia tak melihat siapapun di dalamnya. Ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, tampak kosong. Lalu ia memutuskan menuju kamarnya di lantai dua. Saat menaiki tangga, ia pun mengamati suasana rumahnya.
"Rumah yang tampak besar, tapi isinya kosong. Harga perabotan yang tak murah, tapi rasanya tak ada artinya. Semua hanya pajangan." lirih Ana.
"Kamu sudah pulang?" tanya Pak Radit.
"Sudah Papa." jawab Ana kaget.
"Kenapa sekaget itu?"
"Lagian Papa ngagetin Ana."
"Sudah berapa kali Papa bilang ke kamu, minta dijemput sama Kiman, Narji, atau siapalah itu. Kenapa masih berani pulang sendiri? Papa minta kamu bantuin bisnis Papa juga kamu abaikan. Apa sih enaknya jadi artis? Mama kamu aja dulu Papa larang, kok sekarang kamu malah ngikutin jejak Mamamu?" ujar Pak Radit.
"Maaf Pa. Ana nggak enak kalo diliat sama rekan artis yang lain jika Ana dijemput. Mereka juga belum tau jika Ana adalah putri tunggal dari Radit Hanggoro Sukmo, pengusaha sukses di kota ini. Ana mau dikenal atas usaha dan nama sendiri, Pa. Bukan menumpang dari nama terkenal Radit Hanggoro Sukmo. Mama pun sudah tenang di alam baka, jadi jangan diungkit lagi cerita lama tentang Mama." kata Ana.
Ana berjalan cepat menuju kamarnya. Meninggalkan Papanya yang belum selesai bicara. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Menaruh sembarangan paperbag yang ditentengnya. Ia merebahkan dirinya di kasur besar kesayangannya.
Lima belas menit setelahnya, ia menuju toilet. Membersihkan dirinya sekaligus menjernihkan pikiran dengan berendam di bathtub. Tak lupa menyalakan lilin aromaterapi untuk menambah kesegaran.
Selesai mandi ia mengenakan piyama warna pink motif bunga kesukaannya. Ia pun membuka lemari es dan menuang minuman dingin di gelasnya. Ia berjalan menuju balkon kamarnya. Dari sana, ia bisa melihat ramainya jalanan di depan rumahnya. Ia sengaja tak menyalakan lampu balkon, agar dirinya tak terlihat dari luar.
"Lihatlah Ana, dunia di luar sana tampak ramai. Tapi lihatlah dirimu sendiri. Sudah sunyi, sepi, dan tetap sendiri. Rasanya muak dengan kejamnya dunia yang tak serta merta memperlakukanku dengan baik. Mereka hanya memandangku sebelah mata. Tapi, aku takkan dengan bodohnya membuka diriku. Biar saja semua tetap seperti ini." kata Ana.
Ia menghabiskan air di gelasnya sekali teguk. Dari luar kamarnya, terdengar suara marah Papanya. Karena risih terus mendengar suara marah Papanya, Ana pun keluar dari kamarnya.
"Papa kenapa marah-marah?" tanya Ana.
Pak Radit masih dalam mode emosi. Terlihat saat menatap ponselnya dengan mulut komat kamit.
"Kenapa Papa?" tanya Ana lagi.
"Papa kalah tender, Ana. Rencana besar Papa gagal total. Papa rugi milyaran rupiah. Tapi, Papa bisa menutup kerugian itu jika salah satu syarat dari mereka bisa Papa penuhi." jawab Pak Radit.
"Apa syaratnya Pa?" tanya Ana penasaran.
"Lebih baik kamu tak perlu tau. Toh kamu juga takkan setuju dengan syarat itu."
"Katakan Pa!" seru Ana.
"Kamu harus menikah dengan putra kedua mereka. Mereka akan melepas tender itu untuk Papa jika persyaratan itu terpenuhi. Kamu tak bisa kan? Sudah Papa duga. Jadi jangan..."
"Aku bersedia Pa. Segera atur pertemuan keluarga, Pa. Aku akan memenuhi permintaan mereka. Itu adalah perwujudan pengabdianku pada Papa." ujar Ana serius.
"Hah? Kamu serius, Ana? Papa agak ragu dengan syaratnya karena putra keduanya itu terkenal dingin orangnya. Kalo dijodohkan sama putra pertamanya, mungkin Papa setuju dari awal. Apa kamu yakin?"
"Jika belum dicoba, mana kita tau, Pa. Semoga aslinya tidak seperti itu." ujar Ana.
"Bagus. Itu jawaban yang Papa inginkan darimu!" kata Pak Radit.
Keesokan harinya, seperti biasa Ana melakukan aktivitas hariannya. Mandi, membuat sarapan, membereskan kamarnya, lalu bersiap menuju lokasi syuting. Sebenarnya ada ART yang menyajikan masakan untuknya. Tapi Ana selalu ingin sarapan dengan masakannya sendiri.
"Pagi Pa!" sapa Ana saat Pak Radit hendak duduk di kursi makan.
"Pagi! Hari ini kamu ada waktu?" kata Pak Radit mode serius.
"Nanti siang jam 1 mungkin Ana sudah free. Ada apa Pa?"
"Bisa ikut makan siang bareng Papa? Papa ingin kenalin kamu dengan calon suamimu. Itupun jika kalian sama-sama cocok. Jika tidak, Papa juga nggak maksain. Masih ada cara untuk melanjutkan bisnis." ujar Pak Radit sambil menuang nasi ke piringnya.
"Siap Pa. Nanti Ana akan ikut makan siang bareng Papa. Ketemuan dimana Pa?" tanya Ana.
"Nanti biar supir Papa yang jemput kamu!"
"Oh oke!" kata Ana.
Mereka pun makan dalam diam. Ana merasa tak perlu lagi menanyakan lebih jauh mengenai pria yang akan Papa kenalkan untuknya. Toh nanti mereka akan bertemu secara langsung dan bisa saling bertanya jawab.
Selesai sarapan, Ana bergegas pergi ke lokasi syuting. Kali ini diantar oleh Pak Kiman. Tentu saja sebelumnya Ana menolaknya. Karena ingat jika semalam Pak Kiman sudah curhat dimarahi Pak Radit, akhirnya Ana menyetujui untuk diantar Pak Kiman. Dengan syarat diantar dalam radius 100 meter dari lokasi syuting.
Setibanya di lokasi syuting, Ana langsung menemui tim wardrobe untuk ganti baju sesuai adegan syuting yang akan dijalani. Di sana sudah ada Alana yang tengah membaca naskah didampingi asisten pribadinya.
"Eh ada Ana! Baru datang yah? Pasti jalan kaki lagi ya? Pasti capek juga kan? Ya kan? Mau minum jus jeruk bekalku?" seru Alana caper karena banyak orang di sana.
"Tidak usah. Aku sudah minum jus tadi di rumah. Jalan kaki kan sekalian olahraga. Biar tubuhku selalu fit dan bugar. Sekaligus sebagai diet yang sehat!" kata Ana dengan penuh percaya diri.
"Wow, slogan yang keren. Mulai besok, aku akan ikutin cara hidup sehatmu deh!" seru Didi, seorang MUA yang dikenal kemayu.
"Ah bagus juga. Tapi kan capek ya guys!" ujar Alana membuang muka, menyembunyikan kekesalannya.
"Hanya untuk yang mampu saja!" kata Ana tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments