Perhatian Palsu

Ana menuruni anak tangga dengan menyanyikan lagu kesukaannya. Tanpa disangka sudah ada Anton yang sedang mengobrol dengan Papanya di ruang tamu. Ia pun mengakhiri nyanyiannya dan berjalan perlahan.

"Ana, hari ini Anton akan mengantarkanmu ke lokasi syuting." kata Pak Radit.

"Kenapa diantar dia, Pa? Ana bisa berangkat sendiri." tolak Ana.

"Aku ingin kita menjadi lebih dekat. Apa salah?" tanya Anton yang membuat Ana skakmat.

"Tidak juga. Baiklah. Kami berangkat dulu ya, Pa!" ujar Ana sembari mencium tangan Papanya.

Anton pun demikian. Mencium tangan Pak Radit seperti yang dilakukan Ana. Ia tak ingin terlihat buruk di mata Pak Radit, calon mertuanya. Meski hatinya belum menerima Ana. Bahkan rasa bencinya melebihi rasa sukanya.

"Masuklah!" ucap Anton datar.

Ana memasuki mobil Anton. Ia memastikan suasana aman terkendali mengingat Papanya masih mengawasinya dari pintu masuk.

"Terima kasih sudah repot-repot mau datang ke sini. Padahal kamu bisa bersantai di waktu liburmu." ucap Ana.

"Sama-sama." ujar Anton dingin.

Sepanjang perjalanan Anton hanya fokus mengemudi. Jadi Ana enggan untuk memulai obrolan. Mereka saling diam dengan pemikiran masing-masing.

"Ah sudah sampai! Terima kasih tumpangannya. Mau mampir dulu?" tanya Ana.

"Tidak perlu. Mana ponselmu!"

Ana menyerahkan ponselnya pada Anton. Anton terlihat sedang mengetikkan sesuatu. Ia bingung mau diapakan ponselnya.

"Nah. Itu nomorku. Nanti hubungi aku begitu selesai syuting. Aku akan menjemputmu." kata Anton.

"Baiklah." kata Ana.

Ana menyimpan nomor Anton. Lalu ia turun dari mobil itu. Tanpa disangka, Nabila melihatnya turun dari mobil Anton.

"Wah ada kemajuan! Kamu diantar siapa? Pake mobil mewah pula! Bahkan si Alana aja nggak pernah diantar jemput pake mobil semewah itu." seru Nabila.

"Eh kamu udah balik dari Bali? Oleh-olehnya mana?" tanya Ana.

"Pertanyaanku aja belum kamu jawab, eh kamu malah balik nanya!" keluh Nabila.

"Iya deh, maaf. Itu tadi anak dari temen Papaku. Lumayanlah yah dianterin daripada ngebus. Ya kan?" kata Ana.

Ana merasa bersalah terus membohongi sahabatnya itu. Ia belum menceritakan siapa dirinya pada Nabila. Nabila hanya tau jika Ana adalah teman seperjuangan dengannya, yang hidup sederhana.

"Aku udah beliin sarapan buatmu. Lontong sayur pake telor bulet, kuahnya banyak dan pedes. Yuk sarapan bareng!" ajak Nabila.

"Ayo! Kamu tau aja kalo aku belum sarapan. Tadi mumpung ada tumpangan, jadi nglewatin jam sarapan deh!" kata Ana memelas.

"Sudah jangan sedih! Kita susah senang bareng-bareng yah!" ujar Nabila sumringah.

"Oke. Ayo masuk dulu! Kulitku tambah item nih kalo berjemur mulu!" kata Ana.

"Kamu item dari mana? Putih mulus seksi gitu!" kata Nabila.

Ana dan Nabila masuk ke rumah yang digunakan sebagai lokasi syuting. Mereka mencari tempat duduk kosong untuk sarapan bersama. Tak peduli bagaimana yang lain melihat mereka, yang jelas mereka tampak kompak bersama. Selama syuting di film ini, memang hanya Nabila yang dekat dengannya.

Alana yang datang bersama asistennya, menyapa Ana dan Nabila. Ana menawarkan Alana untuk sarapan bersama. Tentu saja Alana menolaknya. Dengan dalih makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima itu kurang higienis.

"Yasudah, jangan makan! Sana pergi!" seru Nabila.

Nabila memang dikenal pemberani. Jangankan dengan Alana, dengan Sutradara aja jika dirinya merasa benar, maka ia siap untuk berdebat. Alana yang merasa diusir Nabila, segera menjauhkan diri dari mereka.

"Itu si Alana munafik banget. Di depan banyak orang pasti ramahnya kebangetan. Ntar kalo sama kita nih, aslinya kelihatan banget kan. Lagian kalo nggak suka yaudah sih tinggal bilang nggak mau aja, kelar urusan. Ini pake ngatain makanannya kurang higienis. Asli, muak liat kelakuan orang kayak gitu!" kata Nabila penuh emosi kesal.

"Sudahlah Bil, nggak perlu diambil hati. Dia mah udah dari lahir kayak gitu. Kamu yang waras ngalah aja sih. Diabisin deh makannya!" kata Ana menenangkan Nabila.

Proses syuting memakan waktu seharian. Pukul 9 malam baru selesai. Ana segera mengabari Anton bahwa syutingnya telah selesai. Tak menunggu lama, Anton pun tiba di lokasi.

"Hei, kamu mau jemput aku lagi? Tapi tunggu, kali ini mobil yang kamu pake lebih keren dari biasanya. Ayo!" seru Alana girang.

"Tunggu!" cegah Anton agar Alana tak masuk ke mobilnya.

"Kenapa?" tanya Alana.

"Hari ini Kak Arga yang menjemputmu. Lihatlah di seberang jalan itu." jawab Anton datar.

"Oh pacarku sendiri yang menjemputku hari ini? Oke deh! Trus kamu jemput siapa?" tanya Alana.

"Ana." jawab Anton datar.

"Oh yeah? Ananda Ranita? Wow, sejak kapan kalian akrab?" tanya Alana lagi.

"Sudahlah, bukan masalah penting untuk dibahas. Segera temui pacarmu sana!" kata Anton.

Sebenarnya Anton sudah lama menaruh rasa pada Alana. Hanya saja, Alana sudah lebih dulu menjadi pacar kakaknya. Sehingga ia mengurungkan niatnya untuk mengutarakan perasaannya. Terlebih setelah ia tahu bahwa Alana juga mencintai kakaknya, Arga.

Alana pergi menemui Arga yang sudah menunggunya di mobil. Sementara Anton hanya bisa memandangi kepergian Alana. Menurutnya, Alana terlihat sangat bahagia dan itu cukup membuatnya kesal serta frustasi.

"Hai Anton!" sapa Ana.

"Naiklah!" kata Anton tanpa basa-basi.

Ana memasuki mobil Anton dengan perasaan bingung. Dari awal bertemu hingga saat ini, wajah Anton masih terlihat kaku dan dingin. Ana berpikir apakah Anton selalu dalam masalah yang rumit. Atau memang seperti itulah sikapnya pada orang asing termasuk dirinya.

"Mau langsung pulang atau mampir dulu?" tanya Anton membuka percakapan.

"Anu, kalo boleh aku minta dianterin ke apotik." jawab Ana.

"Kamu sakit?" tanya Anton lagi.

Kali ini Anton terlihat sedikit khawatir. Tapi Ana tak mau ambil hati. Sebisa mungkin bersikap biasa meski Anton terlihat sedikit perhatian.

"Iya. Perutku rasanya nyeri. Sepertinya mau datang bulan." jawab Ana.

Tak ada obrolan lagi. Mereka saling diam dengan pemikiran masing-masing. Lalu mobil Anton menepi di depan apotik. Ana pun turun dari mobil. Tanpa Ana sadari, ternyata Anton ikut turun menemani Ana. Sesaat Ana dibuat terharu dengan sikap Anton.

"Selamat datang di Apotik Sehat Sejahtera. Ada yang bisa saya bantu?" sapa petugas apotik.

"Mba, ada obat nyeri untuk pra menstruasi?" tanya Ana dengan raut muka kesakitan.

"Oh ada Mba. Mau yang dalam bentuk puyer, pil, tablet, atau sirup?"

"Yang paling ampuh aja, Mba." jawab Anton.

"Aku sih biasanya beli yang pil atau tablet." ujar Ana lirih.

"Cepat ya Mba!" seru Anton.

"Baik Mas. Ditunggu ya Mba!" kata petugas apotik ramah.

Begitu obat sudah di tangan, mereka kembali masuk ke mobil. Anton menyodorkan air mineral dalam kemasan botol kepada Ana. Ana menerimanya dengan senang hati.

"Minumlah segera obatmu! Aku nggak mau disebut sebagai pria yang tak peduli pada seorang gadis yang perutnya sedang sakit." ujar Anton.

Anton yang memang cuek dan dingin pun merasa kasihan juga melihat Ana yang kesakitan.

"Terima kasih." kata Ana.

"Hmm..." hanya itu jawaban Anton.

Setelah Ana meminum obatnya, Anton kembali melajukan mobilnya. Mengantar Ana pulang dengan selamat sampai rumah. Walau perjalanan hanya diisi dengan diam tanpa obrolan, Ana merasa Anton perhatian padanya. Meski mungkin perhatian Anton bisa dikategorikan sebagai perhatian palsu.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!