Setelah pernikahan Tiara dan Rama dilaksanakan, kesehatan Pak Tirta semakin membaik. Beban berat yang terlukis di wajahnya berangsur memudar berganti dengan kelegaan. Pak Tirta tentu sangat berbahagia atas pernikahan itu karena apa yang diharapkan ia dan sahabatnya telah terwujud. Pak Tirta sempat khawatir dengan kondisi cucunya jika harus dipaksa menikah dengan lelaki yang belum dikenalnya namun ternyata Tiara sanggup dan tulus melakukannya. Selepas pernikahan itu juga, akhirnya Pak Tirta mau diajak pindah ke Surabaya bersama bersama anaknya.
Selepas menjadi Nyonya Rama, Tiara pun pamit dari kos dan tinggal bersama Rama dan Bu Ina karena rumah mereka masih satu kota dengan kampusnya. Tak lupa motor matic kesayangannya dibawa karena jarak dari rumah ke kampusnya hanya 20 menit jadi Tiara bisa berangkat sendiri untuk kuliah.
Malam pertama di rumah mertua, Tiara merasa tidak nyaman dan canggung. Setelah selesai mengerjakan tugas, Tiara sangat bosan berada di kamar Rama yang didominasi warna abu-abu dengan tambahan hitam dan putih. Tiara memikirkan kesibukan apa yang bisa dilakukannya. Mau bantu di dapur, ia tak bisa memasak. Mau bantu cuci piring, takut jatuh dan pecah. Namun, di kamar terus juga dia malu dikira tidak mau berinteraksi dengan orang di rumah. Terlebih jika nanti Rama pulang dari kantor, ia tak bisa membayangkan berbagi kamar dengan lelaki.
"Ya Tuhan. Kalau ini mimpi, tolong segera bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Aku harap ini hanya mimpi," pinta Tiara setengah menggerutu.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan berdirilah sosok Rama di sana. Tiara terperanjat hampir berteriak dan langsung bangkit dari sofa. Rama pun sama terkejutnya, ia mematung sejenak namun tetap saja masuk dan melakukan rutinitasnya seperti biasa.
Jantung Tiara berpacu namun seolah aliran darah ke tubuhnya berhenti karena tangan dan kakinya terasa dingin. Lantaran sudah telanjur berdiri, Tiara pun tak punya pilihan, kecuali pergi untuk menetralkan batinnya dan menenangkan jantungnya yang hampir meledak. Saat sampai di ambang pintu, langkat Tiara terhenti oleh suara Rama.
"Aku nggak suka kamar berantakan. Bereskan laptop
dan tasmu dari sofa, kemudian taruh di lemari atau kubuang saja?" tegur Rama setengah mengancam.
Perasaan Tiara yang awalnya canggung dan salang tingkah pun berubah menjadi kesal oleh kata-kata Rama yang sangat sinis. Ia pun berbalik badan tanpa sepatah kata pun dan berjalan kembali menuju sofa dengan malas. Segera ia masukkan laptop ke tas, kemudian menentengnya menuju lemari tempat menaruh tas Rama.
"Di sini?" tanya Tiara takut salah lagi.
"Ya," jawab Rama sambil melepas dasinya dan tanpa menatap Tiara.
Setelah meletakkan tasnya di sana, Tiara pun melirik sinis kepada Tama yang memunggunginya. Tiara pun berkomat-kamit tanpa suara untuk meledek Rama diam-diam karena ia terlampau kesal.
"Aku hanya memperingatkan sekali dan tidak suka mengulang perkataan yang sama. Kalau sampai nanti terulang, sudah tau kan konsekuensinya?" ucap Rama memperingatkan.
"Iya," jawab Tiara ketus.
Tiara segera bangkit. Sebelum pergi meninggalkan kamar, Tiara pun mengacungkan bogemnya ke Rama yang masih sibuk memunggunginya sambil memasang wajah murka. Ia pun turun ke lantai satu untuk mencari keberadaan mertuanya daripada darah tinggi harus berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin eh manusia berdarah dingin.
"Dasar. Bocah," ucap Rama pada dirinya sendiri.
Selepas mandi dan berganti baju, Rama pun turun menuju meja makan. Di sana, sudah duduk Bu Ina dan Tiara yang sedang asyik berbincang. Rama merasa lebih baik saat melihat mamanya ceria karena mempunyai teman bercerita lagi.
"Rama udah datang nih. Yuk makan dulu, Sayang," ajak Bu Ina.
"Mama mau aku ambilkan nasinya?" tanya Tiara canggung.
"Boleh. Terima kasih, Mantu Cantik," jawab Bu Ina menggoda Tiara.
Tiara pun mengambilkan nasi untuk Bu Ina sambil tersipu malu. Setelah memberikan sepiring nasi ke Bu Ina, Tiara menatap Rama yang duduk di sampingnya.
"Mau kuambilkan juga?" tanya Tiara kepada Rama.
"Ya," jawab singkat Rama.
Tiara pun mengambilkan nasi untuk Rama dengan jengkel luar biasa. Kalau saja tidak ada Bu Ina, mungkin lebih baik Tiara pergi saja dari sana. Ekspresi menyebalkan Rama benar-benar mengenyangkan perasaannya.
Makan malam pun berjalan dengan aman. Untung saja, Tiara selalu disuruh mengambilkan nasi untuk keluarganya setiap kali makan di rumah, meski kadang ia sangat kesal karena sudah terlampau lapar. Ternyata, kebiasaan itu memang sangat berguna di hari pertama ospek di rumah mertua.
Selepas makan malam, Bu Ina pamit untuk beristirahat karena kelelahan setelah seharian menemani Tiara pindahan. Ia memandang di sekelilingnya dan tidak menemukan Rama. Ia pikir Rama sedang di ruang kerjanya karena tadi sempat mengatakan ke Bu Ina kalau ada projek penting yang akan dikerjakan.
Tiara bergegas menuju kamar sebelum ia mati kutu berpapasan dengan Rama. Ia membuka pintu dengan terburu-buru dan terkejut bersitatap dengan Rama yang sedang duduk di sofa. Dadanya berdesir dengan wajah bersemu merah. Dengan langkah berat, Tiara pun berjalan menuju ranjang setelah menutup kembali pintu kamarnya dengan gemetar.
Berbeda dengan Tiara, Rama terlihat lebih tenang saat bersitatap dengan Tiara. Setelah mengetahui Tiara yang membuka pintu kamar, Rama pun mengalihkan pandangan kembali ke laptop di hadapannya. Ia meneruskan pekerjaannya seolah Tiara hanya angin lalu dan tidak sedang terjadi apa-apa di sana.
Tiara pun bersembunyi di balik selimut. Pikirannya semakin tak keruan saat harus satu kamar dengan lelaki, apalagi Rama sudah cukup matang untuk memahami hal-hal yang berbau dewasa. Waktu seakan berjalan lebih lambat dan suasana mencekamnya seolah sedang terperangkap di kandang buaya. Tiara pun tak dapat menghilangkan kegelisahannya sehingga ia sulit tidur dan hanya bolak-balik di dalam selimut karena kegerahan juga.
Tiara mendadak tidak bisa bergerak karena ada beban berat di atas badannya dan membatasi ruang geraknya ke samping juga. Bahkan, tangannya tidak bisa berkutik karena dipegang dari luar. Tiara sangat ketakutan dan berusaha memberontak dari dalam selimut namun kekuatannya tak cukup untuk melawannya.
"Hei, Bocah. Kalau tak bisa diam, habislah kau malam ini. Apa butuh satu kecupan untuk bisa tidur lebih tenang?" ucap Rama sarkas.
"Tidak. Aku mohon," sahut Tiara lirih di dalam selimut.
"Makanya, jangan berisik. Aku sedang kerja. Kalau gerah, buka saja selimutnya. Jangan terlalu percaya diri kalau aku akan tergoda bocah macam dirimu," tegur Rama sambil melepaskan Tiara dan kembali ke sofa.
Tiara pun membuka selimut dengan megap-megap karena hampir kehabisan napas. Keringat dingin menjalar di seluruh tubuhnya karena was-was sekaligus gusar dengan ancaman Rama tadi. Ia merasa kali ini memang benar-benar terjebak di lubang buaya. Bulu romanya pun meremang saat melihat Rama yang begitu sibuk dan tenang dengan laptopnya. Ketenangannya berbanding terbalik dengan sikapnya tadi dan membuatnya terlihat lebih berbahaya.
Dasar omes. Otak mesum. Umpat Tiara dalam hati.
Tiara sudah tidak tahan dengan suasana di kamar itu dan berniat ingin tidur di luar saja. Saat Tiara berdiri dan hendak beranjak dari ranjang, Rama pun langsung berjalan cepat ke pintu dan menguncinya karena mengetahui gelagat Tiara. Bukan apa-apa, kalau sampai Tiara tidur di luar tentu Rama akan diceramahi panjang lebar oleh Bu Ina besok pagi.
"Tidur!" suruh Rama sambil berjalan mendekati Tiara.
"Aku tidur di luar saja biar nggak mengganggumu. Tidurku memang berisik dan nggak bisa diam," jawab Tiara mencari alasan.
"Tidur atau aku..." ancam Rama.
Rama terus mendekati Tiara dengan berkacak pinggang hingga Tiara berhenti karena menabrak tempat tidur. Tiara pun tak bisa lagi berkutik.
"Iya. Aku tidur. Bawel banget sih," sahut Tiara sembari melompat ke kasur.
Tiara segera menyembunyikan badannya di balik selimut tebal dan menyisakan wajahnya untuk tetap terbuka agar napasnya lancar. Ia pun memejamkan mata, meski tidak mengantuk sama sekali. Ia masih mencari cara untuk diusir Rama dari kamar itu.
Gggrrrr gggrrrrr
Tiara pura-pura mendengkur dengan mata terpejam.
"Tiara, tidur! Aku tahu ini akal-akalan kamu aja," suruh Rama dengan nada kesal.
Tiara pun membuka mata dan melirik sinis ke arah Rama. Lalu, ia mencebik dan menyerah karena Rama sepertinya susah diakali. Di tengah kekesalannya, rasa lelah tiba-tiba membuat matanya sulit menahan kantuk sehingga ia bisa tidur nyenyak dan lebih tenang. Malam pertamanya bisa dilalui dengan damai dan saat ia bangun pun Rama tertidur di sofa.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments