Dalam perjalanan ke kantor Dewandaru terus mengingatkan dirinya sendiri. Agar lebih tenang. Untuk menghadapi sesuatu yang tidak ada dalam kontrolnya. Salah satunya ialah pendapat teman kantornya, mengenai pernikahan keduanya.
“Pagi Pak!” sapa pak satpam yang berdiri di depan pintu kantor.
Dewandaru mengangguk.
Tidak banyak yang tahu jika dirinya ialah cucu dari pendiri The Artistic Warehouse. Sengaja memang lelaki itu meminta ayahnya untuk merahasiakan identitasnya. Delapan tahun bekerja di kantor kakeknya. Tentu ia tak mendapatkan privileges seperti Tuan muda, yang biasanya ada di Drakor.
Seperti karyawan pada umumnya. Brahmanta memintanya mengirim CV. Melakukan training berbulan-bulan. Hingga menjadi tukang foto kopi selama tiga hari, saat jam istirahat karena membuat kesalahan.
Lelaki itu tak mendapatkan popularitas dengan instan. Butuh waktu dan proses yang teramat panjang. Hingga sekarang ia bisa menepati jajaran yang lumayan penting.
Jika dipikir-pikir dalam hal pekerjaan, ayahnya berperan penting. Bahkan bisa dibilang, sukses menjadi seorang ayah. Yang ingin melihat putranya berjuang dari bawah. Namun apa ayahnya bisa dibilang sukses, dalam mengambil keputusan untuk rumah tangganya.
Itu terlihat egois.
“Pagi Pak!” sapa karyawan yang berpasangan dengannya.
Lagi-lagi Dewandaru hanya mengangguk.
Rasa hormat yang lelaki itu dapat bukan karena, ia memiliki jabatan penting di kantor. Melainkan karakteristik yang telah merekat dalam diri. Seluruh karyawan menghormatinya. Karena kegigihan dalam bekerja serta kerendahan hatinya.
'Sudahlah, aku tidak peduli dengan pendapat mereka tentang diriku yang menikah lagi. Toh mereka juga tidak tahu kebenarannya' batin Dewandaru. Ketika sebagai orang menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Cepat lelaki itu melangkahkan kaki masuk ke dalam lift. Melihat ada wanita yang berlari, ingin menggunakan lift yang sama. Ia segera menyetopnya, guna rekan kerjanya bisa ikut satu lift dengannya. Tanpa harus menunggu.
“Terima kasih, Pak!”
Lagi dan lagi ia hanya mengangguk.
Karena itu pula sebagian teman kantornya, menganggap Dewandaru tuna wicara. Nyatanya hal itu justru membuatnya tertawa renyah.
“Senangnya dalam hati kalau beristri dua!” Penyambutan pertama kali masuk ke dalam ruang kerjanya yang baru. Membuatnya menghela nafas panjang.
Seminggu yang lalu, ada penataan ulang ruang. Membentuk team work. Guna lebih memudahkan, interaksi antar pekerja satu dengan yang lain. Dan tidak ada ruangan pribadi kecuali direktur utama.
“Oh ... seperti Dunia ...Dewandaru yang punya.” Aidin bersenandung ria berjoget bang jali. Hal itu pun tak luput dari penglihatan dua rekan kerjanya.
“Kepada istri tua ...Kanda sayang padamu ...Oh ...Kepada istri muda ...I say i love you!” Aidin melemparkan flying kiss kearahnya.
“Berisik!” sentak Dewandaru menghempaskan bokong ke kursi.
Dua wanita yang satu ruangan dengan Dewandaru, seketika langsung menunduk dalam. Ini kali pertama mereka melihat Dewandaru murka. Akan tetapi bagi Aidin, ini sudah biasa.
“Baru kawin kok tambah suka marah sih Bang!” ketus pemuda yang memiliki selisih umur enam tahun dengannya.
“Judulnya madu tiga, belum dimadu langsung gugat cerai!” Aindin terkikik geli prihatin dengan penyanyinya.
...***
...
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Dua wanita yang satu ruangan dengannya, sudah pergi ke kafe dekat kantor untuk mengganjal perutnya. Meninggalkan ia dan Aidin dalam ruangan.
“Huft!” Lelaki itu mulai meregangkan otot-ototnya dan melepaskan kacamatanya yang hanya dipakai saat jam kerja.
Berdiri dari duduknya, bergegas menuju pantry. Guna memanaskan bekal.
“Fiuh ... mentang-mentang punya dua bini. Sekarang bekalnya juga dua,” ocehan Aidin ketika melihat sahabatnya menenteng dua wadah.
Dewandaru tersenyum sinis dan berlalu.
...***
...
Sudah ia pastikan sebelumnya, jika kembalinya ia ke ruangan. Mampu membangkitkan semangat Aidin untuk merapat. Ke tempat kerjanya. Lelaki itu tahu betul, jika sahabatnya tak sabar untuk mencicipi bekalnya.
Sebab ini bukan kali pertama. Dewandaru harus merelakan dan berbagi makanan dengan Aidin.
Saat ruangnya masih private pun. Hal itu tak menjadi alasan bagi Aidin untuk mencari makanan gratisan. Memang perjaka tua satu ini, sangatlah Merki.
Tanpa meminta approval dari pemiliknya. Si Merki langsung membuka wadah makanan berwarna pink.
“Gila, apa seenak ini punya istri Bang?” lontar Aidin menatap isi kotak makanan, dengan mata berbinar. Seraya mengelap sumpit dengan tisu.
“Kawin deh, biar tahu rasanya!” timpal Dewandaru, berangsur membuka kotak makan yang lebih besar.
“Kalau kawin baru ijab kemudian, boleh enggak ya?” Kembali sang perjaka tua itu bertanya, seraya memasukkan stir fry broccoli mushroomke dalam mulut.
Melihat mimik Aidin yang berubah, sekuat tenaga, Dewandaru menahan tawanya, yang akan pecah.
Tampaknya sang sahabat mulai merasakan. Cita rasa dari makanan yang baru di lahap.
“Bro, ini gua sudah mati rasa apa gimana?” Aidin mengunyah makanan pelan. Dia berusaha mendeteksi.
Apa yang dirasakan itu benar?
“Asinnnnnya enggak ketulungan Njir!” Aidin langsung membuka botol minum dan menenggaknya cepat.
Sungguh rasanya ia ingin terbahak, mendapati Aidin mendapatkan hal serupa. Seperti yang ia dapatkan tadi pagi. Disaat menyuapkan stir fry mushrooms ke dalam mulutnya.
Rasanya seperti air laut.
Inilah alasannya, tak membiarkan istri mudanya memakan tumis. Lelaki itu tak mau Wan Aina bersedih hati. Karena masakan pertama gagal.
“Nahkan dapat teguran dari Semesta! Makanya kalau omong dijaga. Konsepnya itu ijab dulu baru kawin Din!” sinisnya menyuapkan bekal dari Hafsah.
“Ini pasti bukan teh Hafsah yang masak!” tebak Aidin.
Bersamaan dengan itu seseorang lelaki berjas hitam masuk ruangan. Sambil menurunkan gadis kecil.
“Tiang Om Mbut! Om Meki!” sapaan kali ini, membuat Aidin dan Dewandaru menoleh kearah sumber suara.
Bocah gendut yang memakai dress berwarna merah. Berlari.
“Siang Molla...!” jawab Dewandaru merentangkan kedua tangannya. Membuat bocah berumur dua tahun itu berlari cepat kearahnya, untuk diangkat dan didudukkan di pangkuan om Mbut.
Sepertinya panggilan Molla untuknya sangat cocok. Bisa dibilang mewakili sikapnya yang selalu lembut dan penuh perhatian kepada anak kecil.
Lantas bagaimana pendapatnya akan anak-anak?
Benarkan apa yang ia katakan, pada istri pertamanya?
Jika dirinya tak lagi mendambakan untuk memiliki momongan?
Setelah istri pertamanya dinyatakan mandul?
Bukankah harapan itu ada, mengingat sekarang, dirinya telah menikah lagi.
Biarlah waktu yang menjawab semua....
Arfa, ayah dari Molla kini berdiri di samping Aidin. Tanpa etika, pria itu mengambil sepotong brokoli dengan tangan.
Isyarat tendangan kaki di bawah meja yang dilayangkan oleh Aidin, mengharuskan Dewandaru untuk diam.
Dengan posisi mulut terbuka lebar, Arfa seolah siap menerima suapan dari tangannya sendiri. Pria itu mengunyah dengan cepat, namun saat rasanya berbeda. Arfa segera mengambil tisu, dan mengeluarkannya kembali.
Aidin tertawa lepas, melihat Arfa masuk jebakan yang tak pernah disiapkan sebelumnya.
“Asem—” Sebelum selesai berbicara. Aidin segera memotong. “Aswinnnnn weyy....”
Tak bisa dipungkiri Dewandaru pun merasa puas, setidaknya bukan hanya dirinya yang harus makan jamur rasa garam itu.
“Li, ini makanan manis banget!” gerutu Arfa membuka botol minum, tinggal setengah sisa si Merki.
“Filings saya, ini bukan masakan teh Hafsah deh!” timpal Aidin, menatap Dewandaru yang menyuapi Molla.
Melihat putri semata wayangnya disuapi, Arfa meradang.
“Li, putri saya jangan di suapi makanan yang tidak layak!”
“Tanya saja Molla! Makanannya enak atau tidak?” tanya Dewandaru menelengkan kepalanya. Menatap bocah yang duduk di pangkuannya.
“Nyam-nyam delssss cuscus!” jawab si kecil seolah paham, dengan apa yang para orang dewasa bahas.
“Delicious!” Lelaki itu mengelap mulut Molla yang cemong.
Dewandaru terlihat seperti ayah yang perhatian.
Akankah takdirnya menyempurnakan statusnya?
“Jangan-jangan ini masakan istri barumu ya Li?” Yakin Arfa, membuat Dewandaru mendengus.
“Sengaja memang, dibikin asin! Biar Aidin, tahu diri! Tidak join makanan saya terus!” kilahnya, menutupi kekurangan istrinya. Sekalipun di depan para sahabat.
“Dengarin Ki, lu itu jomblo ...tidak punya kebutuhan sebesar saya dan Dewandaru! Tapi modal buat makan ae, nyempil teros,” ketus Arfa tak tanggung-tanggung.
Yang disindir memasang wajah apatis.
“Rasanya memang tepat Fa, Aidin dipanggil Merki! Pelitnya gila, enggak ada tandingannya!” Lelaki itu tampak setuju dengan julukan temabn sekolahnya dulu. Pada Aidin.
TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Sarah Yuniani
pengertian sekali
2024-10-05
0
Hanipah Fitri
belum ada komplik masih datar
2023-02-16
0