Pak Adi dapat menangkap kebimbangan dan ketidaksukaan di wajah Tiara. Ia tak dapat berbuat banyak untuk membujuk ataupun membela putrinya karena Tiara mempunyai hak untuk menentukan pilihannya. Ia hanya perlu mendukung jika hal itu baik dan menegur jika hal itu kurang bermanfaat. Akan tetapi, melawan Pak Tirta dalam kondisi kesehatan seperti ini juga bukan cara yang bagus untuk membela diri. Alih-alih mendapat solusi malah takut akan memperparah kondisi ayahnya.
"Kalau Adi, terserah pada Tiara saja, Yah. Bagaimana pun yang akan menjalani adalah Tiara. Adi hanya bisa support apa pun yang menjadi keputusannya. Bagaimana, Ra?" tegas Pak Adi.
"Ayah, Tiara belum siap. Tiara masih mau fokus kuliah. Banyak cita-cita yang belum bisa Tiara raih. Beri waktu Tiara untuk mempertimbangkan semuanya. Lagian, bagaimana mungkin Tiara menikah dengan lelaki yang belum Tiara kenal. Tolong, beri waktu Tiara untuk mempertimbangkan semuanya," pinta Tiara meyakinkan ayah dan kakeknya.
"Saya sedikit paham apa yang kamu rasakan, Nak. Tentu tidak mudah untuk memutuskan ini. Mungkin, memang lebih baik kita beri waktu Tiara dan Rama untuk saling mengenal dulu. Setelah itu, biarkan mereka bebas menentukan untuk berhenti atau melanjutkan," usul Bu Lia hati-hati agar tidak ada yang tersinggung dengan ucapannya.
"Betul. Saya juga setuju dengan usul Bu Lia. Tetapi, saya berharap besar bahwa perjodohan ini dilanjutkan karena memang sudah wasiat dari almarhum Papa Rama dan Rama juga sudah 28 tahun jadi sudah ideal untuk menikah," sahut Bu Ina sangat yakin.
"Tante, maaf menyela. Saya ini masih 20 tahun. Kuliah saja baru semester empat. Selain itu, saya juga belum banyak tahu dan belum banyak bisa tentang urusan rumah tangga. Saya takut tidak bisa maksimal menjalani peran sebagai istri dan mahasiswa," sela Tiara mencoba meyakinkan pelan-pelan.
"Tiara, Tante tidak memaksa kamu untuk bisa semuanya yang penting kamu mau menikah saja dengan Rama tentu sudah lebih lega karena sudah melaksanakan amanat dari mendiang Papa Rama. Saya tidak akan menuntut kamu ini itu, apalagi perkara cucu. Saya malah mendukung kalau kamu lebih fokus kuliah dulu sambil mengalir saja berkenalan dengan Rama," terang Bu Ina dengan suara lembutnya.
Kalau sudah begini, Tiara tak dapat lagi berkutik. Ia kehabisan alasan untuk mengelak dari perjodohan konyol itu. Tiara tertunduk lesu enggan menanggapi percakapan tentang perjodohan yang baginya sangat mengerikan.
"Tiara, tolong ya," pinta Pak Tirta dengan suara lemah.
"Tapi, Kek..." sahut Tiara terpotong karena tiba-tiba saja Pak Tirta pingsan.
Pak Tirta tidak sadarkan diri dan membuat panik orang-orang di kamarnya. Wajahnya begitu pucat dengan sekujur tubuhnya dingin. Pak Adi berusaha mendengarkan detak jantung dan memeriksa pernapasan Pak Tirta. Ia sedikit lega karena masih ada tanda kehidupan di sana.
Pak Adi pun menepuk pipi ayahnya sambil menyuruh Tiara untuk menghubungi Dokter Harun agar segera ke rumah untuk memeriksa kondisi Pak Tirta. Tiara pun segera pergi ke ruang depan agar lebih tenang suasananya, sedangkan Bu Lia mulai memijit jempol dan kaki mertuanya.
"Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, Nak Adi?" tanya Bu Ina cemas.
"Nanti saja, Bu. Menunggu Dokter Harun karena untuk dibawa ke rumah sakit dengan alat-alat ini juga perlu dokter dan tenaga medis yang mendampingi. Lagian, Ayah sudah kalau disuruh bermalam di rumah sakit," jawab Pak Adi mencoba menenangkan kepanikannya.
"Persis dengan almarhum Papa Rama. Beliau gampang kalau disuruh periksa namun untuk opname lebih baik rawat jalan dii rumah saja," sahut Bu Ina teringat suaminya.
Di ruang depan, Tiara menghubungi Dokter Harun dan mengabarkan bahwa kakeknya pingsan lagi. Dokter Harun yang saat itu sedang dinas di rumah sakit pun langsung meminta izin sebentar untuk pergi memeriksa kondisi Pak Tirta. Kemudian, Tiara segera menghubungi keluarganya, termasuk Riza dan Aksa.
Setelah itu, Tiara pun mendudukkan diri dengan kasar di sofa ruang tamu. Kegelisahan tak bisa lagi disembunyikan karena perasaannya semakin kacau. Tiara sangat merasa bersalah atas kondisi Pak Tirta yang tiba-tiba memburuk karena penolakannya terhadap perjodohan yang telah direncanakan sejak lama. Menerimanya juga seakan terlalu mustahil karena ia merasa masih terlalu muda untuk menjalaninya.
...****************...
Kedatangan Dokter Harun pun menarik Tiara dari lamunannya. Tiara mengantar Dokter Harun sampai depan kamar Pak Tirta. Selepas itu, ia kembali merebahkan diri di sofa ruang tamu. Tiara memejamkan mata dan memijit kepalanya yang sedikit pening seolah mau meledak karena terlalu sesak oleh berbagai pikiran yang muncul bersamaan.
Beberapa saat, Tiara pun larut dalam pikirannya hingga tak menyadari kehadiran Rama di sampingnya. Ia masih terpejam sambil mengatur napas untuk menenangkan batinnya.
"Masuklah ke kamar. Pak Tirta mencarimu," tegur Rama mengagetkan Tiara.
Tiara dikejutkan oleh Rama yang sudah berdiri mematung di sampingnya tanpa ekspresi dan suara datar. Bahkan, Rama berbicara dengannya tanpa menatap sama sekali. Cara berbicaranya pun singkat dan sangat seperlunya, tidak ada basa-basi atau permisi.
Tanpa sengaja, Tiara malah terlalu lama larut dalam pikirannya dengan tatapan lekat kepada Rama. Tiara masih heran dengan manusia yang satu itu.
"Sampai kapan mau menatapku seperti itu? Ayo cepat! Sudah ditunggu," desak Rama dengan sinisnya.
Menyaksikan ekspresi Rama yang tidak bersahabat, Tiara buru-buru bangkit dan berjalan menuju kamar. Tiara masih bingung dengan sikap Rama yang bisa berubah menjadi segarang itu dalam waktu singkat. Hal itu cukup membuat bulu romanya bergidik
Sesampainya di kamar, Dokter Harun telah selesai memeriksa Pak Tirta dan sedang pamit untuk melanjutkan tugasnya di rumah sakit. Tiara pun menghambur ke pelukan Pak Tirta yang sudah siuman namun masih tergolek lemah di tempat tidur. Lalu, ia duduk di samping Pak Tirta yang tersenyum tipis kepadanya. Ditatapnya wajah sang kakek yang semakin kuyu dan merenta. Mata Pak Tirta menatapnya penuh harap membuat benteng pertahanan Tiara mulai runtuh. Perlahan, keras hatinya pun kian luruh. Bagaimanapun, Pak Tirta memang begitu meratukannya karena dia adalah cucu perempuan satu-satunya. Meski Pak Tirta juga tidak membeda-bedakan ia dengan Aksa ataupun Riza yang juga cucunya namun karena Tiara itu perempuan jadi proteksinya lebih kepadanya.
Akan tetapi, membayangkan pernikahan saja rasanya sangat takut jika ruang geraknya menjadi terbatas. Belum lagi ia harus membagi waktu antara kuliah dan melayani suaminya, tentu bisa menyita waktunya hingga sulit mencari celah untuk hang out bersama sahabatnya. Terlebih lagi, pemikiran tentang pernikahan masih terlalu abu-abu baginya.
Di sisi lain, Tiara juga ingin membahagiakan Pak Tirta. Selama ini, Pak Tirta selalu menuruti setiap permintaanya dan tidak pernah meminta apa pun kepadanya. Bisa dibilang, inilah permintaan pemintaan pertama Pak Tirta kepadanya jadi sangat berat untuk menolaknya namun menerima pun sama beratnya.
Menyelia kebimbangan di raut Tiara pun membuat hati Pak Tirta terketuk. Ia menyadari bahwa Tiara berhak melanjutkan hidup dengan jalan yang dipilihnya. Rasa iba dan bersalah mulai muncul karena telah memaksa cucunya untuk berkorban dengan kebahagiaan dia semata.
"Tiara, itu hanya harapan dan pemintaan terakhir Kakek kepadamu. Jika memang terlalu berat, kamu boleh menolaknya. Kakek tidak apa-apa,. Kakek tidak ingin lagi kehilangan orang tersayang karena keegoisan Kakek," tegas Pak Tirta tulus dengan mata berkaca-kaca.
"Kakek jangan bilang seperti itu. Kakek masih boleh meminta apa saja kepada Tiara," sahut Tiara khawatir.
Tiara langsung mengusap tangan Pak Tirta yang terasa dingin dan gemetar menahan gejolak batinnya. Kentara sekali raut kesedihan dan kekecewaan di mata sayunya. Pak Tirta tentu sedang berkaca pada masa lalunya yang menguras air mata. Tiara paham betul jalan hidup yang dilalui Pak Tirta sangat berat karena harus membesarkan 2 anak seorang diri. Nenek pergi entah ke mana bersama lelaki pilihannya sehingga ia harus menjalankan dua peran sekaligus. Tak kuat Tiara menahan air mata setiap mendengar kisah Pak Tirta.
Kali ini, Tiara pun menurunkan egonya walaupun batinnya dilanda kegundahan luar biasa. Ia mulai mempertimbangkan keputusannya. Kalau bukan Pak Tirta yang meminta tentu ia akan langsung menolak mentah-mentah. Ia tahu Pak Tirta takkan memilihkan lelaki sembarangan untuknya namun lagi-lagi ia heran mengapa harus Rama. Ia mulai bertanya-tanya apakah kakeknya tahu betapa dingin dan cueknya Rama atau memang Rama pandai bersandiwara.
"Abang Rama, memang kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Tiara memberanikan diri bertanya kepada Rama.
Semua orang di ruangan itu pun terkesiap mendengar pertanyaan Tiara, kecuali Rama yang masih bertahan dengan wajah datarnya. Diam-diam, Bu Ina dan Pak Tirta tersenyum sekilas. Lain halnya dengan orang tua Tiara, mereka takut Tiara melakukan ini hanya karena iba kepada kakeknya bukan karena sudah mantap hatinya.
"Setuju. Ini amanat Papa dan aku akan menjalankan dengan sebaik-baiknya," jawab Rama penuh keyakinan.
Tatapan Tiara beralih ke Pak Adi dan Bu Lia yang terlihat harap-harap cemas terhadap batin putrinya.
"Ayah. Bunda. Kalau Tiara menerima perjodohan ini, apakah kalian akan merestuinya?" tanya Tiara meminta perdapat.
Bu Lia langsung duduk di depan Tiara dan meraih wajah Tiara. Ditatapnya lekat-lekat mata Tiara yang tidak bisa berbohong kepadanya. Ia melihat beban berat di sana namun begitu tulus kata yang keluar dari bibir Tiara. Ia paham betul betapa sayang ia kepada kakek yang selalu memanjakannya.
"Tiara bisa mempertimbangkan lagi kok. Tidak perlu buru-buru mengambil keputusan. Masih banyak waktu untuk memikirkan semua," ucap Bu Lia menguji keyakinan hati Tiara.
"Nggak, Bunda. Tiara sudah memikirkan semua. Tiara hanya mengikuti kata hati saja. Tiara menerima perjodohan ini," sahut Tiara dengan berat hati.
Antara bimbang dan bahagia, orang di kamar Pak Tirta pun hanya menghela napas lega tanpa bisa berucap apa pun. Tiara mencoba menata hatinya. Tentu sangat berat baginya namun entah dorongan dari mana yang membuat ia dengan rela menerimanya.
"Bisakah kalian menikah lusa? Sepertinya, dua hari cukup untuk mengurus berkasnya. Kakek berharap yang penting kalian sah dulu. Dengan begitu, Kakek bisa lebih tenang. Tenang kalian sudah menikah. Tenang juga meninggalkan Tiara di Jakarta karena sudah ada yang menjaganya," pinta Pak Tirta penuh harap.
Tiara terbelalak mendengar permintaan Pak Tirta yang jauh di luar dari ekspektasinya, bahkan tak terpikirkan sama sekali pernikahannya akan secepat itu. Jantung Tiara benar-benar berdegup dengan kencang. Tiara masih terkejut dan terdiam. Namun, ia memilih menerima karena pada akhirnya juga tujuan dari perjodohan ini tentu pernikahan. Ditambah Rama juga mengangguk, tak ada lagi alasan baginya untuk menolak.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Coretan Lusuh
pilihan yg berat
2022-12-24
1
Susi lestari
lanjut..
tetap semangat...✊✊
2022-12-02
1