...Happy Reading...
...****************...
Pancaran sinar mentari pagi menembus setiap celah yang ada di satu ruangan kamar. Membuat Rein yang tengah terpejam merasa terganggu dengan sinarnya. Kedua matanya terbuka perlahan, menyesuaikan bias cahaya yang terasa menusuk kedua netranya.
Rein tersadar dan menemukan dirinya berada di sebuah kamar yang terlihat asing baginya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan kamar. Ia mendapati seorang anak kecil berusia sekitar delapan tahunan tengah duduk sendirian di dekat ranjangnya. Anak kecil itu terus menatap dirinya tanpa berbicara.
"Kamu siapa? Saya di mana ini?" Rein bertanya pada anak kecil tersebut.
Namun, bukannya menjawab anak kecil itu malah melengos pergi meninggalkan dirinya. Rein merasa heran, dan pada saat ia hendak menggerakkan badan, ia mendesis kesakitan. Merasai rasa sakit yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya, terutama di bagian kakinya. Sejenak Rein berpikir, mencoba menyatukan kembali potongan puzzle peristiwa yang terjadi, sebelum dirinya tersadar di tempat ini. Kecelakaan nahas yang menimpanya beserta teman-temannya masih terekam jelas di kepalanya.
"Ternyata gue nggak mati." Rein bermonolog sendiri. Embusan napasnya terdengar lega, walaupun rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya.
Tak berapa lama, anak kecil tersebut kembali bersama seorang laki-laki dan perempuan paruh baya. Mungkin mereka adalah orang tua dari anak tersebut. Begitulah pikir Rein.
"Alhamdulillah, kamu udah sadar, Neng!" seru perempuan paruh baya yang Rein tidak kenal.
Rein sedikit tersentak karena sempat melamun sebelumnya. Ia memasang sebuah senyuman manis di bibir. Kedua netranya memperhatikan perempuan paruh baya yang mendekat, lalu duduk di sampingnya. Sedangkan laki-laki yang bersamanya, berdiri di samping Rein, diikuti oleh anak kecil tadi.
"Ibu yang menyelamatkan saya?" tanya Rein. Tatapannya sendu mengisyaratkan rasa terima kasih yang teramat besar.
"Kemarin sore suami dan cucu ambu ini yang menemukan kamu terdampar di pinggir sungai, lalu dibawa pulang," terang Ranti sambil menunjuk kedua laki-laki beda usia yang berdiri di dekat mereka.
Bahar tersenyum ketika Rein menatap dirinya.
"Makasih, atas pertolongan kalian," ucap Rein tulus.
"Iya, Neng, sama-sama. Panggil saja 'abah'!" pinta Bahar.
"Panggil juga saya 'ambu', Neng," tukas Ranti, "eh, iya kenalin. Nama ambu, Ranti. Ini suami ambu, namanya Bahar. Ini cucu ambu, namanya Abian. Kalau nama Neng, siapa?" Ranti mengabsen satu persatu keluarganya di hadapan Rein.
Rein mengangguk sambil tersenyum. Mulutnya baru saja terbuka hendak menjawab, tetapi urung karena Bahar tiba-tiba menyela.
"Eh, Neng, kamu nggak ngalamin anemia, kan?" Pertanyaan Bahar membuat Rein sontak mengernyitkan keningnya.
"Anemia?" ulang Rein tidak mengerti.
"Naon atuh, Bah?" Ranti pun ikut bertanya.
"Itu, loh, Mbu. Kayak yang di film-film, yang suka lupa ingatan itu," cetus Bahar dengan serius, "soalnya si Eneng malah senyum aja waktu ditanya namanya."
Rein menahan tawa menanggapi celotehan Bahar. "Amnesia, Bah," ralatnya kemudian.
"Oh, udah ganti nama, ya?"
"Emang dari dulu namanya itu, Abah. Si Abah ini ada-ada saja. Sok tahu pisan (banget)!" decak Ranti yang kesal dengan ulah suaminya, lalu beralih pada Rein lagi, "eh, tapi kamu beneran nggak amnesia, kan?" tanya Ranti malah mengikuti pertanyaan suaminya.
Rein menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Saya masih inget semuanya, kok. Nama saya Rein. Saya ingat, waktu itu saya bersama dua teman saya mengalami kecelakaan mobil di jalanan curam menuju tempat wisata. Mobil kami masuk jurang dan tenggelam di sungai. Terima kasih sudah menyelamatkan saya."
"Alhamdulillah, berarti Allah masih memberikan kamu kesempatan untuk hidup melalui kami, Neng" sahut Bahar. Rein mengangguk sambil tersenyum.
"Kamu dari luar kota?" tanya Ranti
Rein mengangguk lagi, lalu ia teringat dengan perkataannya sendiri di detik-detik dirinya mengingat mati. Dia juga teringat akan nasib teman-temannya. Apakah mereka masih hidup juga?
"Ehm ... Abah, Ambu, apa mungkin teman-teman saya juga masih hidup? Apa Abah tidak menemukan mereka juga?" Rein bertanya lagi, ia berharap teman-temannya juga selamat.
"Bapak hanya nemuin kamu, tapi kalau kamu memang nggak sendiri. Abah bisa kerahkan warga di sini untuk menyisir sungai. Barangkali mereka juga terseret arus sampai ke sini," ujar Bahar.
"Terima kasih, Bah. Saya berharap mereka juga selamat." Rein berkata sendu. Ranti yang merasa kasihan merengkuh tubuh Rein agar masuk ke dalam pelukannya.
"Sabar, ya, Neng Rein. Semoga teman-temannya juga selamat. Untuk sementara kamu tinggal di sini saja dulu. Semalam, Pak Mantri bilang, sebelah kaki kamu mengalami patah tulang dan cedera otot. Sepertinya kamu bakal susah berjalan." Setelah memberitahu hal tersebut, Ranti mengurai pelukannya. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipi Rein.
Rein menatap kakinya yang diperban.
"Ngga apa-apa, Neng. Nanti juga sembuh. Kami senang kalau kamu tinggal di sini. Jadi Abian ada temannya," seru Ranti lagi, sambil menoleh pada cucunya yang masih berdiri.
Pandangan Rein juga beralih pada anak kecil yang selalu menatapnya dari tadi. "Hai, jadi namamu Abian?" sapanya yang tidak mendapatkan tanggapan. Abian hanya diam dengan raut wajah datar.
"Maafkan Abian, Neng. Dia lagi mogok ngomong," pungkas Bahar sambil mengusap puncak kepala cucunya yang berusia delapan tahun tersebut.
"Mogok ngomong? Kenapa?" tanya Rein penasaran.
"Dia seperti itu semenjak kedua orang tuanya meninggal enam bulan lalu. Kami udah berusaha mengajaknya berbicara, tapi dia selalu menutup mulutnya," ujar Ranti dengan nada sedih. Kedua matanya menatap iba pada cucu semata wayangnya tersebut.
***
"Kamu nggak boleh su'udzon terus sama orang! Mentang-mentang polisi, bawaannya curiga terus sama orang asing. Ambu yakin, Rein itu perempuan baik-baik. Ambu nggak pernah lihat gelagat aneh selama seminggu dia tinggal di sini. Dia juga cantik, loh, As. Kapan kamu pulang? Nanti kalian bisa kenalan." Ranti tengah mengobrol lewat sambungan telepon bersama putra bungsunya. Ia duduk di saung belakang rumahnya. Menghindarinya Abian yang tidak boleh mendengar pembicaraan mereka.
"Nanti kalau tugas-tugas Aska udah selesai, Aska sempatkan pulang. Pokoknya Ambu harus tetap waspada. Jangan terlalu percaya sama orang asing!" Suara bariton di seberang telepon mengingatkan lagi.
"Iya, Aska, iya. Kalau nanti kamu ketemu terus kamu suka sama dia. Ambu setuju, pisan." Ranti tertawa kecil, lalu terjeda sejenak ketika ia mengingat sesuatu. Ranti pun menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. "Eh, As. Gimana dengan penyelidikan kasus kematian Aa (kakak) kamu? Pelakunya udah tertangkap?" tanya Ranti pelan-pelan. Ia tidak ingin Abian mendengar.
"Belum, Mbu. Perampok itu benar-benar profesional, mereka tidak meninggalkan jejak sama sekali. Pihak polisi juga tidak bisa menahan seseorang tanpa bukti."
Ranti menghela napas kasar. Sudah enam bulan kasus perampokan di rumah putra sulungnya terjadi, tetapi pelakunya masih belum diketahui. Ranti ingin pelakunya segera tertangkap, karena ia tidak rela harus kehilangan putranya dengan cara seperti itu.
"Ambu lagi telepon sama siapa? Kenapa ngumpet di sini?" Ranti tersentak saat mendengar seseorang bertanya kepadanya. Dia adalah Rein yang datang bersama Abian. Kini, Rein sudah bisa berjalan pelan, tetapi masih dibantu tongkat penyangga di kedua tangan.
"Eh, Rein. Ambu lagi telepon sama anak ambu. Namanya Aska. Kamu mau kenalan? Sebentar, Ambu gedein dulu suaranya, ya." Ranti hendak menekan tombol loudspeaker pada layar ponselnya, tetapi urung karena melihat panggilannya sudah berakhir.
"Loh, kok, mati? Si Aska ini gimana, atuh. Ambu, kan, belum selesai telepon." Ranti mengomel pada layar hitam di hadapannya.
"Mungkin sinyalnya jelek, Ambu. Atau ... anak Ambu nggak mau kenalan sama aku." Rein tertawa kecil saat mengatakan itu.
Tbc ....
Lanjut besok lagi, ya. Jangan lupa like sama favorit. Kasih komentar juga biar rame. Makasih 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah kan,Pasti itu Rein dan temen2 nya..hadeuuhh...gimana-gimana nih..
2024-11-07
0
Qaisaa Nazarudin
Wah insting nya pak polisi emang kuat ya..
2024-11-07
0
Qaisaa Nazarudin
Amnesia bah bukan Anemia...
Wah boleh juga tuh Rein pura2 Amnesia aja,Biar gak ketahuan siapa kamu,Ntar nama kamu tukar yg lain juga..😀
2024-11-07
0