Hari-hari pasca pernikahan, Tiara dan Rama menjalaninya dengan kesibukan masing-masing. Jarang ada percakapan yang berarti. Kadang, setiap berpapasan saja mereka seakan sedang bertengkah batinnya atau pura-pura sibuk dengan ponselnya. Bahkan, tidur pun mereka masih berpisah ranjang, meski masih dalam satu kamar. Tentu, Tiara tidur di kasur dan Rama tidur di sofa.
Bu Ina bingung memikirkan cara menghillangkan jarak di antara Tiara dan Rama. Awalnya, ia memaklumi karena mereka memang belum pernah kenal sebelumnya jadi mungkin perlu waktu untuk menyesuaikan. Terlebih lagi, sikap Rama yang terkesan cuek dan dingin juga kemungkinan membuat Tiara semakin canggung. Namun, setelah sebulan pernikahan mereka ternyata belum ada juga perubahan. Ia pun merasa keadaan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut lagi dan harus ada yang diperbaiki
Pada suatu pagi, Tiara sangat sibuk menyiapkan buku dan perlengkapan yang akan dibawa ke kampus karena dosen yang mengajar pukul 15.00 mengganti jadwal mendadak menjadi pukul 07.30. Pergantian jadwal itu pun baru diinfokan saat sudah pukul 06.00. Berkali-kali ia merutuki dosennya yang mengganti jadwal semendadak itu hingga ia sangat terburu-buru.
Saat turun ke lantai satu, Tiara melihat Bu Ina dan Rama sudah menunggunya di meja makan. Tiara segera bergabung dengan mereka dan mengatur napas agar lebih tenang.
"Loh, mau ke mana sudah rapi? Katanya kuliah siang, Sayang?" tanya Bu Ina keheranan.
"Ganti jadwal mendadak, Ma. Harusnya jam tiga nanti malah diganti setengah delapan. Duh, kan jadi buru-buru," jawab Tiara sambil meletakkan tas di samping kursinya.
"Sebentar, Ibu ke belakang dulu. Ibu hampir saja melupakan sesuatu. Kalian makanlah dulu. Nanti biar Ibu ditemani Bi Siti tidak apa," tegas Bu Ina sambil berdiri dari kursinya.
Tiara dan Rama pun makan dalam keheningan. Hanya terdengar beberapa kali denting lirih sendok, garpu, dan piring yang beradu. Suasana di ruang makan menjadi lebih mencekam tanpa kehadiran Bu Ina.
Setelah Tiara dan Rama hampir menyelesaikan sarapannya, Bu Ina dengan senyum merekah yang mengusir kekelaman di ruangan itu. Tiara akhirnya bisa bernapas lega melihat Bu Ina tersenyum begitu tulus. Bu Ina membawa dua buah food container ukuran kecil yang berisi potongan buah naga dan apel. Bu Ina segera meletakkan salat satu di tas Tiara dan satu lagi di tas Rama.
"Mama kok repot-repot segala. Kalau pengen juga Tiara bisa menyiapkan sendiri kok," kata Tiara merasa sungkan.
"Tidak apa. Mama malah bahagia menyiapkan bekal untuk kalian. Jadi Mama punya kesibukan selain makan, duduk, dan tidur," sahut Bu Ina terkekeh sambil memulai sarapannya.
"Mama istirahat saja. Jangan terlalu lelah," suruh Rama tiba-tiba bersuara.
"Nggak, Rama. Kalau istirahat terus malah badan pegal-pegal," bantah Bu Ina.
Setelah selesai makan, Tiara membawa piring dan gelas kotornya ke dapur. Kemudian, ia pamit kepada Bu Ina dan Rama untuk berangkat kuliah karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Tiara berjalan cepat menuju garasi.
Tiara tercengang mendapati ban motornya kempis. Tiara pun sebal dan bingung karena dia sudah kesiangan dan kalau harus mengundang orang bengkel juga lama. Yang membuat Tiara heran itu ban motornya masih baik-baik saja kemarin, bisa-bisanya tiba-tiba kempis. Karena waktu semakin siang, Tiara pun malas memikirkan sebab di balik insiden itu dan memutuskan untuk memesan ojek online.
Sebelum Tiara memesan, tiba-tiba dia dikagetkan oleh deheman lelaki di belakangnya. Tentu itu suara Rama. Tiara berbalik badan dan ditemukannya Rama sudah mematung di belakangnya. Ia pun mendongakkan kepala untuk melihat wajah Rama karena tingginya hanya 157 cm dan tinggi Rama 180 cm.
"Kenapa masih di sini?" tanya Rama masih dengan sikap dinginnya.
"Ban motorku bocor kayaknya. Ini baru mau pesan ojol," jawab Tiara cemberut sambil mengalihkan pandangannya ke ponsel lagi.
"Ayo," ajak Rama datar.
"Nggak usah. Arah kita kan beda. Abang berangkat aja sana," tolak Tiara dengan ramah.
"Udah. Ayo!" paksa Rama sambil berjalan menuju mobilnya.
Tiara bergeming. Ini adalah kali pertamanya berangkat kuliah diantar oleh Rama. Ia tiba-tiba berdebar harus berdua di mobil dengan suaminya karena tentu jarak mereka akan menjadi lebih dekat dibanding saat di kamar. Meski Rama masih sangat dingin dan cuek, tapi Tiara sudah mulai terbiasa dengan sikapnya.
"Mau telat?" tanya Rama sudah di dalam mobil.
Tanpa menjawab pertanyaan Rama, Tiara pun berjalan menuju mobil Rama dan membuka pintu belakang mobil.
"Depan. Kamu pikir aku supir," suruh Rama masih bertahan dengan nada datarnya.
Tiara pun menutup kembali pintu belakang dan memutari depan mobil dengan muka masamnya. Ia kesal dengan sikap Rama yang masih sedingin itu padahal mereka sudah sebulan bersama. Diam-diam, ia mengharapkan perhatian Rama selayaknya suami kepada istri namun segera ditepisnya pemikiran itu karena mungkin berlebihan jika berharap semacam itu.
Dasar kulkas tiga pintu. Batinnya mengumpat.
Setelah Tiara masuk ke mobil, Rama melajukan mobilnya agak cepat agar Tiara tidak telat sampai ke kampus.
Di balik pintu penghubung dapur dengan garasi, ada seseorang yang tersenyum menyaksikan keberangkatan sepasang suami itu tersebut. Siapa lagi kalau bukan Bu Ina. Bu Ina berterima kasih kepada Pak Rahmat, tukang kebun di rumahnya. Pak Rahmatlah yang mengempiskan ban motor Tiara atas perintah Bu Ina.
"Masa harus dengan cara seperti ini mereka mau bersama," ucap Bu Ina kepada diri sendiri sambil mengusap jidatnya.
"Berarti aku harus mencari cara lain lagi untuk mendekatkan mereka. Anak zaman now emang ribet ternyata," imbuhnya.
...****************...
Di perjalanan menuju kampus, Tiara mulai bosan hanya memandang jejalanan tanpa ada sepatah pun percakapan. Rama masih sibuk mengendarai mobil dengan sikap dinginnya sehingga perjalanan terasa lebih panjang dari biasanya bagi Tiara yang mulai dilanda kebosanan.
Tiara baru ingat jika teman-temannya belum mengetahui tentang pernikahan ia dengan Rama. Ia mulai berspekulasi tentang alasan yang akan ia gunakan jika ketahuan diantar ke kampus oleh Rama. Ia pun ingin mengajak Rama bekerja sama untuk melancarkan rencanya.
"Abang," panggil Tiara menatap Rama.
"Hmm," sahut Rama masih fokus dengan jalan.
"Boleh aku minta tolong?" tanya Tiara lirih.
"Hmm" jawab Rama singkat.
"Tolong bantu rahasiakan dulu pernikahan kita dari teman-temanku ya. Aku belum siap mereka tahu kalau aku sudah menikah. Mau ya, Abang? Biar ini jadi rahasia kita dulu," rengek Tiara seperti anak kecil yang sedang meminta mainan.
"Kamu punya pacar? Gebetan?" tanya Rama selidik.
"Enggak. Enggak punya. Aku belum siap aja. Biar aku adaptasi dulu dengan situasi saat ini. Nanti kalau sudah saatnya, tentu aku kasih tahu mereka," jawab Tiara takut Rama salah paham.
"Oke," sahut Rama.
"Makasih, Abang," tutur Tiara dengan wajah berseri.
"Ya," timpal Rama.
Tiara pun bisa menghembuskan napas dengan lega setelah mendengar jawaban Rama. Setelah itu, Tiara masih belum tuntas keheranannya menyaksikan sikap Rama yang betah bicara sesingkat itu. Baru kali ini, ia bertemu pria secuek itu. Dikiranya hanya ada di novel-novel saja, ternyata malah suaminya. Namun, Tiara sangat mensyukuri keadaannya karena setidaknya ia masih bisa bebas menjadi diri sendiri dan ruang gerak pun tidak pernah dibatasi.
Sesampainya di tempat parkir depan gedung fakultas, Tiara meminta Rama untuk menghentikan laju mobilnya. Rama pun menepikan mobilnya di tempat parkir yang masih luas.
"Di mana ruang kuliahmu?" tanya Rama.
"Di gedung F, belakang sana. Tapi, antar aku sampai sini saja," jawab Tiara sambil menyiapkan tas dan buku yang akan dibawanya.
Rama kembali melajukan mobilnya masuk ke area fakultas tanpa memedulikan rengekan Tiara memohon-mohon. Dengan ekspresi beku, Rama terus mencari gedung yang bertuliskan huruf F. Tiara pun mulai menepuk-nepuk lengan Rama dan meminta Rama segera menurunkannya. Rama hanya diam tak mengindahkan rengekan istrinya dan terus saja melajukan mobilnya.
"Udah sampai sini aja, Bang Rama," rengek Tiara mulai cemas jika ada teman yang melihatnya.
Di samping itu, mobil yang digunakan oleh Rama merupakan salah satu mobil yang terkenal cukup mahal sehingga mudah dikenali dan akan sangat mencolok di sana.
"Biar nggak telat," cetus Rama tiba-tiba.
Tiara mendengus kesal. Ia pun menyerah karena si kulkas tiga pintu tentu tidak akan mengindahkan rengekannya sekali pun. Ia pun pasrah akan diantar sampai mana. Matanya menyipit dan melirik tajam sekilas ke arah Rama.
Setelah menemukan gedung F, Rama segera menepikan mobilnya ke tempat parkir yang masih luas. Ternyata, tempat parkir yang luas itu tepat di depan ruang kuliah Tiara. Tiara menepuk jidatnya sambil mengaduh pelan.
Tiara semakin kalut menyaksikan mata teman-temannya sedang tertuju pada mobil Rama. Ia tentu akan sangat mati kutu jika tiba-tiba keluar dari mobil yang sedang ditatap mereka, tentu pandangan mereka otomatis akan langsung beralih kepada Tiara. Tiara pasti akan sangat mati kutu dibuatnya.
"Tidak mau turun? Masih kangen?," goda Rama masih dengan wajah datarnya.
"Apaan sih. Dasar, Om-Om genit," ucap Tiara memandang Rama keheranan karena bisa menggoda dengan wajah sedatar itu.
"Udah turun, Cerewet!" suruh Rama ketus
"Ya udah. Aku kuliah dulu ya, Bang. Makasih udah nganterin," pamit Tiara mengulurkan tangan.
Bukannya menyambut uluran tangan Tiara, Rama malah merogoh saku celananya. Tiara pun hanya diam melihat tingkah aneh Rama. Setelah mengambil dompet, Rama mengambil kartu atm dan lima lembar uang pecahan seratus ribu rupiah. Kemudian, Rama menyerahkan atm dan uang itu ke tangan Tiara yang terulur. Karena bingung dengan sikap Rama, ia pun menerima saja sambil mengernyitkan dahi.
"Abang, aku mau salim bukan minta uang. Aku masih punya uang," ucap Tiara sambil menatap Rama yang pandangannya masih lurus ke depan.
"Itu hakmu. Pin-nya tanggal pernikahan. Cepat keluar," suruh Rama.
"Ya sudahlah. Makasih lagi, Abang," jawab Tiara sedikit kegirangan.
Setelah memasukkan atm dan uang ke tas, Tiara pun bersalaman dengan Rama dan mencium tangannya. Lalu, ia keluar dari mobil setelah menghembuskan napas panjang untuk menenangkan diri agar tidak terlihat gugup. Kemudian, Rama kembali melajukan mobilnya menuju kantor.
Benar saja, teman-temannya terkejut ketika melihat Tiara keluar dari mobil mewah tersebut. Tatapan mereka seakan menghakimi dan penuh selidik. Tiara pun berusaha setenang mungkin berjalan menuju mereka, meski tiga sahabatnya sudah heboh hendak berlari ke arahnya namun dosen mata kuliah mereka sudah datang. Mahasiswa kelas Tiara pun berhambur masuk ke ruangan. Tiara pun bisa bernapas lega, meski ia harus berhutang penjelasan kepada sahabatnya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
anggita
157cm., 180cm si Rama dukur.🤔
2022-12-24
1