Kau Rela Ku Lepas
“Saya terima nikah dan kawinnya Wan Aina Sadiqah binti Hartono Sudarjo. Dengan maskawin tersebut tunai....”
Tentu ini bukan Dewandaru pertama lelaki dengan brewok tipis itu mengucapkan qabul. Lima tahun silam, Dewandaru telah mengikat janji suci dengan Hafsah.
Lantas apa yang terjadi detik ini?
Mengapa ia kembali mengucapkan janji suci dengan wanita lain?
Tahukah ia, jika perempuan yang duduk di belakangnya. Yang menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam, menundukkan kepala.
Tatkala menyaksikan pernikahan ini?
Semua yang menghadiri pernikahan siang itu. Kompak menjawabi penghulu. “SAH ....”
Lelaki itu tertunduk dalam, telinganya seakan buntu hingga tak mendengar kata “SAH!”
Mungkin sebagian dari saksi. Menganggap jika ia lelaki yang tak setia. Semua itu diperkuat dengan adanya pernikahan kedua ini.
Apakah pernikahan ini terjadi. Karena kehendaknya?
...***
...
Satu bulan yang lalu tepatnya jam istirahat. Pintu ruang kerjanya, dibuka oleh seseorang.
“Ayah!” pekiknya terperanjat, saat tahu ayahnya yang datang.
“Bisakah ekspresi wajahmu biasa saja? Kau seperti baru melihat iblis,” sergah paruh baya yang ia panggil dengan sapaan ayah.
Langkah kaki paruh baya itu mendekat. Dengan punggung sedikit bungkuk, Brahmanta. Langsung saja duduk di kursi, tanpa meminta persetujuan pemiliknya.
“Ru, semua sudah jelas. Jika istrimu tak bisa diharapkan ...untuk memberikanmu keturunan!”
Mendengar hal itu seketika tangan Dewandaru terkepal, rahangnya mengeras, menahan emosi.
Ia yang awareness dengan amarahnya, memutuskan untuk tidak terbawa suasana.
Ia mencoba berpikir rasional.
Dan menilai, apakah wajar ayahnya mengatakan kekurangan Hafsah di hadapannya?
Teknik S-T-A-R (Stop, think & assess, respond). Hal ini mampu membuatnya menahan emosi.
“Jadi Ayah mau, kau menikah kembali Dewandaru!” tegas Brahmanta, tanpa ekspresi. Sembari menyandarkan punggungnya.
Permintaan ayahnya kali itu, membuatnya tak bisa mengendepankan emosi, yang tadi sempat padam. Ia bangkit dari duduknya, dengan nafas memburu. Memberanikan diri, untuk menolak mentah-mentah permintaan gila ayahnya.
Sayang ayahnya tak mau mendengar penolakan darinya.
Lelaki paruh baya itu berdiri sambil menggedor meja. Dan berkata, “Bisa tidak bisa, kau harus bisa....”
Dewandaru terkesiap tak percaya.
Lima tahun yang lalu pernikahannya dengan Hafsah terjadi karena ayahnya.
Keduanya hanya butuh waktu satu bulan untuk mengenal satu sama lain, hingga akhirnya sepakat menikah.
“Pikirkanlah, masa depan! Jika tidak ada penerus darimu, lantas siapa yang akan meneruskan perusahaan kakekmu!” ujar Brahmanta, nadanya sedikit parau.
Sepertinya populasi dari keluarga Dewandaru hanya bisa menetas s.
Ayahnya anak tunggal, begitu pun dirinya.
“Masa depan?” Mengernyitkan dahi, terkekeh mendengar perkataan ayahnya.
“Ayah, mengapa kita harus cemas akan sesuatu yang belum terjadi? Bukankah lima menit ke depan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi? Baik kepada kita, maupun perusahaan kita. Kekayaan, popularitas, penilaian seseorang terhadap kita, itu tidak dalam kendali kita,” ujarnya dengan tangan mengepal, menatap Brahmanta penuh kekecewaan.
“Lantas mengapa Ayah risau? Mending sekarang hidup itu ditenangkan saja, waktunya ibadah, ibadah. Waktunya kerja ...kerja. Jangan terlalu membebani diri sendiri!” tuturnya dengan suara merendah.
“Sudahlah Ru, kau tidak usah menceramahiku, panjang lebar, apa sih susahnya mengikuti perintahku?” ungkap Brahmanta merapikan jasnya kasar. Saat mendapati putranya sedang mengkhotbah, dengan gratis.
Dewandaru menghembuskan nafas, kembali duduk di kursi kerja.
Bibir Dewandaru bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun sebelum itu terjadi.
Ayahnya lebih dulu bersuara,“Ru ... jika istrimu menjadi alasan, kamu untuk tidak menerima permintaanku. Kau salah, aku tahu....”
”Sesudah Hafsah mengecek kandungan, dan dinyatakan tidak bisa hamil. Dia telah memperbolehkanmu menikah lagi. Bukankah itu lebih baik. Daripada kau berselingkuh, di belakangnya!” ujar Brahmanta menyunggingkan bibirnya keatas.
Yang tak diketahui oleh Dewandaru. Kini ingatannya kembali, pada suatu masa. Dimana istrinya mengatakan, siap untuk dimadu. Tepat saat ia dan istrinya baru pulang dari rumah sakit, untuk mengambil hasil tubogram.
Dewandaru termenung. Memikirkan sesuatu. Hal itu membuat lawan bicaranya bersuara.
“Kau tidak perlu tahu bagaimana Ayah tahu, mengenai itu semua ...kau cukup turuti saja permintaanku, dan lihatlah gadis dalam foto ini! Dia cocok denganmu....”
Lelaki itu melengos, ketika ayahnya mengeluarkan selembaran foto dari saku jas, untuk diperlihatkan padanya.
Ayahnya terbilang lebih mirip seperti muncikari. Yang menawarkan dagangan.
Sial!
Ingin mengumpat namun paruh baya yang duduk di depannya, ayah kandungnya sendiri.
“Ayolah kau tidak perlu sok suci, dan seperti lelaki yang tidak memiliki naf su! Lihat dulu, dia masih muda, cantik, pasti kau senang memilikinya. Bayangkan saja itu....”
Tangannya kembali mengepal, amarahnya seakan telah naik ke ubun-ubun.
Ocehan Brahmanta kembli itu, seperti merendahkan harga dirinya.
“Kalau begitu Ayah saja, bukanya itu yang Ayah lakukan saat ibu, masih ada? Menikahi gadis muda, yang menjadi istri Ayah sekarang!” sindirnya dengan gigi bergemeretak menahan ledakkan di dada.
Talk! Lelaki itu meringis ketika highlighter pen itu terbang, mengenai pelipisnya.
“Kurang ajar! Berani sekli kau bicara seperti itu pada Ayahmu!”
...***
...
Dewandaru menoleh saat bahunya, dielus oleh seorang dari belakang. Tatapannya terkunci. Kedua tangannya mengudara, ingin memeluk Hafsah.
Namun sebelum hal itu terjadi, perempuan itu lebih dulu bersuara, “Bib, ulurkan tanganmu, Wan Aina ingin menciumnya!”
Penuturan Hafsah membuatnya sadar, jika mulai detik itu. Ia tak hanya menjadi suami dari Hafsah seorang. Melainkan suami dari dua perempuan. Itu berarti ia harus bisa menempatkan dirinya, dengan seadil-adilnya.
Gadis yang baru saja ia nikahi, mencium tangannya dengan penuh hormat. Melihat hal ini, hatinya tergores perih.
Entah bagaimana perasaan Hafsah sekarang?
Tanpa sepengetahuan darinya, di waktu yang bersamaan ia dan istri pertamanya itu menitihkan air mata.
Akankah kehidupannya akan bahagia?
Ketika menjalani kehidupan yang abnormal ini?
Atau mungkinkah ini awal dari kehancuran?
Atau justru ini jalan bagi mereka menemukan sesuatu yang berharga?
TBC....
Terima Kasih Sudah Meluangkan Waktunya Untuk Membaca!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Esti Esti
ini novel udah tamat belum kak ?
mau baca lansung supaya lebih menghayati
2023-07-31
0
Hanipah Fitri
walaupun sdh taman aku akan membacanya dan kasih lake
2023-02-16
0
Azizah az
hai kk mampir disini nih
udh ku kuatkan hati dulu sblm mulai baca😢
2022-11-24
1