Gadis yang terkulai lemas itu dimasukkan ke dalam sebuah kamar berukuran 3x2 meter. Hanya ada tempat tidur dan sebuah meja kecil. Dan cahaya lampu berwarna jingga.
Ia merintih kesakitan, ia tidak mengerti apa yang terjadi padanya.
Seluruh tubuhnya sakit ketika ia mencoba menggerakkannya. Dari bibirnya pelan suara memanggil mama dan papanya.
"Tiyah....
Tiyah....
Tiyah...
bangun sayang!"
"Papa?" ucap Datiyah dengan wajah senang. Meski tubuhnya terkulai lemah di atas tempat tidur.
"Kamu ingat nggak kisah seorang wanita yang kuat, yang pernah Papa ceritakan?" melangkah duduk di samping tubuh Tiyah.
"Emm ingat," jawab Datiyah mengangguk lemah.
"Tiyah, bisa kan sekuat dia?"
"Emm..bisa! kan Tiyah sudah janji akan jadi wanita kuat dan lindungin Mama sama Papa." sambil tersenyum lemah dia ingin menjawab dengan lantang, tapi tubuhnya tidak mengizinkannya.
"Tapi pah, tadi Tiyah lihat Mama nangis. Tiyah pengen tolong Mama, tapi Tiyah malah kesakitan." Tiyah menangis.
"Sayang, maafin Papa, tapi papa yakin Tiyah bisa kuat dan jadi anak yang hebat. Di mana ada harapan selalu ada jalan. Selama kamu masih hidup mempunyai harapan, maka pasti ada jalan." Ucap Papanya mengelus rambut Datiyah.
Datiyah hanya tersenyum, lalu meringkuk layaknya posisi janin, menggenggam liontin di lehernya, yang merupakan hadiah dari Ayahnya.
Liontin yang bertuliskan "Spero Spera yang artinya selama ada kehidupan maka akan ada harapan."
Dan Tiyah tenggelam dalam dunia mimpinya.
Meskipun ia tak yakin, yang baru dilihatnya adalah mimpi atau bukan.
Mengingat masa bahagia bersama keluarganya.
Dia diajarkan berbagi, ayahnya memperlihatkan betapa beruntungnya Datiyah dan menyuruhnya membagi sedikit keberuntungannya pada orang lain.
Di panti asuhan, di jalanan, di manapun mereka melihat orang yang membutuhkan.
Dan yang paling dinantikan Datiyah adalah ucapan do'a dari orang-orang itu.
Semuanya mendo'akan kebaikan dan kebahagiaan untuk Datiyah. Dia juga ikut berdoa dengan mereka dan untuk mereka.
Setulus hatinya memohon, semoga dia bisa selalu diberikan kebaikan dan kebahagiaan agar dia juga bisa membaginya pada orang lain.
Papanya atau yang biasa di panggil Tuan Fuad, hanyalah laki-laki miskin yang hidup tanpa harta, hanya sebuah gubuk kecil di mana ia dan Ayahnya tinggal. Ibunya sudah lama meninggal.
Kehidupan mengajarkannya tentang pentingnya membantu orang lain.
Karena itu yang dirasakannya saat Keluarga Gunawan menawarkan beasiswa pada siswa berprestasi.
Dan beruntungnya, dia adalah salah satu siswa itu.
Dia hidup dengan bekerja keras, bersama Ayahnya.
Ayahnya, yang selalu mengajarkannya tentang arti kepercayaan, kesungguhan, kesetiaan, kebenaran, kejujuran sejak ia masih kecil.
Meskipun semua itu adalah hal yang sulit, tapi jaminan keindahan yang akan di dapatkan sudah pernah ia rasakan.
Suatu hari, Tuan Fuad membawa Tiyah ke sebuah rumah sakit. Di sana ada banyak orang sakit dan sekarat yang masih berusaha meskipun nyawa mereka di ujung nafas.
Setelah berkeliling, ia mengajak Tiyah duduk di taman rumah sakit.
"Tiyah, menurut Tiyah. Kenapa orang-orang itu berusaha untuk hidup, meskipun mereka tahu akhirnya mereka akan mati?"
"Eemmmm?" Tiyah menutup matanya, jari telunjuk di dagunya wajahnya berkerut berfikir.
"Karena mereka hidup? jadi yah mereka harus hidup."
Tuan Fuad tersenyum mendengar jawaban putrinya.
"Iya, karena kita hidup. Dan kita harus berusaha untuk tetap hidup. Apapun tantangan hidup kita, kita pasti bisa melewatinya. Kita tak boleh menyerah.
Dan juga Tuhan tidak akan memberikan ujian kalau kita tidak dapat melewatinya."
Tiyah menatap papanya tersenyum.
"Kenapa?" tanya Fuad pada putrinya.
"Nggak, aku cuma senang papa adalah Papa Tiyah. Aku harap Papa juga akan tetap hidup sampai Tiyah dewasa dan tua." Dia lalu berdiri meneluk Papanya yang sedang duduk. Tuan Fuad balik memeluk putrinya dan mencium keningnya.
"Non Tiyah! Non Tiyah!" menggoyangkan tubuh Datiyah agar terbangun.
Tiyah pun terbangun dari mimpi indah bersama ayahnya. Dia berharap itu bukan hanya sekedar mimpi. Air matanya mengalir dari sudut matanya.
"Bibi, bawakan makanan. Katanya hari ini Non Tiyah boleh makan."
Tiyah ingin bangun, tapi tubuhnya terasa nyilu. Kepalanya berdenyut sakit tak tertahankan, matanya berkunang, badannya agak demam.
"Bi, kepala Tiyah sakit," mendengar suara lemah gadis kecil itu. Tersekat tenggorokannya ingin menangis melihat gadis itu, menahan air matanya.
Seandainya dia punya kekuatan lebih ia akan membawa gadis ini lari dari tempat ini.
Tapi, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Sebagian besar pelayan yang bekerja pada Anton, tidak tahu kalau mereka akan bekerja untuk iblis.
Mengancam keamanaan keluarga mereka, membuat mereka manandatangani surat perjanjian.
Banyak yang tergiur bekerja dengannya karena gaji yang ditawarkan 3 kali lipat dari tempat lain, tapi siapa sangka bahwa mereka masuk perangkap dan juga akan menjual hati nurani mereka, mengabaikan setiap kejahatan yang dilakukan Anton.
Karena begitu masuk ke dalam rumah ini, tidak ada yang bisa keluar seenaknya.
Bibi kemudian membantu Datiyah duduk. Lalu merasakan suhu badannya yang demam. Keringat dingin sudah mebasahi seluruh pakaiannya. Akhirnya dia meneteskan air matanya.
"Bagaimana bisa seseorang begitu kejam pada gadis bertubuh mungil ini?" batinnya.
Dia tidak menyangka, bahwa majikan yang pernah dia rawat ketika masih kecil itu bisa melakukan hal setega ini.
Bi Narti, sudah bekerja slama 30 tahun di rumah ini sejak ia berusia 15 tahun. Dia melihat Anton tumbuh besar sejak usia 5 tahun.
Ia tentu saja tahu Anton adalah anak yang kasar. Tapi baru kali ini dia melihat Anton menyiksa anak kecil.
Yang harus dia lakukan adalah membuat Datiyah makan dan meminum obat yang dititipkan dokter semalam.
Setelah dia membantu Datiyah duduk, dia menyuapinya. Datiyah bahkan tidak punya energi untuk mengunyah. Sehingga setiap suap nasi di bantu dorongan air.
"Tiyah sudah kenyang bi," mendorong sendok yang akan dimasukkan dalam mulutnya.
"Non, Non harus banyak makan. Bibi gak tau kapan Non bisa di kasi makan lagi. Emm? jadi makan yah?" Ucapnya sambil menahan tangis agar gadis di depannya ini makan yang banyak.
Akhirnya dia menurut, setelah makanan hampir habis, ia memberikan Tiyah obatnya. Entahlah itu obat apa, ia hanya percaya pada dokter itu.
Setelah memberikan Tiyah makan. Ia keluar dan mengunci ruangan itu lagi. Di luar kamar ada Jun yang sedang menunggu.
"Jun, anak itu sedang demam. Apa kita tidak perlu membawanya ke rumah sakit? Bajunya sudah basah semua." Dia melapor pada jun yang bersandar di tembok dan menghisap rokonya.
"Kita tunggu saja beberapa saat lagi. Kalau memang masih demam aku akan lapor pada tuan Anton. Asal jangan sampai dia mati saja."
"Kamu kok tega sih!" Bi narti memukul lengan Jun sambil berbisik.
"Kak Narti gak usah ikut campur. Hanya turuti saja maunya Tuan Anton."
Bi Narti adalah sepupunya Jun, karena itu di sekolah Anton selalu menghina, memukul dan menyiksa Jun. Karena dia punya keluarga yang merupakan pembantu.
Karena bukan hanya Narti, tapi ibunya juga pembantu yang merawat Ibu Anton saat itu.
Beberapa jam kemudian, Jun melapor pada Anton bahwa Tiyah demam.
Anton menyuruhnya memindahkan Tiyah ke kamar yang sejak awal sudah ia siapkan untuk Tiyah.
Beberapa pelayan membantu Tiyah membersihkan diri dan menggantikan pakaiannya yang sudah basah.
Setelah itu, Tiyah lanjut tidur meringkuk dan mnggenggam erat liontinnya.
Ia dibangunkan setiap waktu minum obat tiba.
Sore hari suhu tubuhnya sudah kembali normal.
Tengah malam, lehernya tercekik
"Ayo kita mati sama-sama. Mama akan nyusul Tiyah setelah ini."
*bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
seizy Kurniawan
masih next ya kak
2020-07-08
1
Muma
lanjut
2020-07-08
0
Jam Jam
kenapa?
2020-06-16
1