Wan Aina terlihat gusar, ketika belum berhasil menemukan suaminya.
Dimana suaminya itu bersembunyi?
Ini malam pertama baginya. Tapi tidak untuk sang suami.
Sudah hampir tujuh menit Wan Aina mencari sang suami. Namun hasilnya nihil.
“Mas Dewandaru!” panggilnya menuruni anak tangga.
Setelah sampai di lantai dasar. Ia bergegas pergi ke dapur. Berharap menemukan Dewandaru, yang telah menghilang setelah magrib.
Namun nyatanya dapur sepi.
“Malam pertama bukannya diam saja, malah ngajak petak umpet!” omelnya.
Ternyata menjadi istri tak semudah menaikkan resleting kondor.
Gadis itu mulai membuka satu persatu ruangan.
Apa mungkin sang suami bersembunyi di salah satu ruangan?
“Ya Allah! Mas kamu dimana sih?” Tampaknya Wan Aina sudah mulai kesal. Ketika tak menemukan suaminya.
“Apa dia di rumahnya mbak Hafsah?”
Gadis itu mulai menerka-nerka. Terlalu banyak berpikir, membuatnya menggaruk rambutnya yang tak gatal.
Setelah menghentakkan kakinya. Ia langsung berbalik arah, menaiki tangga dengan cepat, untuk mengambil hijab.
Rumah yang di tinggalinya saat ini, telah Dewandaru beli setahun yang lalu. Kebetulan pemilik rumah sebelumnya menawarkan pada tetangga sebelah. Seolah alam Semesta mendukung, kala itu tabungan Dewandaru cukup untuk membeli rumah klasik modern. Dewandaru berpikir, apa salahnya membeli. Toh rumah juga bisa disewakan, lumayan buat tambahan income bulanan. Dan tidak ada ruginya, bila uangnya diinvestasikan dalam bentuk rumah. Tahun berganti harganya juga pasti naik.
Wan Aina menutup pintu rumahnya dari luar.
Sejauh mata memandang, rumah berlantai tiga di seberang jalan. Lampunya masih menyala.
Menandakan jika si pemilik rumah belum terlelap.
Ia berlari kecil menuruni satu persatu undakkan, membuat gamisnya berayun mengikuti langkahnya. Memutuskan untuk berhenti, ketika akan menyeberangi jalan, kepalanya celingak-celinguk ke kanan dan kiri.
Dirasa tak ada kendaraan yang akan lewat, gadis itu segera berlari untuk menyeberang.
...***...
Setelah mencuci piring, Hafsah memutuskan untuk kembali ke atas. Niatnya ter urungkan saat bel berbunyi.
"Siapa?" teriaknya dari jarak beberapa langkah dari pintu utama.
"Aina!" Perempuan itu terkejut saat pintu terbuka, menampakkan istri muda sang suami.
Wan Aina mengulum senyumannya. Kala pintu dibuka dari dalam, oleh sosok perempuan berniqab.
Gadis itu menebak jika Hafsah terkejut akan kedatangannya tiba-tiba.
"Ada apa Aina?" tanyanya, membuka pintu lebar agar istri muda suaminya bisa masuk. Namun madunya menggeleng, bergeming di tempat semula.
"Sebenarnya saya, cuma mau tanya! Apa mas Dewandaru, ada disini?"
Sangking nervousnya, Wan Aina meremas jari-jemarinya yang berkeringat. Ada perasaan aneh, saat berbicara kepada istri pertama suaminya. Terlebih lagi, ia menanyakan keberadaan suaminya.
Terlihat seperti Debt collection, yang menagih utang pada kreditur. Bedanya ia menagih suaminya, untuk tidur dengannya.
Hafsah terdiam mendengar pertanyaan madunya.
'Bukankah dia sudah pulang beberapa menit yang lalu, terus kenapa istrinya datang kemari. Apa jangan-jangan!' guma Hafsah dalam hati.
Perempuan itu segera menyangkal pikiran negatifnya, tidak mungkin suaminya pergi keluyuran akibat sedang marah padanya. Ia kenal betul bagaimana suaminya. Jika marah pasti diam, atau melampiaskan emosinya ke dalam cucuran keringat (olahraga)
"Tidak ada!"
"Kira-kira kemana? Padahal saya sudah mencarinya di setiap sudut ruangan, nihil tidak ditemukan!"
Kekhawatiran yang Wan Aina perlihatkan, membuat Hafsah menggigit bibir.
Sumpah sekalipun dunia terbalik, tak akan mengubah hati Hafsah yang nyeri.
Namun ia harus bersikap dewasa, untuk kemasyhuran hubungannya ke depan dengan istri muda sang suami. Ia pun lantas, memberi saran kepada madunya untuk kembali mencari Dewandaru di ruang fitness.
Wan Aina setuju, dengan sarannya, asalkan ia juga ikut.
...***...
Dewandaru yang baru saja keluar dari tempat olahraga. Terkejut mendapati kedua istrinya berdiri di ambang pintu. Ia pun berjalan mendekati kedua istrinya, seraya melepaskan hand wrap.
“Dari mana?” tanyanya dengan gerakan dagu kearah Wan Aina.
Sontak saja pertanyaannya, membuat Wan Aina ternganga. Harusnya Wan Aina yang lebih berhak.
Menginterogasinya!
Dewandaru pulang dari rumah istri pertamanya, beberapa puluh menit yang lalu.
Bertepatan dengan Wan Aina, yang memutuskan untuk mengambil hijab dikamar.
Dan disaat itulah, lelaki itu masuk rumah melalui pintu belakang.
“Dia mencarimu!” kali ini Hafsah yang menyahut, nadanya cukup tenang. Seperti tak ada beban dalam hati ketika bersuara.
Mendengar jawaban istri pertamanya, Lelaki itu hanya mampu menghela nafas berat.
Mengapa istri pertamanya tak pernah menunjukkan rasa cemburu padannya, sedikit pun. Dari awal pernikahan mereka, hingga detik ini.
Mengenaskan!
“Ya sudah, saya pulang dulu! Kalian juga butuh istirahat!” Hafsah pamit undur diri. Mencium tangan suaminya dengan takzim.
Wan Aina baru tahu, ternyata mencium tangan suami bukan hanya menaruh kepala, di telapak tangan saja.
'Ternyata butuh waktu 170 detik, untuk mencium tangan suami' batin Wan Aina, melihat cara Hafsah mencium tangan suaminya.
Mungkin hari esok, harus dipraktikkan, saat suaminya akan berangkat kerja.
Setelah kepergian Hafsah, Dewandaru segera menutup pintu. Berjalan ke ruang keluarga. Menghempaskan bokongnya disofa.
“Huft!” Menghela nafas seraya membuka kancing kemejanya bagian atas, karena berkeringat.
“Minum Mas!” Wan Aina menyodorkan gelas. Membuatnya segera memperbaiki duduknya, yang tadinya bersandar lemas. Dan menerima gelas, dari tangan istrinya.
Hanya butuh tiga tenggekkan, air dalam gelas tandas tak bersisa. Lelaki itu lekas berdiri seraya menaruh gelas ke meja.
“Saya mandi dulu!” ujarnya melewati Wan Aina.
Gadis itu menunduk dalam.
Wan Aina mulai mengangkat kepalanya, ketika langkah kaki suaminya mulai menjauh.
‘Kok mbak Hafsah kuat, ya? Sama mas Dewandaru yang irit bicara. Bahkan bisa dihitung, setengah hari hidup dengannya. Baru lima kalimat yang aku dengar' gumamnya, jika mengingat interaksi sang suami padanya.
Gadis itu segera berlari menaiki tangga, agar tidak ketinggalan langkah suaminya.
Tanpa bicara Dewandaru, masuk ke dalam kamar mandi.
Lima belas menit kemudian. Terdengar pintu kamar mandi terbuka.
Wan Aina yang sedang mengibas debu tempat tidur. Menoleh ke suara yang baru saja menggema dipanca inderanya.
Gadis itu tak sempat mendongakkan kepalanya. Untuk melihat jelas pemilik wajah, yang kini melangkah mendekat kearahnya.
Entah mengapa jantungnya berdebar-debar.
Bahkan untuk menelan ludah sendiri pun sangat susah.
Wan Aina meremas bantal yang sadari tadi ia pegang. Takut jika sang suami hanya melilitkan handuk saja.
Tampaknya Wan Aina telah menjadi korban dari novel yang sering dibaca.
Gadis cantik itu mengangkat bantal yang ada ditangannya, digunakan untuk menutupi wajah.
Matanya terpejam, bibir komat-kamit membaca sesuatu.
“Matilah aku, apa dia tidak malu bertelanjang dada di hadapanku. Dan mengapa pipiku panas,” gumamnya tak sadar jika telinga suaminya masih bisa mendengar.
“Ehem!” dehaman kali itu membuat bahunya terguncang kaget.
“Jangan Mas....” teriak Wanita Aina ketika sang suami. Berusaha merampas bantal yang ia jadikan benteng pertahanan.
Belum sanggup zina mata.
TBC...
Sapaan!
Lelaki : Dewandaru
Perempuan : Hafsah
Gadis : Wan Aina
Pemuda : Aidin
Pria : Arfa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
tetap mengikuti
2023-02-16
0