Keesokan harinya. Wan Aina baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai istri. Dari menyiapkan pakaian suaminya—hingga menyiapkan makanan. Suara langkah kaki menuruni tangga. Mengalihkan perhatiannya.
“Pagi Mas!” sapanya dengan senyuman mengembang. Namun sang empu hanya mengangguk, dan langsung duduk.
Sehari menjadi istri Dewandaru, membuatnya sedikit mengerti. Jika suaminya tipe pendiam, atau memang belum saling mengenal saja. Hal ini membuatnya teringat kejadian tadi malam.
...***
...
“Jangan Mas!” teriak Wan Aina berusaha mempertahankan bantal yang digunakan menutupi wajahnya, agar tak lepas dari genggaman.
Sontak saja hal ini membuat Dewandaru terdiam sejenak, mengernyitkan dahinya bingung.
“Aku tahu, Mas Dewandaru menikah karena ingin punya putra! Akan tetapi ja-jangan malam ini aku tidak siap!” cicit gadis itu dari balik bantal.
Membuat lawan bicaranya melotot.
“Heh?” Dewandaru menarik bantal dengan kasar.
Membuat Wan Aina tersentak. Ketika bantal yang dijadikan pertahanan lepas dari genggaman.
Gadis itu segera menutupi wajahnya, sembari membalikkan badan membelakangi sang suami.
Bahunya bergetar hebat, pertanda jika dia benar-benar takut.
“Aina!” panggilan Dewandaru menggema di ruangan.
Membuat gadis itu lekas memotong ucapan sang suami. “Pakai baju, jangan telanjang!” cecarnya, membuat lawan bicaranya kembali ternganga.
Lelaki itu kembali menghela nafas panjang. Seolah tak mau membuang waktu. Ia pun menarik bahu Wan Aina dengan kuat, membuat gadis itu menghadapnya.
Wan Aina terkejut ketika seseorang menarik bahunya kuat, hingga membuat tubuhnya berbalik menghadap lawan bicara.
“Aaaaaaaaaa!” Meski mulut terbuka lebar. Nyatanya tak membuat indra penglihatannya terbuka.
“Buka!” titah Dewandaru penuh penekanan.
Gadis itu menggeleng cepat.
“Mas, pakai baju dulu!” rengeknya, membuat Dewandaru geram.
Lelaki itu segera menarik tangan istrinya, yang dipergunakan untuk menutupi wajah.
“Buka matamu sekarang!” Nadanya terdengar seperti perintah, namun tak lantas mengubah prinsip istri mudanya.
“Wan Aina!” panggilan dengan sebutan nama panjang, mengisyaratkan jika seseorang telah murka.
Wan Aina pun membuka satu matanya.
Pertama yang dilihat leher suaminya. Yang membuat bulu kuduk berdiri, matanya mulai menelusuri ke bawah menurun hingga bahu. Wan Aina bernafas lega, saat tubuh suaminya terbungkus kaus hitam.
Sial kebodohannya membuatnya salah tingkah.
'Bodoh! Apa yang mas, pikirkan tentangku sekarang. Otakku sudah terkontaminasi oleh novel dan Drakor, agrh! Rasanya aku ingin menenggelamkan diri ke dalam tanah!'
Gadis itu tersentak saat tiba-tiba, Dewandaru memegang kedua pundaknya, menuntunnya ke sisi ranjang. Membimbingnya duduk, tentu ada rasa takut. Ketika suaminya membaringkan tubuhnya. Gadis itu berusaha tenang, namun justru ketegangan yang mendominasi.
“Aina biasanya kalau tidur, lampunya dimatiin?” tanya Dewandaru, menyelimuti tubuh istrinya. Yang dijawab dengan galengan kepala.
“Tidurlah!” tukasnya, berbalik arah.
Namun seseorang menarik tangannya. Membuat lelaki itu menoleh.
“Em-mau kemana?” tanya Wan Aina menaruh kecurigaan. Jika sang suami akan meninggalkannya, dan pergi ke rumah istri pertama.
...***
...
Mengingat kejadian tadi malam membuatnya. Berspekulasi jika suaminya lebih banyak bertindak ketimbang berbicara.
“Ehem!” Dehaman kali ini membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Bahkan nasi yang ada di centong, terjatuh ke bakul kembali.
Dengan cekatan Wan Aina segera mengambilkan nasi untuk suaminya.
Mata gadis itu mengerling, ketika mendengar seseorang menghela nafas panjang.
“Maaf!” cicitnya pelan, meletakkan piring di depan suaminya.
Ketika Wan Aina meletakkan piring di depannya, lelaki itu mengangguk pelan. Sebagai bentuk terima kasihnya.
Dewandaru mulai menikmati hidangan pagi itu. Sesendok nasi berserta stir fry broccoli mushrooms. Telah mengobrak-abrik lidahnya.
'Nikmat Tuhanmu, yang manakah yang kamu dustakan' batinnya, mimik wajah yang tak bisa diartikan. Bola matanya memutar sempurna, ketika melihat sang istri ingin menyendok stir fry mushrooms atau lebih gamblangnya tumis brokoli jamur.
Cepat lelaki itu menarik piring berisi tumis menjauh dari jangkauan istrinya.
Dewandaru menatap istrinya, yang kala itu juga menatapnya heran.
Melihat mimik wajah istrinya yang berubah. Ia pun lantas memberi penjelasan.
“Ehem, Aina bisakah kau memakan yang lain saja?”
Dahi Wan Aina berkerut, mendengar ucapan suaminya.
“Sejujurnya saya tipekal, orang yang tidak suka berbagi. Apalagi dengan hal yang saya suka!” Penjelasan singkat itu, memudahkan lawan bicaranya mudah memahami maksudnya.
Bahkan bisa diartikan, jika dia menyukai tumis buatan istri mudanya untuk yang pertama kali.
Lelaki itu menghela nafas lega, setidaknya tidak perlu. Buang energi untuk menjelaskan masalah masakan pagi ini.
“Tolong, setelah makan! Buatkan saya bekal, dengan menu ini! Jangan disisakan meskipun, meski hanya satu potong” ujarnya seraya menunjuk piring berisi tumis dengan sendok makannya.
“Dan ingat, kau jangan berani mencicipinya!” tegasnya kembali membuat istrinya bahagia.
Bagi Wan Aina itu adalah pencapaian tertinggi. Dimana ia yang tidak terlalu bisa memasak, namun nyatanya sang suami justru menyukai masakannya. Bahkan suaminya blak-blakan tidak mau berbagi.
Gadis itu kembali dari dapur, sambil menenteng kotak makan.
'Kira-kira tadi malam, dia balik ke kamar jam berapa!' batinnya.
Mengingat jika suaminya tadi malam langsung meninggalkan kamar. Setelah menjawab pertanyaannya. Namun ketika bangun. Ia mendapati suaminya tidur di sampingnya.
Andai saja Wan Aina tahu, jika tadi malam suaminya. Menghindari tidur bersamanya, dan lebih memilih tidur di ruang baca.
Bahkan Dewandaru juga sudah memasang CCTV kecil dikamar, guna memantau. Apa istri muda tidur menuruti permintaannya. Atau justru menunggu.
Namun seandainya Wan Aina bergadang semalaman dan menunggu suaminya. Percayalah sang Dewandaru pasti memilih untuk mengalah. Balik ke kamar menemani istri mudanya tidur. Meski sangat berat.
“Omong-omong, tadi malam kerjanya selesai sampai jam berapa? Jam dua belas saat Aina terbangun karena kebelet pipis. Mas, belum balik kamar.”
Dewandaru tersedak karena perkataan istrinya. Membuat Wan Aina menyodorkan gelas ke arahnya.
“Jam dinding di kamar mati. Jadi tidak bisa dijadikan patokan” jawab Dewandaru singkat. Sambil meletakkan gelas kosong di meja.
“Ouh!” Gadis itu mengangguk paham.
Andai saja ia tahu, jika suaminya telah memasang baterai jam dengan keliru.
Jelas-jelas tadi malam suaminya kembali ke kamar pukul setengah empat dini hari.
Setelah selesai sarapan, Wan Aina mengantarkan suaminya hingga teras rumah. Gadis itu mencium tangan suaminya, sebagaimana Hafsah mencium tangan Dewandaru.
Wan Aina memejamkan matanya, saat tangan Dewandaru mengusap kepalanya yang tertutup jilbab. Dia beranggapan, suaminya akan mencium keningnya.
Melihat hal ini, Dewandaru hanya mampu menghela nafas. Sangat berat jika ia mencium perempuan lain, selain istrinya Hafsah. Akan tetapi, ia juga merasa bersalah, jika tidak membalas kebaikan Wan Aina.
...***...
Dewandaru pun melangkahkan kakinya ke rumah Hafsah guna mengambil mobilnya.
“Pagi Bib...!” sapa Hafsah.
Lelaki itu segera berlari ke arah istri pertamanya. Bak anak kecil, yang dijemput orang tua sepulang sekolah. Dan berpelukan erat layaknya Teletubbies.
Ia menenggelamkan wajahnya di leher istri pertamanya, yang tertutup hijab panjang.
Hafsah sudah tahu akan sikap suaminya. Yang suka mengendus aroma kepemilikan.
“Kau puas Hem?” tanya Dewandaru yang masih memeluk tubuh istrinya erat.
Hafsah tersenyum dibalik niqabnya, seolah tahu. Jika arah pembicaraan pagi itu mengenai pernikahan kedua.
“Bib, nanti telat,” tutur Hafsah mengalihkan pembicaraan, guna tidak berdebat di pagi hari.
Lelaki itu melerai pelukannya, dan menangkup wajah Hafsah dengan kedua tangannya. Ingin rasanya ia mengomel, karena keputusan istrinya yang ia anggap gila. Namun melihat netra hitam milik Hafsah, ia tak sanggup melakukan hal itu. Bagaimana pun semua sudah terjadi.
Yang ia bisa lakukan saat itu hanya mengecup kedua mata Hafsah bergantian. Dan mengharapkan imbalan yang setimpal.
“Aku berangkat!” ujarnya melambaikan tangannya, satu tangannya membuka pintu mobil. Untungnya tadi sempat menyimpan kotak makanannya di dalam tas kerjanya.
TBC...
Atur Strategi ini berkaitan dengan Dewandaru yang mengatur, agar tidak seranjang dengan Wan Aina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Sarah Yuniani
semoga langgeng poligaminya ...
2024-10-05
0
Hanipah Fitri
lanjut
2023-02-16
0