...Happy Reading...
...****************...
Sudah sebulan Rein tinggal bersama keluarga Ranti dan Bahar. Rein jadi lebih akrab dengan keluarga itu. Bahkan Ranti dan Bahar sudah menganggap Rein seperti anak mereka sendiri. Rein sangat betah tinggal di sana, hanya saja Rein tidak bisa melupakan teman-temannya yang tidak bisa ditemukan walaupun warga sudah berusaha menyisir sungai. Rein berpikir, jika kemungkinan kedua temannya sudah meninggal.
Ada satu hal yang selalu membuat hati Rein seperti terganjal sesuatu, yaitu Abian. Ia sulit sekali membuat Abian mau berbicara, padahal ia ingin sekali membuat keluarga baik hati itu juga bahagia. Kesembuhan Abian adalah kebahagiaan mereka.
"Abah lagi apa?" Rein bertanya pada Bahar yang tengah bersantai di teras depan bersama Abian. Berjalan tertatih dengan menggunakan tongkat penyangga di tangan, Rein mendekati mereka, lalu duduk di kursi tunggal yang tidak ada penghuninya. Kaki Rein sudah lebih membaik. Rein bahkan sudah bisa belajar berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga lagi, tetapi harus pelan-pelan.
"Abah lagi ngisi ini, Neng." Bahar menunjukkan sebuah buku jadul yang bertuliskan 'Teka-teki Silang' di halaman depannya, "tadi Ambu beli ini di pasar, nyuruh Abah isiin biar tambah pinter katanya. Maklum, Neng. Abah, mah, dulu nggak sekolah. Kebanyakan hidup di jalan," imbuh Bahar.
Rein tersenyum pelik. Ia juga pernah hidup di jalanan, sebagai pencuri tentunya. Namun, ia beruntung karena masih bisa sekolah. Rein ingat, Ranti pernah bercerita kepadanya jika Bahar adalah seorang preman pensiun yang disadarkan oleh anak-anaknya. Anak-anak Ranti adalah aparat polisi. Walaupun ayahnya seorang preman, anak-anak Ranti adalah anak yang pintar. Mereka pun bertekad menjadi orang yang besar.
Namun sayang, Rein tidak pernah tahu jika anak-anaknya Ranti adalah seorang polisi. Hal ini berkaitan dengan Abian. Anak kecil itu akan histeris jika mengingat profesi ayahnya. Bahwasanya sang ayah meninggal saat mengenakan seragam polisi tepat di hadapannya. Abian merasakan trauma yang sangat besar, terlebih ketika ibunya juga menyusul karena mengalami pendarahan saat hamil besar. Sang ibu mengalami shok berat, ketika melihat suaminya tertembak.
Ranti dan suaminya berjanji, tidak akan membahas apa pun yang berkaitan dengan polisi. Bahkan anak bungsunya pun tidak boleh mengenakan baju seragamnya saat berkunjung. Semua foto keluarga yang memampangkan kegagahan seorang pahlawan negara, terpaksa disimpan di gudang. Semua itu demi menjaga perasaan Abian.
"Abah bisa ngisinya?" tanya Rein lagi. Ia tersenyum ketika melihat Bahar sedang menggigit ujung pensil sambil berpikir.
"Ada yang bisa, ada yang nggak," jawab Bahar, "bantuin abah, Rein! Tapi jangan bilang sama Ambu, nanti abah diomelin," imbuhnya memelas.
Rein tersenyum, kedua matanya melirik pada Abian yang tengah duduk di sisi kiri Bahar. Seperti biasa, anak kecil itu masih bersikap acuh sembari menatap hujan yang turun sore itu.
"Memangnya Bian nggak bantuin Abah?" tanya Rein memancing perhatian anak tersebut. Abian hanya melirik sebentar tanpa menyahut.
"Abian mana mau bantu, ngomong aja nggak mau," dengus Bahar sambil menghela napas kasar. Ia menyimpan buku TTS di atas meja yang menjadi penyekat antara Rein dan Bahar.
"Kalau gitu Rein juga nggak mau bantu. Nanti Rein diomelin Ambu kalau ketahuan bantuin Abah," tolak Rein pura-pura takut. Ekor matanya selalu mengawasi Abian, ingin mengetahui respon anak tersebut. Namun, Abian masih sibuk menatap hujan.
"Ya udah, gini aja. Biar Rein bacain soalnya, nanti Abah yang jawab. Nanti Rein bantuin nulisin isinya juga, cukup apa nggak sama kotaknya," usul Rein yang akhirnya disetujui oleh Bahar. Lalu pertanyaan pertama pun dibacakan olehnya.
"Pertanyaan mendatar, lima huruf. 'Hari setelah hari Kamis.'"
"Besok."
Jawaban spontan dari Bahar membuat Rein melongo, pun dengan Abian yang ikut menoleh pada abahnya.
"Besok?" ulang Rein memastikan pendengarannya.
"Iya, atuh. Sekarang, kan, Kamis. Berarti hari setelah sekarang, ya, besok."
Tawa Rein hampir meledak, saat mendengar penjelasan dari Bahar. Namun, sebisa mungkin dia menahannya. Pandangannya masih mengintai perhatian Abian. Samar dia melihat bibir Abian yang sedikit terbuka. Sepertinya anak itu juga merasa gatal untuk membenarkan jawaban abahnya. Rein berpikir, ini adalah respon yang baik dari Abian. Ia pun mempunyai ide yang cemerlang.
"Oke, kita cobain dulu, ya, Bah." Rein menuliskan huruf demi huruf kata 'besok' pada kotak kosong tersebut, dan ternyata cukup, "cukup, Bah. Pinter, Abah!" seru Rein pura-pura setuju dengan jawaban Bahar.
"Abah, tea, atuh!" seru Bahar berlaga pongah dengan logat Sundanya.
Mendengar itu Abian bereaksi lagi. Ia menatap sengit pada Rein, tetapi Rein pura-pura cuek dan melanjutkan pertanyaan yang lain.
"Enam huruf, lawan surga."
"Itu mah gampang, pasti cilaka alias celaka, jawabannya." Dengan yakin Bahar menjawabnya.
"Kenapa celaka, Bah?" tanya Rein penasaran sambil menahan tawa.
"Ya, kalau mau melawan surga mah, berarti celaka urusannya."
Kali ini Rein benar-benar tertawa. Dia tidak tahan dengan jawaban Bahar yang sebenarnya ada benarnya juga.
"Malah ketawa. Ayo, tulis. Kalau cukup berarti bener," perintah Bahar. Rein menuliskan jawaban, dan tentu saja hurufnya cukup mengisi kotak kosong tersebut.
Sore hari yang disambut oleh tetesan air hujan tak membuat mereka kedinginan. Suasana malah terasa hangat dengan tawa Rein yang kadang-kadang tergelak. Ia sudah berusaha menahan tawa, tetapi setiap jawaban yang terlontar dari mulut Bahar selalu sukses membuat tawanya pecah seketika. Rein tidak bisa menyalahkan setiap jawaban Bahar, karena alasan lelaki itu selalu masuk di akal.
Abian yang merasa kesal, akhirnya tidak bisa tinggal diam. Ia merampas buku TTS serta pensil yang dipegang oleh Rein. Kemudian menghapus semua jawaban yang sempat Rein tulis di sana. Lantas Abian menggantinya dengan jawaban yang sesuai.
"Ini baru jawaban yang bener. Kalian berdua bener-bener payah."
Rein dan Bahar melongo takjub mendengar Abian berbicara. Setelah sekian purnama, akhirnya Abian mau mengeluarkan suara emasnya.
"Abah lagi nggak mimpi, kan? Ini cucu abah yang lagi ngomong?" Bahar berkata sambil menatap Abian dengan takjub.
Rein menyunggingkan sebuah senyuman. Inilah yang Rein inginkan. Membuat Abian kesal dan merasa gatal untuk mengungkapkan unek-uneknya atas kesalahan jawaban mereka. "Iya, Bah. Itu suara Bian." Rein menjawab sambil mengusap lengan Abian, "kamu pinter, Sayang," ucapnya memuji Abian.
Abian terdiam menatap Rein, sedangkan Bahar bertingkah heboh memanggil istrinya yang tengah berada di dapur. "Ambu ... Ambu ... cucu kita sudah nggak jadi master Limbad lagi. Dia udah mau ngomong, Ambu!" teriaknya sambil berlari menghampiri istrinya.
Rein tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah Bahar. Hening sejenak, hanya terdengar suara gemericik air yang turun dari atas atap.
"Kamu mau main hujan?" Rein bertanya pada Abian yang masih mematung di tempatnya. Ia seperti tidak percaya, jika dirinya bisa terjebak dan mau membuka suara.
Tak ada jawaban, Rein pun kembali melontarkan kalimatnya. "Waktu Kak Rein masih seumuran kamu, Kak Rein suka main hujan. Ada yang orang yang bilang, kalau air hujan bisa menutupi kesedihan. Kita bisa menangis di bawah guyuran hujan tanpa ada orang yang sadar. Sekali-kali nggak apa-apa, kok, main hujan," imbuhnya lagi.
Abian terdiam sambil berpikir. Anak itu sudah tahu, jika Rein juga dari kecil sudah yatim piatu, lalu beberapa saat kemudian anak kecil itu berdiri dan menganggukkan kepalanya. Rein pun tersenyum lalu membawa anak tersebut ke halaman. Tak memakan waktu lama untuk membuat tubuh mereka kebasahan. Rein berkata pada Abian untuk menumpahkan segala kesedihannya di sana. Abian menangis di bawah guyuran hujan sambil memeluk Rein.
Cukup lama Rein mengajak Abian bermain air. Untuk pertama kalinya Abian terlihat ceria dan bisa tertawa. Sedangkan di sisi lain, Ranti dan Bahar tengah menangis terharu sambil memperhatikan cucunya yang terlihat tertawa untuk pertama kalinya setelah anak mereka meninggal. Bahkan Ranti juga merekam kejadian itu untuk dikirimkan kepada anak bungsunya—Aska.
...****************...
TBC....
Jangan lupa like, favorit, komentar, sama giftnya, ya. Mamacih. 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nyesek aku,Pasti Rein nyesel banget tuh kalo dia tau Ortu Abian meninggal karena dia dengan temen2 nya..
2024-11-07
0
Qaisaa Nazarudin
Nah kan berhasil abah dengan Rein mancing Anian bicara..yaaayyyy👏👏👏👏👏👍👍👍
2024-11-07
0
Qaisaa Nazarudin
Hadeeuuhhh ngakak aku thor. 🤣🤣🤣🤣
2024-11-07
0